Pelajaran Penting Usai Terpapar Covid-19 di Seminari

1
443 views
Para frater calon imam diosesan Keuskupan Malang: Pelajaran Penting Usai Terpapar Covid-19 di Seminari.

KEMAJUAN teknologi dan perkembangan sosial media yang sangat pesat berdampak baik bagi kehidupan kita.

Kita pernah mendengar jargon “media sosial mempersatukan kita, mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang baik”.

Beberapa dari kita menganggap jargon ini sebagai sebuah ungkapan lucu, walaupun di sisi lain memberi tanggapan positif terhadapnya.

Kita sepertinya terlena dengan kata-kata awal jargon tersebut. Mungkin benar media sosial telah mampu mengambil posisi PT Pos Indonesia untuk mendekatkan yang jauh.

Bayangkan keadaan kita sebelum ada sosial media. Kita hanya bisa berkomunikasi dengan kerabat kita yang jaraknya jauh hanya melalui surat yang baru tiba dua pekanmi setelah dikirim. Artinya satu bulan kemudian, kita baru mendapat balasan dari kerabat kita.

Tapi dengan hadirnya media sosial, jarak tak lagi ada artinya. Karena kapan pun kita mau, kita dapat berkomunikasi dengan kerabat nun jauh di sana. Meskipun berbeda benua

Dampak buruk

Media sosial hadir memberi segala kemudahan bagi kita.

Jakarta-Merauke kini tidak lagi ditempuh satu hari perjalanan udara atau berminggu-minggu perjalanan laut. Berkat “kekuatan” ibu jari, jarak ribuan kilometer itu kini dapat ditempuh dalam hitungan detik.

Dan akhirnya kita telah nyaman dengan keadaan ini hingga kita lupa bahwa tetangga kita yang jaraknya hanya berbatas tembok yang tebalnya tak lebih dari dua meter kini berada di jarak terjauh dari kita.

Kita menjadi tidak peduli lagi dengan mereka yang disebelah kita,  meda sosial telah memangkas ribuan kilometer menjadi hanya sekian detik disaat yang sama ia juga mengubah jarak yang tak lebih dari lima meter menjadi ratusan atau bahkan ribuan kilometer.

Lalu apa yang kita lakukan? Apakah kita menyadarinya dan hendak melakukan sesuatu untuk memperbaikinya?.

Mungkin kami sedikit lebih beruntung dibanding saudara-saudara yang tinggal di luar.

Tetap normal dengan batasan

Di lingkup internal seminari. kami tidak merasakan itu. Kami tetap menjalani hidup normal.

Manusia hakikatnya adalah mahluk sosial. Meskipun hakikat kami mahluk sosial, namun kehidupan sosial kami terjadi secara langsung dan alami tanpa perantara sosial media.

Kami dibiasakan dan akhirnya mau tidak mau menjadi terbiasa hidup tanpa sosial media sehingga kami tidak kehilangan esensi kami sebagai mahluk sosial.

Kemajuan teknologi tidak menggerus hubungan antarmanusia di antara kami.

Kami menjadi manusia yang benar-benar menjalani komunikasi antarpersonal yang baik tanpa gangguan yang mungkin saja didapat dari kemajuan teknologi itu sendiri.

Seminari Tahun Orientasi Rohani adalah rumah kami.

Rumah yang menyatukan kami yang berbeda-beda suku dan budaya. Jawa, Flores dan Dayak dipersatukan dalam bingkai “rumah” Seminari Tahun Orientasi Rohani San Giovanni XXIII di Lawang, Malang, Jatim.

Sebagian dari kami tentu tidak pernah membayangkan bagaimana kami dapat hidup dan tinggal bersama dengan mereka yang mungkin kami sendiri tidak tahu:

  • Bagaimana budaya mereka;
  • Bagaimana kebiasaan mereka;
  • Bagaimana watak mereka.

Kami tidak bergantung pada informasi yang disediakan gratis oleh layanan internet, Google.

Tapi kami mendapat informasi itu secara langsung dan mungkin jauh lebih akurat dibanding informasi internet. Itu karena kami bertatapan muka dan hidup bersama selama lebih kurang satu tahun.

Mereka yang berasal dari Tanah Borneo dan Tanah Nusa Bunga nun jauh di sana kini dapat melihat dan merasakan langsung tinggal di Tanah Jawa. Hidup bersama kami yang  asli dari Tanah Jawa ini.

Tidak mudah memang mempersatukan watak keras kami. Orang-orang Flores dan watak blak-blakan orang Dayak yang harus bergesekan dengan mereka yang katanya “inggih-inggih mboten kepanggih”.

Namun tanpa adanya campur tangan kemajuan teknologi perlahan, tapi pasti kami mampu mengikisnya bahkan mempersatukannya.

