Renungan Harian
Jum’at 09 Juli 2021
Bacaan I: Kej. 46: 1-7. 28-30
Injil: Mat. 10: 16-23.
SUATU sore, ketika saya sedang liburan di rumah, saya ngobrol dengan bapak. Saat itu bapak duduk di kursi dan saya duduk di lantai sambil melihat televisi.
Saya bertanya: “Bapak, kalau sekarang bapak melihat kami, anak-anak dan apa yang telah kita terima serta alami, apa yang bapak masih inginkan? Kalau masih ada yang bapak inginkan kiranya kami bisa memenuhinya.” (semua percakapan dengan bapak, saya lakukan dengan bahasa Jawa kromo madyo).
“Wah, bapak sekarang ini selalu bersyukur dan bersyukur. Bapak amat bahagia dengan apa yang bapak lihat dalam diri kalian dan apa yang sudah bapak alami. Bapak sudah tidak ingin apa-apa lagi, bapak sudah amat bahagia dan bersyukur dengan semua ini,” jawab bapak.
“Bapak tidak ingin jalan-jalan atau membeli sesuatu atau apa?” tanyaku mendesak.
“Tidak, semua sudah cukup, bapak sudah bersyukur dan bahagia dengan semua yang ada,” jawab bapak menegaskan.
“Kalau masih boleh mohon bapak ingin nanti kalau bapak seda (meninggal) nunggu adik (adik paling kecil) sudah pensiun,” tambah bapak sambil menerawang.
Setelah lewat pembicaraan panjang diantara kami anak-anak, saya dengan kedua adik saya, akhirnya adik paling kecil memutuskan untuk pensiun dini agar bisa menemani bapak.
Saat adik sudah pensiun dan tinggal di rumah menemani bapak, bapak nampak jauh lebih segar dan bahagia.
Suatu ketika saya mampir untuk menengok bapak, bapak berkata sambil berbisik:
“Bapak sekarang sudah amat bahagia dan tidak menginginkan apa-apa lagi. Kalau sewaktu-waktu Tuhan memanggil, bapak sudah siap.”
Kira-kira dua bulan sejak adik pensiun, suatu pagi saya mendapat kabar dari adik kalau bapak tiba-tiba merasa dadanya sesak dan keringat dingin mengalir deras.
Adik segera membawa bapak ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan. Mendengar berita itu, saya segera pulang, dalam hati saya sempat terbersit mungkin ini saatnya bapak berpulang.
Saat kami bertemu bapak di ICU rumah sakit bersama dengan adik-adik, bapak kelihatan segar; meski harus memakai oksigen dan beberapa alat untuk memantau jantungnya.
Kami tertawa-tawa senang dan bahagia. Sampai kami ditegur dokter dan diminta keluar, karena bapak harus istirahat tidak boleh terlalu banyak tertawa.
Sebelum meninggalkan ruang ICU saya menawari memberi Sakramen Pengurapan Orang Sakit, bapak dengan senang hati dan siap untuk menerimanya.
Kami mengadakan ibadat pengurapan orang sakit dan kami keluar.
Dini hari kami dihubungi suster perawat bahwa bapak anfal dan kami berdoa bersama. Tak berapa lama baik membaik lagi.
Saat saya sedang merayakan ekaristi pagi di biara, begitu selesai diminta segera ke rumah sakit.
Dan ketika sampai di ICU saya melihat bahwa bapak sudah pergi.
Adik bercerita bapak sesaat setelah saya pergi untuk misa, bapak anfal lagi dan adik berdoa Rosario, dan menurut adik bapak masih bereaksi untuk ikut berdoa.
Selesai berdoa Rosario, bapak menarik nafas panjang dan pergi.
Kami tentu sedih kehilangan bapak, tetapi kami bersyukur bisa menghantar bapak kembali kepada Allah dan Bapanya dalam suasana bahagia.
Bapak sudah amat bahagia dan bersyukur sehingga bapak “pulang” dengan bahagia.
Saya membayangkan betapa bahagia boleh “pulang” seperti itu.
Sebagaimana sabda Tuhan hari ini sejauh diwartakan dalam Kitab Kejadian, kebahagiaan dan syukur Yakub bertemu dengan Yusuf sehingga sudah tidak menginginkan apa-apa lagi dan siap bila Tuhan memanggilnya.
“Sekarang bolehlah aku mati, setelah aku melihat mukamu dan mengetahui bahwa engkau masih hidup.”