Menguak “Blind Spot”

0
1,470 views

IA pernah malang-melintang di percaturan olahraga tepok-bulu-angsa. Namanya, Liem Swie King. Pria kelahiran Kudus, Jawa Tengah di tahun 1956 itu, merajai lapangan badminton di era 1980-an.

Wajahnya ganteng, badannya tegap. Gagah perkasa seperti Raden Gatutkaca. Juara All England 3 kali dan ikut menyabet Piala Thomas beberapa kali. Sampai kemudian terjadi peristiwa itu. SEA Games X di Jakarta, tahun 1979

Pada pertandingan babak perdana, King harus bertanding melawan pemain Singapura, Lee Hai Tong. Musuh yang akan mudah ditaklukkannya.

Pertandingan dijadwalkan pukul 9.30 pagi, dan King tidak muncul pada waktunya. Dia terlambat datang. King muncul 5 menit setelah wasit menyatakannya WO.

Pemain kenamaan yang dikenal dengan “King smash”, atau “jumping smash”, harus kalah WO, karena terlambat tiba di lapangan.

Alasannya sepele, terlambat bangun, kesiangan.

Belum usai. Ketika masuk kamar ganti, Tahir Djide, pelatihnya, langsung menamparnya beberapa kali.

King tertunduk diam. Ia menerima hukuman itu dengan ikhlas. Ia mengaku salah.

Jagoan bulutangkis mendapat tamparan dari seorang Tahir Djide, yang bahkan tidak pernah dikenal sebagai pemain bulutangkis kapan pun.

Djide adalah seorang pelatih, coach, guru yang sangat dibutuhkan oleh para coachee-nya. Dan sehebat apa pun King, ia sadar harus didampingi coach seperti Tahir Djide. (“Panggil Aku King”, hal 133)

“Pak Tahir Djide sudah saya anggap sebagai ayah saya. Beliau lebih mengenal saya dibandingkan papa saya. Karena selama 15 tahun saya bersama beliau”.

“Ia membentuk saya menjadi juara. Kalau saya bermain bagus, Pak Tahir akan bangga. Tanpa dia, saya tak berarti apa-apa”.

Pentingnya seorang Tahir Djide diakui oleh King. Ternyata paradigma ini bukan milik King seorang. Atlit, tokoh, atau siapa saja juga memerlukan coach.

Ini penggalan buktinya.

Atlit golf ternama yang juga salah satu orang terkaya dunia, Tiger Wood, juga mempunyai coach.

Hank Haney melatihnya sejak 1995, dan terus melatih sampai akhirnya mereka berpisah, di tahun 2010.

Beberapa swing milik Wood lahir dari polesan Hank. Sama seperti King, Wood juga mengakui peran penting Hank dalam membentuknya menjadi juara.

Rudy Hartono, sang juara All England 8 kali ternyata didampingi pelatih yang secara fisik kelihatan ringkih. Ia adalah M. Irsan.

M. Irsan dikenal sebagai pelatih bertangan dingin yang melahirkan pemain-pemain dunia lainnya.

Mohammad Ali sangat bergantung dengan Angelo Dundee ketika merebut juara dunia sejati dari tiga Asosiasi Tinju Dunia, selama beberapa perioda.

Bahkan Bunda Teresa, seorang santa, sampai akhir hidupnya selalu didampingi bapa-pengakuan yang berfungsi sebagai coach.

  • Mengapa seorang atlit membutuhkan coach?
  • Mengapa sang pelatih bisa membentuk coachee-nya menjadi juara?
  • Mengapa coach yang bahkan tidak pernah menjadi pelaku di ranahnya bisa membuat anak-latihnya berkembang dan menyandang juara?.

Pertama, tidak ada manusia yang sempurna. Nobody is perfect.

Sehebat apa pun teknik permainan King, setinggi apa pun bakat Rudy atau sesuci apa pun Bunda Teresa, mereka tetap manusia biasa yang mempunyai titik-titik kelemahan.

Kedua, karena keterbatasan manusia, ia mempunyai “titik-buta” atau blind spot.

Titik-buta adalah area yang sulit dijangkau oleh panca indera, rasa, dan karsa, karena adanya perceptual interpolation.

Blind spot mudah dijelaskan dengan “Kanizsa Triangle”. Sebuah pendekatan yang diperkenalkan oleh Tuan Kanizsa (1979), menggunakan segitiga imajiner.

Sesuatu yang seolah-olah ada dan begitu mudah ditangkap oleh mata manusia, tapi sejatinya tiada.

Setiap manusia mempunyai kelemahan dalam bentuk dan skala yang berbeda-beda. Titik buta hanya bisa benderang bila seseorang mendapat dukungan dari “orang lain”, yang berperan menguak imajinasi Segitiga-Kanizsa.

Titik buta bisa diatasi bila seseorang yang “berbeda persepsi” mampu menemukannya dan si coachee mau menerima apa yang dibuka oleh coach.

Itulah pentingnya coach.

Fenomena relasi coach-coachee ternyata tidak hanya monopoli para atlit saja. Banyak praktisi bisnis dan organisasi, tokoh masyarakat dan cerdik-cendekia mempunyai executive coach (EC).

Sama seperti fungsi coach di bidang olahraga, EC juga bertugas mengamati blind spot yang dimiliki oleh “anak-latihnya”.

Kemudian, mereka mencari jalan-keluar bagaimana titik-buta tadi menjadi terang untuk dibedah bersama.

Atlit, tokoh politik, eksekutif perusahaan, saya atau siapa saja, adalah manusia biasa yang membutuhkan coach. Dengan kompetensinya, dengan atensinya, dengan pengalamannya, coach membantu keluar dari titik-buta.

Apabila saat ini anda merasa tidak membutuhkan coach, selain dianggap sombong, juga sulit untuk menghilangkan titik-buta di alam bawah sadar anda.

Sulit pula untuk memperbaiki diri dan berjalan maju.

Persoalannya adalah, bagaimana anda bisa mendapatkan coach.

Ini ada pemikiran yang sederhana.

Orangtua adalah coach pertama dan utama. Mereka menjadi penyuluh sekaligus pelatih-hidup yang paling dekat.

Sayang, tak banyak yang menyadari fungsi itu. Mengingatkan pentingnya fungsi coach kepada mereka harus terus dilakukan.

Jalan keluar lainnya adalah mendapatkan sahabat yang memiliki panjang gelombang yang sama. Orang yang cocok mendampingi untuk menguak blind spot.

Didampingi coach, formal atau informal, tercatat atau tidak, permanen atau sementara, satu atau banyak, adalah kebutuhan yang sulit dibantah.

Coach adalah keniscayaan bagi makhluk yang lemah ini. Coach tidak hanya berfungsi melipat-gandakan prestasi, tetapi juga mampu mengubah hidup anda.

“A good coach can change a game. A great coach can change a life”. (John Woodent – pelatih basket terkenal dari Amerika)

@pmsusbandono

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here