Isteri Suka Marah dan Kalap

0
359 views
Ilustrasi: Marah.

BAPERAN – BAcaan PERmenungan hariAN.

Sabtu, 24 September 2021.

Tema: Redakan Hati.

Bacaan
Za. 2: 1-5, 10-11a.
Luk. 9: 43b-45.

KEMANUSIAAN manusia memiliki satu unsur hakiki yang tak terhindar yakni penderitaan. Manusia hanya sebuah ciptaan. Kendati sebagai ciptaan yang “paling”, ia tetap punya rasa dan pengalaman derita.

Cinta, mampukah melindungi? Mengayomi? Dan jadi sumber perjalanan dan kebersamaan?

Kendati demikian, tidak semua pertanyaan mempunyai jawaban dan harus ditanggapi. Tetapi semakin disadari dalam Dia, Tuhan, yang diminta hanyalah percaya dan berserah. Dalam Dia, segalanya akan berbuah baik.

Be a witness of God

“Romo, iman saya sedang diuji,” kata seorang bapak.

“Saya sadar, saat ini cinta dan kebersamaan dalam keluarga dalam proses pemurnian.

Saya harus mengendalikan emosi dan perilaku dalam keluarga saya,” ungkapnya.

“Baiklah. Bolehkah saya mengetahuinya?”

“Itu lebih baik Romo. Sehingga kalau pasangan saya menghadap, Romo bisa lebih bijaksana menyikapinya.

Kami menikah dengan latar belakang ekonomi yang berbeda. Pasangan saya dari keluarga mampu cenderung lebih. Sementara saya sebaliknya.

Orangtuanya agak kurang setuju. Saya tahu itu hanya segi materi. Mereka tidak ingin anaknya menderita atau kekurangan. Mereka ingin anaknya dapat pasangan yang “lebih”, sehingga cucu-cucu mereka lebih terawat dan hidup enak.

Saya paham itu, maka saya bertekad dan bekerja keras. Tidak sia-sia, Mo. Tuhan memberkati.

Kami sudah menjalani hidup perkawinan sekitar 11 tahun dan dikaruniai tiga anak.

Pasangan saya ingin bekerja. Saya berkeberatan. Kadang ribut kecil.

Mungkin dia sedang jenuh, jengkel dengan dirinya sendiri; merasa tidak nyaman dan aman. Akhir-akhir ini wajahnya sering cemberut dan tingkah lakunya itu menjengkelkan. Tidak sabaran terhadap anak-anak. Cepat naik pitam, bila tidak sesuai dengan keinginannya atau apa yang diperintahkan.

Saya tahu persis wataknya. Maka pada saat-saat begitu saya cenderung diam dan anteng di rumah. Tidak banyak kata. Tidak banyak gerak. Agar emosinya tidak meletus.

Dengan anak-anak pun tidak bercanda seperti biasa. Bahkan bersama anak-anak membereskan beberapa pekerjaan rumahtangga.

Anak-anak pun mulai mengerti. Sebenarnya tidak ada masalah yang memprihatinkan. Dalam hidup berkeluarga, kadang ada suasana yang tidak menyenangkan, tidak nyaman. Tiba-tiba saja terjadi dan tidak tahu harus bagaimana.

Saat itu anak-anak di sekolah. Tidak seperti biasa, saya mendadak pulang untuk having lunch.

Ia kaget. “Dingaren pulang kenapa?” terkesan tidak suka dan emosi. Saat itu, ia sedang berbicara lewat HP.

Dengan tenang saya menanggapi, “Ini kan rumah kita. Kenapa pula harus memberitahu. Tokh tidak ada apa-apa.” Lalu saya membuat kopi sendiri dan dia melanjutkan masak di dapur.

Saya tidak punya firasat apa pun. Ketika kami makan bersama, saat itu memang saya agak kurang nafsu, tapi saya makan.

“Kenapa begitu? Nggak enak? Makan aja di warung, kalau tidak suka. Sudah capek memasak,” ungkapnya dengan nada tinggi dia berkata.

Saat itu saya diam saja. Saya mengerti, nadanya tinggi. Saya tidak akan mengatakan apa pun yang membakar emosi.

Dia menyodorkan mangkok lauk dengan agak kasar. “Makan tuh.”

Saat itu emosi saya agak terpancing. “Jangan kasar begitu. Saya lagi makan. Emang salahku apa? Kok bersikap seperti itu?”

Tiba-tiba dia emosi. “Kalau tidak mau makan tidak apa-apa. Pergi saja makan di luar sana. Mungkin lebih enak, lebih nyaman. Kan ada mbak-mbak yang melayani.”

Saya berpikir, saya menghindar dulu saja. Spontan berdiri dan beranjak ke ruang TV, bersebelahan, dengan maksud mengambil jarak, nanti dilanjutkan.

Tiba-tiba dia lebih emosi, “Udah begitu saja makannya?” Dia membanting piring makananku.

Begitu, Mo. Makanya saya mampir, berdoa,” jelasnya.

Saya ingat kata Yesus, “Anak Manusia akan diserahkan ke dalam tangan manusia.”

Tuhan, ubahlah hidupku menjadi sebuah persembahan. Amin.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here