“Berikanlah kepada kami bahwa kami boleh duduk, satu di sebelah kanan-Mu, dan yang lainnya di tangan kiri-Mu, dalam kemuliaan-Mu.” (Markus 10: 37)
BERPANGKAL pada permintaan Yakobus dan Yohanes, Liem Tjay mencoba menggali makna di balik kalimat: “boleh duduk”.
Kedudukan, posisi, dan jabatan itulah yang pas mengena dalam diri Liem Tjay, seorang imam, kaum berjubah yang memiliki jabatan di dalam Gereja.
Liem Tjay terusik untuk menuangkan pengalaman pastoral dalam memangku jabatan Gereja melalui tulisan ini.
Momen pesta HUT paroki
Setelah perayaan ekaristi selesai, ada acara syukuran dan ramah tamah di pastoran.
Uskup, para pastor, para suster, bruder, frater, dewan pastoral paroki, tamu undangan, para donatur berkumpul menikmati acara makan siang bersama. “Ibu Lince Parabang, silakan masuk ke pastoran ikut acara ramah tamah!” ajak Bapak Robert Chang sebagai ketua Panitia HUT Paroki.
Apa jawaban spontan Ibu Lince? ”Maaf, saya malu dan tidak layak. Saya ini umat biasa yang mewakili stasi kampung. Yang ikut acara dan boleh masuk di pastoran itu hanyalah para pejabat Gereja. Saya hanya ibu rumahtangga, umat biasa.”
Bedanya pejabat Gereja dan umat biasa
Para ibu sibuk di dapur sepanjang malam untuk memasak sebagai persiapan konsumsi acara pesta paroki.
Keringat ibu-ibu itu merupakan persembahan “bakti umat biasa” untuk kelancaran pesta HUT Paroki dan pasti untuk menjamu tamu undangan, para pejabat Gereja (VIP).
“Enak tenan posisi seperti diriku ini, kaum tertahbis, masuk di dalam kalangan pejabat Gereja. Kaum berjubah pasti mendapat prioritas dan dilayani,” demikian pikir Liem Tjay.
Pamer diri Pastor Tuyet dan Liem Tjay
Suatu ketika, Pastor Suyatno Pr alias Tuyet (alm) berjumpa dengan Liem Tjay di rumah Koko sahabatnya di Jl. Yerusalem Sengkan.
Dengan gaya umuk (pamer), Pastor Tuyet berkata, ”Ini jip tua saya pakai buat kunjungan umat sambil jualan salak”.
Liem Tjay mulai memancing Pastor Tuyet, “Lha sejak dulu kok gayamu tetap kere (gelandangan), Yet. Aku saja sudah bolak-balik Kalimantan Jawa dengan pesawat.”
Pastor Tuyet tidak mau kalah, dia menjawab, “Biarpun Ceti naik pesawat, tapi kamu tetap bawa tentengan kardus, tetep ndeso (kampung), sejak dulu levelmu tetap kardus.”
Kere dan kardus
Kata “kere” (gelandangan) dan “kardus” memang sangat familiar dan kental dalam jiwa persahabatan Tuyet dan Liem Tjay sejak di Seminari Mertoyudan 1977. Bergulat dengan gejolak hati untuk menerima kemiskinan memang suatu perjuangan hidup tersendiri bagi Tuyet dan Liem Tjay sampai mati.
Keuletan dan ketekunan menjadi kunci bagi mereka berdua selama menjalani pendidikan di eminari sampai berkarya di tengah umat dan masyarakat yang susah.
Gembala di lereng Gunung Merapi
Mengapa? Tuyet sudah terbiasa dengan kepahitan hidup. Bagai Lahar Merapi yang sudah terbiasa melewati kehidupan masyarakat desa di lereng Merapi.
Tuyet menjadi gembala umat yang merangkul dan kerasan bersama detak jantung penduduk lereng Gunung Merapi. Kepekaan dan kepedulian kepada mereka yang sedang mengalami kepahitan hidup memang menjadi karakter yang khas bagi sosok pribadi Tuyet.
Itulah sosok Tuyet, seorang imam diosesan KAS sahabat Liem Tjay, yang memang menghayati ke-projo-an di tengah masyarakat kecil Gunung Merapi.
Suatu saat Tuyet memamerkan diri lagi, “Ceti, aku ini pernah dipanggil oleh Presiden dan Kanjeng Sultan Yogyakarta.”
Sambil mengacungkan jari Liem Tjay bertanya, “Wooowww Hebat, kok bisa mencapai puncak perjumpaan dengan orang nomor satu di Indonesia dan Keraton Yogyakarta ceritanya bagaimana?”
Pastor wong cilik
Hanya satu kalimat yang keluar dari nurani seorang Tuyet sebagai jawaban, “Semua karena wong cilik Gunung Merapi, maka aku bisa seperti ini.”
Kepedihan, perjuangan, kehidupan nyata wong cilik di lereng Merapi masuk dalam jiwa Tuyet. Spirit jiwa wong cilik Gunung Merapi inilah yang mengantarkan Tuyet bersanding duduk dengan Presiden dan Sri Sultan Hamengkubuwana X.
Inilah yang menjadi Roh Kemiskinan Yesus yang di-wujud-wantah-kan dalam kehidupan nyata
“Tuyet, wong cilik dan Gunung Merapi”.
Lalu Tuyet bertanya kembali kepada Liem Tjay, “Ceti, aku dengar kamu juga menjadi orang penting di Kalimantan Timur. Apa yang bisa kamu pamerkan (di-umuk-an alias di-viral-kan)!”
Pernyataan Tuyet menghentak hati Liem Tjay. Sebenarnya Liem Tjay tidak mau membuka diri dan terjebak dalam “kepameran” diri sebagai kaum berjubah.
Pertanyaan Tuyet ini mendorong Liem Tjay untuk melihat kembali keberadaannya sebagai misionaris di Kalimantan Timur. (Berlanjut)