Berani Lepas Bebas

0
326 views
Ilustrasi: Misa di pinggir Sungai Tigal di wilayah pastoral Paroki Nanga Tayap, Keuskupan Ketapang. (Dok. Romo A. Joko Purwanto)

Puncta 28.06.21
Senin Biasa XIII
Matius 8: 18-22

SELAMA hampir 25 tahun imamat, waktu itu aku baru menyadari apa arti sebuah motto tahbisan. Ketika sedang berjuang di dalam pengutusan di pedalaman Kalimantan, aku disadarkan oleh sesanti tahbisan. “Ini aku, utuslah aku.”

Itu adalah jawaban Nabi Yesaya, saat Tuhan bertanya; “Siapakah yang akan Kuutus, dan siapakah yang mau pergi untuk Aku?”.

Ketika sedang kesepian di tengah hutan, jauh dari siapa-siapa.

  • Ketika sedang kecapekan menempuh perjalanan panjang.
  • Ketika sedang kelelahan melewati jalan lumpur atau debu jalan logging.
  • Ketika harus jatuh terperosok ke dalam sungai.
  • Ketika tidak ada signal atau jaringan internet di pelosok.
  • Ketika sendirian melayani 24 stasi.
  • Ketika tidak ada waktu untuk istirahat.
  • Ketika harus tidur di pinggir jalan karena ban motor pecah. Hanya kayu ranting untuk meletakkan kepala.

Sebuah kartu pos ucapan selamat ulang tahun tahbisan dari seorang teman angkatan dengan tulisan motto, “Inilah Aku, utuslah Aku,” menyadarkan aku untuk tegar menghadapi berbagai kesulitan di lapangan.

Bacaan Injil hari ini mengungkapkan sebuah totalitas menjadi murid Yesus.

Ketika ada ahli Taurat berkata, “Guru, aku akan mengikuti Engkau, kemana saja Engkau pergi.”

Yesus tidak langsung mengiyakan.

Tetapi Dia menggambarkan apa yang harus dihadapi seorang murid. “Serigala mempunyai liang, burung mempunyai sarang, tetapi Anak Manusia tidak mempunyai tempat untuk meletakkan kepala-Nya.”

Mengikuti Yesus bukan pekerjaan mudah. Harus siap menghadapi tantangan dan kesulitan.

Yesus menuntut pengorbanan yang radikal dan total. Tidak hanya setengah-setengah. Kita tidak boleh lekat dengan barang atau tempat tertentu.

Tidak ada liang, tidak ada sarang.

Kita juga tidak boleh melekatkan diri dengan relasi-relasi. “Biarlah orang mati menguburkan orang mati” adalah ungkapan untuk berani mengorbankan relasi-relasi keluarga.

Berani meninggalkan keluarga dan tidak terikat dengannya.

Ketika sendiri dan mengalami kesepian, aku membaca kembali kartu pos itu. “Inilah aku, utuslah aku” kubaca berulang-ulang.

Ada kekuatan yang menyusup di tulang-tulang sendiku.

Di teras depan Pastoran Nanga Tayap, aku duduk sendiri menatap salib kayu di samping pendopo dekat taman doa. “Inilah pengutusanku yang harus aku selesaikan.”

Berani menghadapi segala tantangan, karena untuk ini aku diutus.

Ketika harus kembali ke Jawa, ada rasa berat meninggalkan sebuah perjuangan. Tak kuasa menahan air mata yang berlinang.

Sesak rasanya di dada.

Di pojok kamar atas UNIO aku diingatkan dengan bacaan hari ini.

Janganlah lekat dengan barang atau tempat tertentu, karena Anak Manusia tidak punya tempat untuk meletakkan kepala.

Selamat jalan sahabatku di mertoyudan.
Kita berpisah di persimpangan jalan.
Hari ini berita sangat mengejutkan.
Seorang sahabat pergi dipanggil Tuhan.

Cawas, hanya mengiringi dalam doa…

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here