BAPERAN – BAcaan PERmenungan hariAN.
Senin, 30 Agustus 2021.
Tema: Menembus kebekuan.
- Bacaan 1 Tes. 4: 13-17.
- Luk. 4: 16-30.
PENGALAMAN ditolak tentulah bukan hal menyenangkan. Apalagi ada kesan tidak bersahabat. Banyak alasan di balik sikap tidak ramah dan intoleran itu.
Penolakan juga berarti belum terciptanya kesalingan dalam mengenal. Sebuah proses kebersamaan.
Tak disangkal, kadang ada suasana atau kondisi penerimaan sebagai yang lain itu tidaklah mudah. Apalagi terkait SARA.
Untungnya dalam hidup bermasyarakat ada yang namanya semangat sosial tlepa slira. Sikap dasariah hati manusia yang ingin bersolider dengan sesamanya.
Merasa dan keterasingan
Sebuah keluarga Katolik memulai hidup dan mengontrak rumah di sebuah perkampungan padat penduduk. Tampaknya masyarakat biasa-biasa saja seperti umumnya.
Tanpa ada tanda-tanda yang mencolok. Tidak juga pernah terdengar kampung ini pernah menolak siapa pun yang datang sebagai anggota masyarakat setempat.
Dengan kegembiraan dan niat membangun persaudaraan, mereka mengadakan selamatan. Mereka mengenalkan diri dan berbagi tumpeng mini ke tetangga sekitar mereka.
Hari-hari kemudian menjadi hari-hari biasa. Mereka bertetangga. Mereka mulai membiasakan diri bertegur sapa sebagai sarana bersaudara untuk saling dekat dan mengenal.
Wajah tidak bersahabat dan intoleran
Namun bapak ini bercerita, ada seorang yang boleh dikatakan “sesepuh” dalam kampung itu yang kebetulan berbeda keyakinan religiusnya sangat terkesan selalu menampakkan diri kurang bersahabat.
Setiap kali mereka melewati rumah tetangga itu, sapaan mereka tidak pernah mendapat respon.
Mereka mengajari anak-anak agar bersikap toleran kepada tetangga yang kurang bersahabat itu.
“Bila kalian melewati rumah itu, selalulah lebih dahulu menyapa dan kulo nuwun atau permisi. Kita orang Katolik satu-satunya di kampung ini, maka tunjukkan kita ingin bersahabat dengan semua orang. Kita berusaha menjadi tetangga yang baik.”
Bapak-ibu ini pun “ringan tangan” membantu keluarga-keluarga di kampung ini yang sedang ada hajatan.
Anak-anak mulai belajar menyapa, meski juga tidak pernah ditanggapi. Tapi, mereka terus menyapa, walaupun tetap saja masih dicuekin. Mereka selalu bersikap baik walaupun tidak digubris.
Orangtua mereka selalu berkata hal itu tidak apa-apa. Ini latihan hidup bermasyarakat.
Kalau kamu tekun dalam kebaikan dan ramah, masyarakat pun akan baik. Perubahan hanya dimulai dari diri sendiri.
Beginilah kita hidup di tengah-tengah masyarakat yang pluralis.
Tidak usah si anak. Sebagai orangtua saja, mereka pun mengalami hal yang sama. Ada kebekuan relasi. Sebagai pendatang baru dan satu-satunya keluarga yang berbeda keyakinan -apalagi Katolik- mungkin saja mereka layak dicurigai.
Setahun sudah, relasi baik itu belum bisa terjalin. Untunglah, bapak ini aktif di masyarakat. Kegiatan kampung selalu dia ikuti. Di kampung pun, keluarga baru di permukiman padat penduduk ini juga dikenal satu- satunya yang Katolik.
Kesabaran dan keramahan kalahkan kebebalan
Namun, berkat ketekunan, keramahan, dan keaktifan mereka, akhirnya mereka merasa diterima. Bahkan kadang-kadang malah dimintai tolong untuk membantu.
Yang menarik, hubungan dengan tetangga yang kemarin itu “dingin-dingin” saja itu akhirnya bisa mencair. Tegur sapa terjadi dengan spontan. Menjadi tetangga yang baik dan ramah akhirnya terjadi.
Keramahan, kerendahan hati membawa sukacita dan relasi yang menyenangkan. Yang awalnya merasa asing dan diasingkan, dicurigai bahkan tidak dianggap, kini langsung cair memudar.
Kekatolikan mereka diwujudkan dengan sapaan yang ramah, ketekunan menjalin relasi dan kelemahlembutan bersikap.
Tuhan yesus mengajarkan, “Aku datang untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang.” ay 19b.
Tuhan, Engkaulah yang merancang hidup kami, semoga iman kami selalu teguh. Amin.