“Life will be beautiful, if you meet and dialogue with other culture that is different.”
Ungkapan di atas mengingatkan saya pada pengalaman-pengalaman sederhana kami di sebuah paroki kecil bernama Quepe, di Chile bagian selatan. Paroki ini berada persis di wilayah kaum Indian Mapuche (orang-orang pribumi asli).
Dalam setiap pengalaman berpastoral, setiap kali berjumpa dan berdialog dengan saudara-saudari kita -kaum Indian tersebut- selalu saja ada hal-hal yang sangat indah. Serentak menarik untuk direkam dan dikisahkan.
Catatan sederhana ini akan mengulas secara sangat singkat mengenai hal-hal indah dan menarik tersebut. Yang kami jumpai dalam tatanan kehidupan komunitas Indian di Amerika Latin; khususnya kaum Indian Mapuche di Chile.
Konsep tentang Allah
Sama seperti agama-agama modern yang memiliki konsep tentang Allah, kaum Indian pun memiliki konsep teologi mereka tentang “Sesuatu Yang Mahatinggi”.
Kaum Indian Mapuche menyebut “Sesuatu Yang Mahatinggi” dengan nama Ngünechen.
Secara etimologis, istilah Ngünechen merupakan gabungan dari dua kata. Yaitu (1) Ngüne, artinya akar, asal dan pelindung; (2) Chen artinya manusia atau orang pada umumnya.
Jika digabungkan, maka Ngünechen memiliki arti sebagai penopang, peletak dan pencipta dunia atas dasar kemauannya sendiri dan pelindung bagi seluruh keluarga kaum Mapuche (Ana Mariella Bacigalupo; 1995:44).
Bagi kaum Indian Mapuche, Ngünechen adalah pencipta alam semesta dan manusia.
Dalam konsep bahasa agama modern Ngünechen ini sinonim dengan Allah.
Dalam pengalaman kecil berdialog dengan mereka da ketika ditanya mengenai siapa Tuhan dalam keyakinan orang Indian Mapuche, maka mereka akan menjawab demikian.
Tuhan bagi kami adalah roh yang menciptakan alam semesta dan manusia. Roh itu tak kelihatan, pemberi kehidupan, rezeki dan pelindung.
Ritual khusus
Dalam masyarakat Indian Mapuche, mereka memiliki ritual khusus bernama Nguillatun yang merupakan upacara keagamaan terbesar dalam budaya Mapuche. Dalam upacara itu, semua orang Indian Mapuche baik -yang masih hidup maupun sudah meninggal- dipersatukan.
Intisari dari ritus Nguillatun ialah untuk berdoa dan memuji. Juga memohon kepada Ngünechen agar memberi kesejahteraan kepada manusia, memelihara dan memulihkan keseimbangan alam.
Ritus keagamaan ini biasanya dilakukan setiap 2-3 tahun atau bahkan empat tahun sekali; tergantung kebutuhan setiap komunitas.
Ritus Nguillatun ini biasanya dilakukan di tanah lapang yang luas seperti lapangan yang telah disakralkan dan dipagari. Di tengah tanah lapang tersebut ada sebuah tiang kayu.
Kemungkinan besar tiang tersebut sebagai simbol bersemayamnya Ngünechen dan arwah-arwah leluhur.
Hampir mirip dengan budaya di Indonesia khususnya di NTT.
Sruktur sosial
Struktur sosial kaum Indian Mapuche didasarkan pada unit sosial (komunitas sosial) paling dasar yang dikenal sebagai lof.
Komunitas atau unit sosial lof ini adalah gabungan dari keluarga-keluarga dan dianggap masih memiliki hubungan darah atau kekerabatan dekat. Itu karena mereka berasal dari nenek moyang yang sama.
Peran lonco
Setiap komunitas atau lof ini bersifat otonom. Nah, di dalam setiap komunitas Indian atau lof ini dipimpin oleh seorang yang diberi gelar sebagai lonko.
Peran lonko di dalam lof bisa dikatakan sebagai presidennya kaum Indian dalam komunitas kecil tersebut (Mario Pobleta; 2019: 1).
Kedudukan seorang lonco di dalam lof mencakup aspek politik, administrasi dan agama.
Dalam urusan agama, lonco juga bisa memimpin keagamaan asli yang disebut sebagai guillatún.
Kaum Indian Mapuche tidak mengenal seorang penguasa tunggal yang berkuasa atas komunitas-komunitas tadi.
Setiap komunitas adalah otonom dan seorang lonco adalah penguasa atas komunitasnya.
Selain lonko di dalam lof, ada satu jabatan lain yang disebut sebagai werken.
Werken ini adalah orang terpercaya lonko. Tugasnya dalam lof sebagai pembawa pesan dan juru bicara lonko dan komunitas mereka.
Nah, werken ini kalau dalam strukutur pemerintahan kita di Indonesia, ia sinonim dengan juru bicaranya presiden. Keren bukan?
