Puncta 12.09.21
Minggu Biasa XXIV
Markus 8: 27-35
ADA reuni kecil semalam di Yogya. Sekitar sepuluh orang berkumpul secara dadakan. Saya datang terlambat karena ada misa memule.
Kesempatan kumpul yang jarang ini dimanfaatkan untuk syering iman dan kangen-kangenan.
Tentu juga ada makan-makan kecil. Saya masih kebagian sate babi yang lezat. Matur nuwun ya man teman…
Kami kumpul karena Romo Didiek datang dari Bandung. Beberapa waktu lalu, ia memberitahu di WAG bahwa permohonannya untuk memilih hidup sebagai pertapa Trappist di Belanda dikabulkan.
Dia sangat hepi karena penantian yang lama itu dikabulkan. Syering semalam dipenuhi rasa haru, sedih, bangga, gembira, penuh harapan.
Rasa haru karena melihat bagaimana perjuangan teman ini menanggapi panggilan Tuhan. Rasa sedih, karena kami pasti akan lama tidak bisa berjumpa.
Yang dimasuki bukan Trappist Rawaseneng yang bisa ditengok, tetapi di Tilburg nan jauh di sana. Bangga karena dia berani memilih kehendak Tuhan daripada suara hatinya sendiri.
Gembira karena dia telah menemukan apa yang dicita-citakan sejak di Seminari Mertoyudan dulu.
Saya masih ingat ketika di Mertoyudan sering diajak Didiek pergi ke Trappist di Rawaseneng.
Ternyata cinta pertama tak pernah hilang.
Bagi kami, teman-teman romo, apalagi teman awam, bertanya-tanya apa sebenarnya yang dicarinya?
25 tahun lebih menjadi imam dengan segala posisi-posisi penting yang diemban.
Pernah jadi vikjen, administrator keuskupan, vicaris judicialis. Saya yakin dia pasti pernah dicalonkan sebagai uskup.
Saya menilai orangnya “episkopabilis.” Apalagi yang mau dicari?
Sampai pada titik itu, saya seperti Petrus yang ditanya oleh Yesus; “Tetapi menurut kamu siapakah Aku ini?”
Petrus menjawab, “Engkau adalah Mesias.”
Kalau saya disuruh menilai dia, saya akan berkata, “Engkau pantas jadi uskup.”
Lalu dia akan menarik lenganku dan berkata, “Enyahlah Iblis. Sebab engkau bukan memikirkan apa yang dipikirkan Allah, melainkan apa yang dipikirkan manusia.”
Inilah sekarang yang terjadi.
Saya lebih memikirkan kemuliaan duniawi. Tetapi teman saya ini lebih memilih meninggalkan semua itu dan masuk ke sebuah biara kontempletif penuh doa dan keheningan.
Ia tidak lagi memikirkan kesenangan diri, tetapi terus mencari kehendak Allah yang kadang tidak mudah dijalani.
Penilaian manusia seringkali salah. Kita hanya melihat hal yang menyenangkan diri kita saja.
Untuk mengikuti Yesus, kita diingatkan agar lebih memikirkan apa yang dipikirkan Allah, bukan hanya memikirkan diri sendiri.
Kita diingatkan bahwa siapa pun yang ingin mengikuti Yesus harus berani menyangkal diri, memikul salib dan mengikuti Dia sampai di Golgota.
Kalau ingin menikmati kebangkitan, maka harus berani juga mengikuti kematian-Nya.
Yesus pernah berkata, “Barang siapa kehilangan nyawanya karena Aku dan karena Injil, ia akan menyelamatkannya.”
Beranikah kita menyangkal diri dan menjawab tantangan Yesus ini?
Ada operasi bedah usus.
Didalamnya ada jarum peniti.
Kalau mau mengikuti Yesus,
Harus berani menyangkal diri.
Cawas, menyangkal diri.