Mengenang Seminari: Sebelum Berpredikat Pastor, Jadilah Orang Baik Dulu (2)

0
334 views
Ilustrasi: Mengajari anak berdoa sejak kecil adalah tugas mulia setiap orangtua Katolik dalam keluarga. (FX Juli Pramana)

KEMBALI ke pokok masalah, peran seminarium adalah menyediakan ruang pemekaran bakat-bakat religius, kemampuan estetis, potensi kognitif serta talenta-talenta para seminaris seluas mungkin.

Dengan model pendidikannya seperti bidang yang menyiapkan persalinan masing-masing anak yang dibuat indah pada waktunya oleh Tuhan sendiri.

Dari pengalaman peradaban, apa sesungguhnya posisi kita sebagai guru?

  • Bukankah menyiapkan krisis dan tantangan-tantangan zaman baru sebagai santapan sehari-hari untuk para telur calon-calon burung garuda, merak -bahkan gelatik yang kecil namun eksotis- memuliakan Sang Pencipta.
  • Bukankah tantangan krisis perubahan cepat dan dahsyat adalah milik generasi mereka dan bukan generasi yang sudah usur usia seperti kita?

Tantangan pendidikan seminari

Maka bila mau digumpalkan dalam bahasa tantangan-tantangan peradaban ke depan, wajah pertama tantangan itu adalah krisis acuan nilai.

  • Ketika konsumsi merajalela untuk memompa naluri purba membeli dan membeli demi status, pergaulan, gaya hidup dan pencitraan diri: “I consume, therefore I exist” di mana nilai pemilikan (having) dan menumpuk demi ego dan hedonisme lebih memicu daripada nilai menghayati kepedulian (being).
  • Bagaimana spiritualitas asketis injili yang berani beriman dalam krisis, berani tetap optimis berharap serta terus memberi dalam hasil diberi wujud bahasa kesaksian.
  • Bukan dengan paradoks kutuk dan berkat atau dosa dan benar atau surga dan neraka. Tetapi dalam salib tersimpan persemaian benih bagu tumbuhan kebangkitan; atau dalam komoditi serba ekonomis, eksotis tersimpan dan terbaca nilai yang “suci”, yang tersembunyi sama seperti dalam diri si kecil remaja Yesus Nazareth di sinagoga di antara para rabi dan bijak, tersimpan ketakjuban kata-kata bijak “shalom” yang menjanjikan kabar gembira Paskah meski harus lewat salib sengsara.

Wajah kedua tantangan bahasa pencitraan Allah:

  • yang maha seniman
  • yang merawat dengan mencipta terus yang indah
  • yang benar
  • yang baik lewat perayaan-perayaan seni, festival budaya kontekstualisasi injil di ranah sukma-sukma kebijakan lokal dan cerlang budaya

untuk mengikis gambar murah Allah penghukum dan pengadil neraka atau pun Allah sebagai Bapa keras yang ditakuti

demi penyadaran segar gambaran Allah rahim dan Allah pelahir hidup atau Allah sang Rahima ibu.

Barangkali dengan kesadaran baru penghayatan ke-seniman-an Tuhan kerahiman kasih-Nya, proses belajar hidup berbeda dan beragam watak di tanahair kembali menemukan toleransinya.

Yang begini ini sudah lama dilupakan.

Karena mengajar nilai persaingan, nilai kuasa politis maupun penilaian terus-terusan materialisasi segala-galanya; uang menjadi nilai tukar pembedaan hingga spiritualitas ditelantarkan dibiarkan kehabisan darah dalam mati lemas.

Wajah tantangan ketiga, usaha mentematisasi persoalan pokok, kehidupan seperti keadilan, kemanusiaan, seperti tahapan pertama Driyarkara untuk proses peradaban sebagai pembudayaan aktif.

Lalu universalisasi. Yaitu, mencari titik-titik temu antar nilai ragam dan kemajemukan nilai kultur dan subkultur bangsa ini dalam universe “buat proses perekatan” sebagai bangsa yang sudah dimulai oleh teks kultural pendiri bangsa di tahun 1908 dan 1928: satu bahasa, satu tanahair, satu bangsa termasuk dalam tantangan krisis monopoli kebenaran kuasa menafsir hingga menimbulkan “multi verse(s)”: dalam posmodernisme.

Ilustrasi: Sr. Alfonsa Triatmi PMY mengajari anak-anak praktik bertani ramah lingkungan kepada BIAK dan REKAT di halaman Biara PMY Wonosobo (Dok. Kongregasi Suster PMY Indonesia)

Kemudian langkah humanisasi sebagai penyejahteraan manusia orang-perorangan sebagai sesama kawan menuju Tuhan dan hidup bersama yang saling menghargai atau “homo homini socius” daripada “homo homini lupus”: saling mencakar rebutan kuasa, kapital seperti serigala yang saling mengerkah rebutan makanan.