Dalam hidup berkomunitas, kaum Indian Mapuche memiliki tatanan hukum yang berfungsi sebagai pengatur kehidupan di dalam lof.
Perangkat hukum ini disebut sebagai az mapu.
Di dalam az mapu adalah terdapat serangkaian yang sangat ketat mengatur tentang peran dan relasi antara manusia dan dunia kehidupan lainnya. Prinsip utama az mapu ialah semua makhluk hidup adalah sama, memiliki esensi dan tingkat kepentingan yang sama (Mario Pobleta; 2019: 3).
Di sini terlihat sangat jelas bahwa kaum Indian Mapuche sangat menjunjung tinggi prinsip egaliter. Karena itulah, dalam komunitas kaum Indian Mapuche tidak mengenal istilah seorang pemimpin atau penguasa tunggal sebagai pemimpin umum dari setiap komunitas Mapuche.
Setiap komunitas adalah otonom. Mereka juga sangat menghormati alam di sekitarnya. Sebab bagi mereka, setiap makhluk memiliki roh dalam dirinya.
Menarik, bukan?
Tabib Kaum Indian Mapuche
Selain lonko dan werken tadi, ada lagi satu jabatan khusus yang juga sangat penting dalam lof, yaitu machi.
Machi adalah seorang tabib atau dokter tradisional kaum Indian Mapuche. Machi ini bisa dijabat oleh pria atau perempuan. Namun, kebanyakan kaum perempuanlah yang menduduki posisi ini.
Nah, tidak sembarang orang di dalam lof bisa menyandang jabatan machi, loh.
Sebab machi adalah orang spesial yang mendapat karunia khusus atau petunjuk istimewa dari para leluhur mereka yang telah meninggal.
Peran utama seorang machi dalam lof ialah mengabdikan dirinya untuk mendoakan dan menyembuhkan orang-orang yang mengindap pelbagai penyakit; baik itu penyakit fisik maupun penyakit psikis karena kekuatan roh jahat (Luca Citarella; 1995: 197).
Ritus Kematian
Kaum Indian Mapuche memiliki ritus pemakaman yang sangat unik. Biasanya di kampung-kampung, kalau ada salah seorang meninggal dunia, maka peti jenazah dari orang yang meninggal itu akan diletakkan di alam terbuka.
Kemudian, seluruh anggota keluarga dan kerabat dari orang yang meninggal itu akan datang melayat.
Sesudah melayat dan meletakkan karangan bunga di samping peti jenazah, mereka akan pergi sedikit menjauh dari peti jenazah untuk urusan makan dan minum.
Jadi, tidak ada orang yang duduk untuk menjaga peti jenazah.
Hal yang paling menarik ialah bahwa setiap keluarga atau kerabat dekat yang datang melayat pasti akan menyembelih hewan mereka seperti sapi, domba, kuda, babi dan ayam.
Tujuannya ialah untuk memberi makan tamu yang datang melayat.
Mereka juga akan membawa serta perlengkapan masak seperti periuk, kuali, kayu api, roti, kentang, sayur-sayuran, garam, anggur atau bir dan lain-lain.
Pokoknya, seru deh.
Lalu, mereka mulai masak dengan membuat lingkaran mengelilingi peti jenazah itu. Nah, uniknya lagi ialah masing-masing keluarga atau kerabat akan buat tungku apinya dan masak sendiri-sendiri sesuai dengan gaya dan seleranya masing-masing.
Dan, setiap keluarga akan melayani tamunya masing-masing.
Bisa makan super kenyang
Misalnya, ada seorang tamu atau seorang pastor yang diundang untuk memimpin ibadat kematian, kebetulan ada 10 keluarga dari orang yang meninggal itu mengenal tamu atau pastor tersebut, pada acara makan, tamu atau pastor tersebut akan dilayani makan dan minum oleh 10 keluarga tersebut.
Itu berarti si tamu atau pastor tersebut akan dilayani makan sebanyak sepuluh kali.
Masing-masing keluarga akan membawa makanan dan anggur untuk tamu atau pastor tersebut. Secara matematis, tamu atau pastor tersebut akan mendapat 10 piring makanan.
Menurut tradisi mereka, makanan sebanyak itu wajib dihabiskan di tempat duka itu.
Namun, ada kebijakan bahwa seandainya tamu tidak sanggup menghabisi makanan tersebut, maka tamu bisa mengisi makanan-makanan yang tidak bisa dihabiskan itu di dalam kantong yang telah ia bawa dari rumahnya.
Sebaliknya, jika tamu atau pastor yang diundang hanya dikenal oleh satu keluarga saja, maka tamu atau pastor tersebut hanya akan dilayani oleh satu keluarga saja.
Nah, yang lebih aneh lagi, kalau semua anggota keluarga tidak mengenal tamu atau pastor tersebut, maka mereka tidak akan melayani tamu atau pastor tersebut.
Biasanya, sesudah acara makan keluarga jenazah akan dikuburkan. Hehe, menarik bukan?