Cacing Tanah

0
322 views
Ilustrasi - Cacing tanah. (Ist)

Renungan Harian
Rabu, 21 Juli 2021
Bacaan I: Kel.16: 1-5. 9-15
Injil: Mat. 13: 1-9.
 
SEJAK masa pandemi mulai, saya dibantu dengan seorang karyawan mencoba bertanam sayuran dengan cara hidroponik dan di tanah. Mengingat tidak ada lahan tanah untuk bertanam, maka kami memanfaatkan talang air bekas. 

Talang air itu kami isi dengan tanah untuk bertanam.

Kami  membeli tanah lembang yang terkenal kesuburannya. Jadilah setelah mengisi talang dengan tanah dan menambahkan pupuk kami menanam pakcoy; selain mudah ditanam juga enak untuk dimasak.
 
Tanaman tumbuh dengan subur dan sedap dipandang.

Saat panen tiba, maka kami membagi hasil panenan kepada umat yang membutuhkan. Setelah sayuran dipanen kami mulai menanam sayuran lagi.

Kali ini, kami menanam sayur pagoda.

Pagoda kami tumbuh subur daun-daunnya mekar indah.

Sebagaimana tanaman terdahulu, kali ini saat penen tiba kami juga membagi kepada umat yang membutuhkan.
 
Setelah panen seperti biasa kami mulai menanam sayuran lagi.

Kali ini, kami menanam sawi hijau. Namun ternyata sawi yang kami tanam tidak tumbuh dengan baik, bahkan dapat dikatakan kami gagal dalam bertanam.

Saya agak bingung, kenapa di tempat yang sama dengan tanah yang subur, tanah sudah dipersiapkan dan diberi pupuk yang sama tetapi kali ini gagal.

Karena ketidaktahuan, maka saya bertanya kepada salah seorang umat yang ahli dalam bidang pertanian. Ia memberi saran,yang sungguh-sungguh tidak pernah saya pikirkan.
 
Beliau mengatakan demikian.

“Tanah yang tanamannya habis dipanen tidak bisa langsung ditanami lagi. Betul tanahnya subur, dan diolah dengan cara yang sama dengan pengalaman panen yang bagus sebelumnya. Namun demikian tanah tidak ada waktu untuk “istirahat”.

Tanah butuh “diistirahatkan” barang sejenak agar dapat  “bernafas”.

Selain itu, ia menyarankan agar tanah diberi cacing tanah.

Cacing tanah akan mengurai tanah agar tanah tidak menjadi padat karena disiram, sehingga tanah bisa “bernafas” dengan baik.”

Saran itu kami ikuti dan ketika kami menanam lagi hasil sungguh luar biasa, karena lebih bagus dari sebelumnya.
 
Bertolak dari pengalaman bertanam tadi saya belajar. Tanah yang subur dan menghasilkan panen, membutuhkan waktu untuk “istirahat” untuk “bernafas”dan perlu ada cacing tanah yang mengurai tanah agar tidak padat.

Demikian juga dengan diriku. Andai diriku adalah tanah yang subur telah menghasilkan buah yang berlimpah, perlu untuk mengambil waktu untuk menghirup “nafas” pembaharuan diri.

Di samping itu perlu “cacing tanah” dalam diriku yang membuat diri selalu gelisah untuk memperbaharui diri, tidak menikmati kemapanan.
 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here