Nilai Lebih

0
413 views
Ilustrasi - Ibu jualan aneka bumbu dapur di pasar tradisional. (Ist)

Renungan Harian
2 September 2021
Bacaan I: Kol. 1: 9-14
Injil: Luk. 5: 1-11

AKU terlahir sebagai anak pertama dari dua bersaudara. Aku mempunyai seorang adik perempuan. Memang, kami keluarga kecil, menurut cerita orangtua, pada masa itu baru gencar-gencarnya program KB dengan slogan, keluarga kecil bahagia dan sejahtera.

Bahkan menurut cerita bapak, hampir semua warga diwajibkan untuk ikut program KB.

Bapakku seorang petani dengan tanah garapan yang tidak seberapa, sehingga untuk mencukupi kebutuhan kami sehari-hari, ibu berjualan bumbon (bumbu dapur) di pasar.

Sejak kecil, aku sadar betul bahwa kedua orang tuaku bekerja keras untuk kebahagiaan kami.

Setiap hari bapak menggarap sawah, tanpa kenal lelah dan tanpa kenal musim. Terik matahari yang membakar dan guyuran hujan seolah sudah menjadi sahabatnya.

Ibuku pagi-pagi benar sudah memasak untuk kami, dan segera pergi ke pasar, agar ketika orang mulai belanja, warung ibuku sudah siap.

Dengan kerja keras kedua orangtuaku, aku dan adik perempuanku bisa lulus sarjana.

Maka sejak kecil sudah terpatri dalam diriku bahwa aku harus sukses agar aku bisa membahagiakan dan membanggakan orang tuaku.
 
Sejak lulus kuliah, aku berjuang dan bekerja keras, tujuanku hanya satu untuk membahagiakan orangtuaku. Banyak temanku mengatakan bahwa aku terlalu berambisi menjadi sukses sehingga kerja tidak kenal waktu.

Mendengar komentar teman-temanku aku hanya tersenyum.
 
Kini aku sudah mulai mapan, aku sudah punya rumah yang layak dan cukup besar di kota tempat aku bekerja; sehingga aku berpikir mau memboyong orangtuaku untuk tinggal di kota.

Aku tidak ingin bapak ke sawah lagi, dan ibu masih berjualan di pasar. Saatnya mereka sekarang istirahat dan menikmati hidup.

Aku sudah mampu untuk mencukupi kebutuhan mereka. Maka aku memutuskan memboyong mereka ke rumahku. Bapak ibu tinggal bersama aku, dan juga dekat dengan adik perempuan yang rumahnya satu komplek denganku.

Aku bersyukur dan bangga dengan apa yang kulakukan dan aku juga bersyukur bahwa kami bisa berkumpul.
 
Namun, baru satu bulan mereka tinggal di rumahku, mereka ingin kembali ke kampung. Mereka merasa tidak kerasan dan badannya sakit semua.

Mereka mengatakan bahwa bapak ke sawah itu bukan untuk bekerja. Tetapi itu hiburan bisa bertemu dengan teman-temannya.

Demikian juga ibu, jualan di pasar adalah hiburan beliau. Satu sisi aku bisa mengerti alasan beliau. Tetapi di sisi lain aku amat terpukul.

Aku merasa seolah-olah semua kerja kerasku dan keberhasilanku sia-sia.
 
Saat aku merenung, aku menyadari bahwa aku bekerja keras luar biasa untuk membahagiakan beliau, dan ternyata kebahagiaan beliau ada di kampung.

Jadi aku dengan rela melepaskan mereka untuk kembali ke kampung, aku yang harus menata diri menyesuaikan dengan kedua orangtuaku,” seorang bapak muda mensyeringkan kegundahannya.
 
Sebagaimana sabda Tuhan hari ini sejauh diwartakan dalam Injil Lukas, para murid bekerja keras untuk mendapatkan ikan, saat bertemu dengan Yesus mereka mendapatkan ikan yang amat banyak.

Namun semua ditinggalkan karena menemukan yang lebih luhur, yaitu perjumpaan dengan Yesus. “Dan sesudah mereka menghela perahu-perahunya ke darat, mereka pun meninggalkan segala sesuatu, lalu mengikuti Yesus”.
 
Bagaimana dengan aku?

Apakah aku berani meninggalkan segala sesuatu untuk nilai yang lebih luhur?
 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here