Minggu, 27 Juni 2021
Keb.1:13-15;2:23-24. Mzm.30:2.4.5-6.12a-13b 2Kor.8:7.9.13-15.
Mrk.5:21-43.
HIDUP mati kita ini ada di tangan Tuhan.
Jika Tuhan menghendaki semuanya bisa saja terjadi. Yang tampak tidak ada harapan dan hampir habis, tetapi atas kehendak Tuhan bisa tetap hidup dan bertahan.
Tuhan menjaga dan memberikan daya kekuatan kepada orang yang letih lesu dan berbeban berat yang menyerahkan hidupnya di tangan Tuhan.
Inilah kondisi seorang ibu yang divonis dokter tidak akan bertahan lama karena penyakitnya. Namun atas kemurahan Tuhan bisa melewati batas yang dipikirkan oleh manusia.
“Prognosis ibumu -kata dokter- hanya dua sampai tiga bulan,” kata seorang bapak kepada anak-anaknya.
“Apakah bapak sudah memberi tahu pada ibu,” kata anaknya sambil menahan tangis yang hampir pecah.
“Sudah. Dan saat ini saya ingin kalian tahu supaya bisa memberi waktu dan perhatian pada ibumu lebih daripada waktu-waktu yang lalu,” sahut bapaknya.
“Dokter bukan Tuhan. Saya tidak percaya, saya ingin ibu hidup terus,” tangis anaknya bungsunya.
“Iya, Nak. Tuhan pasti mendengar jeritanmu dan mengabulkan doamu,” kata bapaknya.
“Saya minta waktumu, Pak, untuk menemaniku mengunjungi pakde, bulik, dan saudara yang lain serta beberapa temanku,” kata ibu yang sakit itu.
“Apakah tidak baik istirahat saja di rumah dan menghubungi mereka lewat HP,” kata suaminya kuatir akan kesehatan isterinya.
“Waktuku tidak lama lagi. Saya ingin melakukan yang selama ini tidak bisa aku lakukan, mengunjungi saudara dan meminta maaf atas segala kesalahanku,” sahutnya.
“Tapi kondisi Ibu sangat lemah,” kata suaminya.
“Kalau bapak keberatan, saya akan jalan sendiri,” sahutnya.
Akhirnya bapak itu mengantar isterinya mengunjungi satu per satu sanak-saudaranya dan beberapa temannya.
Dari pembicaraan yang sedih penuh air mata, hingga yang lucu yang membuat saling tertawa, seringkali terjadi pada saat ibu itu mengunjungi saudara san teman-temanya.
Tanpa terasa waktu-waktu itu menjadi waktu yang sangat berharga dan menjadi kesempatan untuk berbagi harapan, kasih dan iman.
Dua bulan terlewati, tiga bulan terlewati, empat bulan terlewati dan seterusnya.
Yang pada awalnya ada kecemasan dan ketakutan hingga ibu tidak lagi dibayangi ketakutan akan kematian.
Dua tahun setelah vonis dokter, ibu itu akhirnya menghadap Tuhan sebagai pemenang atas ketakutan dan kecemasan.
Imannya pada Tuhan telah membuatnya menjadi pribadi yang bebas dan percaya akan kerahiman Tuhan.
Iman ibu itu telah membuat dirinya menjadi “pemenang” karena penyakit beratnya tidak meluluhkan semangatnya. Juga tidak membekukan keinginannya untuk menemukan kasih dan berbagai kasih dengan sesamanya.
Dia meninggal dengan senyum damai, karena dia pulang kepada sang empunya kehidupan.
Apakah imanku memberi dampak nyata dalam sitausi-situasi berat dalam hidupku?