Jumat, 28 Mei 2021
- Sir 44: 1, 9-13.
- Mrk. 11: 11-26.
KEBAIKAN dan kebajikan selalu menyebar.
Keduanya dapat menyadarkan ada banyak hal yang dapat memurnikan hidup. Kita pun disadarkan untuk apa aku diciptakan; hidup dan berada di dunia ini.
Hidup yang bermakna cenderung meneruskan kebaikan bersama bagi sesama.
Dalam Gereja, dinamika, proses demi sebuah hidup yang lebih bermakna, lebih terarah pada asal dan tujuan kita diciptakan, disebut tradisi suci.
Manusia dilibatkan dalam gerak “pemulihan” sebagai yang tercipta bagi Tuhan dan kehidupan bersama.
Bertumbuh dalam iman berarti menjaga dan memelihara hal-hal yang paling berharga yang telah diberikan para pendahulu tetapi juga terbuka untuk menepis apa yang tidak baik; menerima anugerah baru dari Dia yang memanggil kita untuk mengembangkan apa yang bernilai.
Itulah tradisi suci
Sirakh mencatat demikian.
“Dan sekarang kami hendak memuji orang-orang termasyhur, para nenek moyang kita menurut urut-urutannya. Mereka adalah orang kesayangan yang kebajikannya tidak sampai terlupa; semuanya tetap tinggal pada keturunannya sebagai warisan baik yang berasal dari mereka. Keturunannya tetap setia kepada perjanjian-perjanjian dan anak-anak mereka pun demikian pula keadaannya.” ay 1, 10-12.
Pai kuy
“Mo, mami meninggal”.
“Aduh. kapan? Di mana sekarang diistirahatkan? Loh, sepekan lalu kita kumpul sehat-sehat aja tuh mami?”
Rentetan kegelisahan.
“Ada sesuatu dari mami untuk Romo.”
Teringat sosok pribadi seorang ibu yang sangat baik. Ia seorang Konghucu; namun semua anak-mantu-cucu Katolik.
Saya sudah seperti anaknya sendiri; selalu memperhatikan, menasihati bahkan mendoakanku.
Kebaikannya dilanjutkan oleh anak, menantu, cucu. Feel at home, bila main ke rumahnya. Mereka diizinkan menjadi pengikut Yesus di dalam Gereja Katolik.
Saya ingat sebuah percakapan.
“Ma, kenapa anak-anak, menantu, cucu boleh menjadi Katolik?”
“Kan di Gereja Katolik masih boleh sembahyang kepada leluhur. Kami meneruskan tradisi baik. Saya bisa begini itu karena orangtua, dan oma opa saya.
Kami diberi banyak berkat. Lebih dari cukup. Saya bahagia. Ketika Imlek, kami semua berkumpul.
Saya melihat semua rukun, juga dalam kehidupan sehari-hari. Setiap hari cucu-cucu bergantian datang. Mereka mampir setelah pulang sekolah, makan siang.
Cucu-cucu suka masakan saya. Dan lagi kalau cengbeng, saya selalu diajak berdoa bersama di gereja dulu; baru ke makam.
Setiap tanggal 2 November, almarhum suami, papa-mama, bahkan oma-opa disebut.
Saya yakin, namaku tetap disebut; walau sudah di alam lain. Kami akan dikenang selalu, didoakan.”
Malam terakhir maisongan ada Pai Kuy.
Semua anak mantu cucu berlutut di depan peti. Saya pun berlutut bersama mereka.
Kami sujud tiga kali.
Mungkin bagi orang lain bisa menjadi pembicaraan.
Bagi kami, tindakan ini sebagai tanda terimakasih, syukur atas kebaikan almarhumah mama, atas pengorbanan dan cintanya; atas kerelaan hati menyerahkan semua keturunannya ke dalam tangan Tuhan.
Kenangan begitu indah dan selalu saat itu mereka berjanji untuk saling membantu dan tidak boleh ada yang memisahkan, mempertentangkan mereka satu sama lain.
Dan mereka buktikan sampai saat ini. Mereka betul hidup rukun dalam Tuhan.
Anak-anak pun akrab satu sama lain juga dengan sepupu mereka.
Hormat, syukur mengenang dan meneruskan kebaikan dan kebajikan leluhur merupakan tindak penerusan kebaikan; juga pembaktian diri dalam iman.
Adakah yang lebih berharga daripada ini?
Yesus berkat: “Rumah-Ku akan disebut rumah doa bagi segala bangsa.” ay 17a.
Tuhan, lawatlah hidup kami. Amin