Keblinger

0
416 views
Ilustrasi - Mencari wahyu. (Ist)

Renungan Harian
Selasa, 4 Mei 2021
Bacaan I: Kis. 14: 19-28
Injil: Yoh. 14: 27-31a.

SUATU sore, saya kedatangan tamu tiga orang bapak. Bapak-bapak itu ternyata kakak beradik. Mereka datang untuk minta saya memberikan doa dan berkat bagi adiknya, yang sekarang sedang sakit.

Ketika saya tanya tentang adiknya sakit apa, bapak-bapak itu menjawab bahwa adiknya sakit karena terlalu banyak bermatiraga.

Saya agak terkejut mendengar bahwa adiknya sakit karena terlalu banyak bermatiraga. Lalu saya minta penjelasan apa yang telah dilakukan oleh adiknya yang sakit itu.
 
Seorang bapak yang paling tua bercerita:

“Romo, adik saya itu secara ekonomi berkekurangan, sehingga kami, kakak-kakaknya, selalu menopang ekonomi keluarga adik ini. Berkali-kali menjalankan usaha selalu gagal, kami sendiri tidak tahu persis mengapa selalu gagal.

Adik bercerita bahwa setiap kali berusaha selalu ada yang tidak suka, sehingga dibuat gagal. Karena hal itu, entah dengar dari siapa adik saya lalu banyak pergi ke tempat-tempat tertentu untuk mendapatkan “wahyu” agar dapat mengalahkan hal-hal yang mengganggu usahanya.

Dia selalu berpuasa macam-macam, kadang hanya makan umbi-umbian, kadang hanya makan buah-buah, kadang hanya minum saja.

Semua dilakukan agar mendapatkan “wahyu” untuk usaha yang cocok, dan tidak mendapat gangguan.”
 
Kemudian saya bersama dengan bapak-bapak itu pergi ke rumah sakit tempat adiknya dirawat.

Saya terkejut melihat keadaan bapak yang sakit. Badannya amat kurus, matanya cekung sungguh-sungguh memprihatinkan.

Saat saya menyapa, dia masih bisa menjawab dengan jelas meski amat perlahan dan lirih.

Bapak itu mengatakan bahwa dirinya gagal.

Saya bertanya apa yang dimaksud dengan gagal itu.
 
“Romo, saya gagal mendapatkan “wahyu”. Saya sudah berusaha dengan sekuat tenaga, saya sudah mati raga luar biasa tetapi tidak mendapatkan apa-apa. Saya hanya ingin keluarga saya sejahtera Romo, dan saya yakin hanya dengan “wahyu” itu keluarga saya sejahtera,” bapak itu menjelaskan.

“Mengapa bapak melakukan semua ini, dapat nasihat dari siapa?,” tanya saya.

“Romo, saya tidak dapat nasihat dari siapa-siapa, tetapi saya mengerti sendiri. Dalam Kitab Suci dikatakan untuk menjadi murid Kristus harus berani menderita, tidak sayang dengan nyawanya sendiri. Dalam ajaran leluhur juga dikatakan segala sesuatu itu bisa dicapai dengan “laku” (berjuang dengan askese),” bapak itu menjawab.
 
“Waduh, bapak ini keblinger (gagal paham),” kata saya dalam hati.

“Bapak, menjadi murid Kristus harus menderita itu betul dikatakan dalam Kitab Suci, dan bahwa untuk meraih segala sesuatu itu harus dengan “laku” juga  betul. Tetapi penderitaan tidak harus dicari-cari dan dibuat-buat. Apa yang bapak lakukan ini namanya mencari-cari penderitaan dan menyiksa diri. Bukan itu yang dimaksud dalam Kitab Suci maupun ajaran leluhur.
 
Tujuan bapak adalah menyejahterakan keluarga, maka yang harus bapak lakukan adalah kerja keras, membangun usaha, menekuni usaha dan mengembangkan usaha.

Kerja keras bapak dalam berusaha, ketekunan bapak dalam berusaha, kesediaan bapak untuk jatuh bangun membangun usaha itulah keikutsertaan bapak dalam penderitaan Kristus dan juga laku bapak sebagai kepala keluarga.

Ketekunan bapak dalam menjalankan usaha yang sering gagal tetapi berani bangkit lagi, tidak takut jatuh dan gagal pun tidak malu karena gagal itulah wujud bapak mengalahkan diri sendiri.

Jadi, sekarang bapak harus berjuang untuk sembuh, berjuang untuk makan dan tekun menuruti nasihat dokter agar bapak dapat berjuang, menderita dan laku untuk kesejahteraan keluarga dengan cara kerja keras, bukan dengan mencari wahyu,” kata saya meneguhkan bapak yang sedang sakit.
 
Penderitaan dalam mengikuti Kristus tidak harus dicari-cari dan dibuat-buat tetapi hal yang penting adalah kesiapsediaan kita bila hal itu terjadi saya berani menanggungnya dengan rela.

Sebagaimana nasehat Paulus dan Barnabas sejauh diwartakan dalam Kisah Para Rasul: “Di tempat itu, mereka menguatkan hati murid-murid, dan menasihati mereka supaya mereka bertekun di dalam iman. Mereka pun mengatakan, bahwa untuk masuk ke dalam Kerajaan Allah, kita harus mengalami banyak sengsara.”
 
Bagaimana dengan aku?

Sejauh mana aku memahami dan memaknai penderitaan dalam hidupku?

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here