Penyadaran edikatif

Dalam tantangan ketiga ini, penyadaran edikatif dalam paradigma korban yang satu nyawa manusia pun tak boleh dihalalkan:

  • atas nama pembangunan
  • atas nama peradaban atau
  • atas nama agama apa pun memerlukan refleksi mendalam teologi korban pemerdekaan Paskah.

Dengan kontekstualisasi simpang-simpang kuasa otoriter, militer, fasis yang butuh korban sembelihan demi piramida kemakmuran dalam tanda petik.

Apakah ilmu-ilmu empiris, ilmu-ilmu humaniora, ilmu-ilmu sosial, psikologi, ekonomi, politik bahkan ilmu-ilmu pembahas dunia virtual dalam “cultural studies” bisa membantu optik sederhananya untuk analisis problematika zaman dalam tantangan “penebusan merdeka” anak-anak Allah?

Bila jawabannya “ya”, bagaimana ilmu-ilmu ini mampu masuk sebagai sinar laser dan pijar cakrawala para calon imam?

Wajah keempat tantangan adalah tidak bisa digantinya lagi dedikasi, pengurbanan, kesaksian:

  • mengoreksi bahasa Indonesia dalam karang-mengarang;
  • latihan disiplin koor dan musik untuk persiapan proses jauh-jauh sebelum pentas; kecintaan merasakan sejarah dengan hati yang diberi kesaksian oleh guru-guru sejarah, bahasa, musik, estetika yang mengajak ke Borobudur untuk mencintainya;
  • yang menanamkan sikap kreatif lebih daripada sikap pasif serta sikap eksploratif terus-menerus lebih daripada menikmati fasilitas dan kemanjaan-kemanjaan anak asrama.

Ini semua sulit tergantikan karena dua nilai pokok yaitu materi uang dan praktik kuasa telah mereduksi nilai-nilai pokok seperti pengabdian, pengurbanan dan keteladanan menemani.

Sementaram cara berkomunikasi, berselera musik, berselera hati, cakrawala refleksi nurani dan budi kebanyakan kita sudah dibentuk oleh dunia percepatan perubahan revolusi informasi, telematik dan digitalisasi.

Apalagi transisi-transisi ke siapa tokoh acuan dan yang dicitrakan sebagai pemberi arah nilai, idola sedang transisi dahsyat dari yang tradisional ke guru-guru nilai generasi MTV dan penentu selera citra bentukan guru paling efektif buat imaji dan publik yaitu TV dan media digitalisasi info dan entertainment.

Apakah citra sang guru dari Nazareth masih mampu diresapi dengan gaya Yesus Christ Super Star tahun 1970-an, dengan The Passion of Christ-nya Mel Gibson atau Zefirelli yang tetap riang klasik menampilkan Yesus of Nazareth?

Mahasiswa Unair mengajar anak-anak. (Ist)

Orang baik dulu, barulah jadi imam baik

Persoalannya adalah terbatinkannya secara mendalam atau tidak proses keimanan dari Yesus of Nazareth menuju Christ of our faith atau “Christ of Lord”?

Dan kalau ruang pergumulan kerohanian altar yang dihayati di pasar-pasar kehidupan secara kebudayaan berubah dari tradisi hangat dongeng lisan pribadi kakek, nenek, guru-gru kharisma menuju tradisi tulisan teks yang ditafsirkan secara berbeda-beda bahkan ditulis berbeda sudut pandang lalu menuju ke tradisi lisan citraan impersonal dan tanpa hati berjarak di TV.

Namun amat eksotis meretak-retak identitas dalam “flash-flash gebyar” dan model “remote control ajaib merubah program” instantly tanpa keringat dan tanpa proses, lalu siapa guru dan siapa murid sebenarnya di abad ini?

Siapa uskup dan siapa pastor paroki pembantu atau kepala lalu awam yang berprofesi kategorial dokter, ilmuwan dalam umat Allah yang menurut Gaudium et Spes harus ikut dalam denyut nafas suka duka umat dunia?

Jelas, soal-soal telak mendasar menuntut visi pendidikan seminarium mikro maupun makro, visi ke depan. Namun menukik bersama solider dalam kepapaan sebagian besar bangsa Indonesia yang masih tidak mengenyam pendidikan, masih belum terpenuhi kebutuhan pokok makan dan minumnya.

Di sini bukan lagi banyaknya pengalaman yang penting, tetapi mengolah pengalaman dalam sinar terang nurani iman dan budi jernih menjadi penentu kesiapan sikap menghadapi tantangan dan krisis.

Atau memakai ekspresi rangkum pengalaman pergulatan seorang JB Mangunwijaya: “Pendidikan mesti menyediakan ruang pemekaran untuk menjadi orang lebih dahulu, menjadi manusia manusiawi baru kemudian imam yang baik dan tetap manusiawi.” (Berlanjut)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here