PERCAKAPAN yang saling mengembangkan mengandaikan ketulusan dapat menjadi sarana baik. Tentu bila ada equality, sekalipun dalam tingkat atasan-bawahan.
Keberanian menyingkirkan sementara kedudukan dan menyamakan diri, sejajar, lebih membawa keterbukaan, kemajuan dan perkembangan lebih baik dan menyaudara.
Dialog mengandaikan pembicaraan dua arah. Kedua belah pihak sadar memiliki peran untuk bertumbuh dalam kebersamaan dan kebaikan.
Percakapan Yesus dengan banyak orang yang mencarinya membuahkan “pemurnian” motivasi.
Percakapan yang membuahkan iman dan membuka selubung diri dari motif-motif manipulatif.
Bacaan bersumber pada Kis 6: 8-15; Yoh. 6: 22-29.
Tragedi dalam pembicaraan rohani
Di ujung telepon sana, tiba-tiba terdengar suara menyapa, “Bagaimana kabarmu? Bisakah kita jumpa? Saya ingin berbicara”.
Selang beberapa waktu perjumpaan terjadi.
“Bagaimana kesehatanmu?”.
“Baik. Tidak menunjukkan hal-hal yang mengkhawatirkan. Kadar gula sedikit naik. Masih bisa diatur dengan kontrol makanan, olahraga, tidur cukup. Tidak sampai minum obat.”
“Syukurlah tapi waspadalah. Pelayanan kita membutuhkan energi yang lebih besar dan kesehatan yang prima. Kancah pelayanan tidak segampang di daerah-daerah lain.”
“Saya dengar kamu beda pendapat. Saya dengar cukup keras.”
“Dengar dari siapa ya? Saya merasa tidak begitu keras amat. Saya agak tegas. Jangan pernah lagi memegang kepala tiba-tiba tanpa alasan. Bahkan kalau itu dianggap sebagai salam persaudaraan. Tidak sopan. Apa pun motifnya. Kejadian itu berulang-ulang kali. Saya diam, kendati hati sedikit jengkel. Saya sudah mengingatkannya dengan baik. Ia hanya ketawa kecil. Kesan saya, ia merasa lebih pinter, lebih berkuasa, lebih punya pengaruh. Itu saja masalahnya.”
Atasan memberi nasihat, namun terkesan berpihak.
Ia memberi banyak nasihat untuk tetap mengusahakan kesatuan demi pelayanan pastoral.
Mendengarkan dengan serius sambil mencatat hal-hal yang bisa mengembangkan dirinya; sambil menerka apa persis yang dimaksudkan tiba-tiba atasan berkata, “Kamu tidak suka saya bicara? Saya amati kamu. Kalau saya berkata sesuatu, kamu mengerutkan dahimu seakan-akan kamu akan memberi jawab sebelum saya selesai berbicara.”
“Saya mendengar serius dan mencatat hal-hal yang penting dan baik untuk perkembangan saya. Saya mencoba memahami.”
“Kamu tidak usah membenarkan diri. Saya lihat sendiri. Saya melihat gerak-gerik badanmu.”
“Tapi saya tidak bermaksud demikian. Saya hanya mencoba memilah mana yang baik untuk saya.”
“Ya, saya melihat gerak-gerikmu dan arah tatapanmu.”
Terdiam dan membiarkan atasan berbicara, itulah sikap yang diambil pada waktu itu. Tidak mungkin lagi bereaksi, karena akan menimbulkan suasana yang tidak perlu.
Batin sudah tidak lagi bisa mendengar dengan baik. Tertutup.
Rasa batin terganggu. Ada ketidaknyamanan dan ingin segera menyelesaikan perjumpaan sepihak yang telah menjadi ajang penyidikan.
Dalam situasi apa pun lebih-lebih ketika berada dalam posisi bawahan, ketaatan menjadi senjata ampuh dari kedua belah pihak; baik dari segi positif maupun negatif.
Kaul-kaul yang terucapkan kiranya akan menjadi sumber kegembiraan dan sukacita pelayanan; menumbuhkembangkan buah-buah iman dan kebaikan, bila didukung dengan pembicaraan dua arah. Bukan hanya memerintah dan menegur bila keliru.
Apalagi bila hanya mendengar dari pembisik-pembisik tertentu.
Yesus memperbaiki motivasi orang banyak. “Bekerjalah, bukan untuk makanan yang akan dapat binasa, melainkan untuk makanan yang bertahan sampai kehidupan yang kekal yang akan diberikan anak manusia kepadamu.” ay 27 a.
Kelembutan nasihat dan tatapan penuh kasih memunculkan Kerinduan, “Percayalah kepada Dia yang telah diutus Allah.” ay 29.
Tuhan, ajari aku untuk berani percaya kepadamu dalam situasi apapun hidupku. Amin.