Pernahkah terbayang mereka yang terbiasa memegang mandau kini lebih halus dan mulai dapat mengatakan “aku ora iso” atau mereka yang berwatak keras mulai melunak karena menjungjung norma-norma kesopanan khas Jawa “Nggih, Romo”.

Kini, kami telah menyatu. Tak ada lagi “orang” Dayak, Flores atau pun Jawa. Karena kini, kami dapat berdansa bersama iringan lagu goyang tobelo atau berkaroke lagu “beta mati rasa”, “dayakng janjiola”, atau bahkan lagu-lagu campursari Didi Kempot.

Inilah kami yang kami sebut dengan nama “unity in diversity”; persis seperti semboyan bangsa Indonesia: “Bhinneka Tunggal Ika”.

Kami menjadi manusia-manusia yang lebih peduli satu sama lain. Tak lagi menghiraukan dia berasal dari daerah atau dari keuskupan mana.

Ketika satu di antara kita sakit, semua mau merawat, membantu dan memberi semangat agar lekas pulih.

Tanpa sadar kami telah mendapat kebahagiaan yang sesungguhnya. Meski tak satu pun dari kami yang secara gamblang dapat mengatakannya.

Namun kebahagiaan yang kami rasakan dalam bingkai persatuan itu direnggut secara mendadak oleh sebuah virus yang tak nampak, namun nyata keberadaannya.

Tercerai berai

Di bulan delapan kebersamaan itu kami dipaksa menyerah oleh virus corona yang membuat kami harus hidup terpisah-pisah di empat tempat yang berbeda.

  • Satu teman kami harus menjalani isolasi di Rumah Sakit Panti Nirmala Malang, karena teridentifikasi positif virus corona.
  • Sementara, tujuh orang yang juga mendapat status positif harus menjalani masa isolasi mandiri di RKZ Malang.
  • Sembilan orang beruntung yang mendapat hasil tes negatif langsung diungsikan di Wisma Syanti Lawang.
  • Sisanya tetap tinggal diseminari, karena dianggap orang tanpa gejala (OTG).

Hampir selama satu bulan kami hidup tercerai berai. Jargon “unity in diversity” diuji oleh virus ini.

Juga oleh kemajuan teknologi. Karena beberapa alasan, para formator memperbolehkan kami menggunakan HP dan sosial media.

Ternyata, memang benar. Sosial media dan kemajuan teknologi dapat “sejahat” itu.

Setelah kami dipaksa tinggal di beberapa tempat dan terpisah-pisah. Kami juga ‘dipaksa’ menjauh, hingga hampir merusak tatanan kebersamaan yang telah kami rajut selama ini.

Kami hampir kehilangan kebersamaan kami.

Beruntung, kami telah hidup setengah tahun lebih tanpa gadget sehingga dua pekan kami jalani dengan gadget tidak merusak kebersamaan kami.

Alam bawah sadar kami membuat kami jenuh dengan benda itu.

Kami rindu satu sama lain. Mereka yang tinggal di seminari mempersiapkan acara-acara kecil menyambut kami, usai menjalani isolasi mandiri di rumah sakit.

Kami pun seperti sebuah keluarga yang akhirnya bertemu setelah sekian waktu terpisah, berpelukan dan saling memberi semangat satu sama lain.

Akhirnya saling berbagi cerita tentang apa pun yang kami alami selama hidup tercerai berai itu.

Inilah yang mungkin harus kita sadari bersama, mengambil nilai positif dari suatu hal yang terjadi di sekitar atau didalam hidup kita.

Bahwa memang benar pandemi ini telah banyak merugikan kita.

  • Karena banyak dari kita yang harus kehilangan sebagian atau bahkan seluruh penghasilannya;
  • Karena ‘dipaksa’ bekerja di rumah atau dirumahkan;
  • Bahkan tidak sedikit yang harus kehilangan orang-orang yang kita kasihi.

Takkan melebihi kemampuan kita

Nampaknya kita memang harus benar-benar percaya bahwa Tuhan tidak pernah memberi cobaan yang melebihi kekuatan dan kemampuan kita.

Tuhan tahu kemampuan kita bahkan Ia lebih tau dari diri kita sendiri. Dan akhirnya kita harus percaya bahwa akan selalu ada pelangi setelah hujan.

Mari bijaklah bersosial media dan tetaplah menjadi manusia Indonesia yang ber-“Bhinneka Tunggal Ika”.

Tetap peduli terhadap sesama.

Semoga pandemi ini tidak lagi kita anggap sebagai sesuatu yang menyengsarakan.

Tetapi sebagai sesuatu yang dapat lebih mempersatukan kita.

1 COMMENT

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here