Renungan Harian
Rabu, 1 Desember 2021
PW. Beato Dionisius dan Redemptus Martir
- Bacaan I: Yes. 25: 6-10a
- Injil: Mat. 15: 29-37
SUATU sore, koster dan ibu rumahtangga pastoran memberi tahu kalau ada dua orang anak muda peziarah minta izin boleh menginap di kompleks tempat peziarahan.
Saya minta agar mereka ditanya terlebih dahulu, dari mana dan mau kemana.
Saya meminta agar koster dan ibu itu berhati-hati karena beberapa waktu sebelumnya ada peziarah yang kehilangan alat musik dan suatu barang, karena ada yang juga mengaku peziarah tetapi memanfaatkan keadaan.
Ibu itu mengatakan bahwa kedua anak muda ini berbeda. Mereka berdua amat sopan, dan waktu berdoa kelihatan bahwa mereka sungguh-sungguh dan amat khusyuk.
Pakaian mereka kumal, dan tampaknya baru dari perjalanan jauh serta kotor belum mandi.
Namun wajah mereka kelihatan polos dan saleh.
Meskipun ibu dan koster itu meyakinkan saya bahwa kedua anak muda itu baik dan saleh, saya tetap meminta agar mereka ditanya dan kita hati-hati. Kalau sungguh-sungguh mereka mau menginap, tolong dilihat KTP mereka.
Koster dan ibu menyanggupi, dan mengatakan akan bertanya setelah kedua anak muda itu mandi, karena kedua anak muda itu minta izin mandi.
Tidak lama berselang, ibu rumahtangga itu datang lagi menemui saya dengan mata menahan airmata dan minta izin untuk mencarikan makan malam bagi kedua peziarah itu.
Ibu itu mengatakan bahwa kedua anak muda peziarah itu bicara minta makan, karena dari siang belum makan.
Kedua anak muda itu mau disuruh berbersih gua Maria atau menyapu halaman, asal bisa mendapatkan makan.
Hal itu yang membuat ibu itu terharu dan iba. Mendengar cerita ibu rumahtangga pastoran dan koster, saya curiga jangan-jangan kedua peziarah ini adalah frater novis calon Yesuit yang sedang menjalani peregrinasi (berjalan berziarah dengan meminta-minta).
Maka saya minta ibu itu untuk menyiapkan makan malam di pastoran dan makan bersama dengan saya.
Saat makan malam kedua anak muda itu nampak agak canggung dan gelisah.
Saat saya tanya tujuan mereka mau kemana, mereka menjawab asal, seperti menutupi sesuatu.
Semakin banyak saya tanya mereka semakin gelisah seolah ingin menyembunyikan identitas mereka.
“Mas, kalian dari Karangjati?” tanya saya.
Mendengar pertanyaan saya, mereka terkejut bahkan salah satu dari mereka sampai tersedak.
Melihat sikap mereka dan jawaban mereka “iya” dengan penuh keraguan malah semakin membuat saya yakin bahwa mereka adalah para frater novis Jesuit.
“Malam ini kalian mau tidur di pastoran atau mau berjaga di depan gua Maria? Anggap saja kalian di Gua Manresa,” kata saya, setelah kami selesai makan.
Mereka tampak terkejut dan memandang saya dengan curiga. “Sudah tidak apa-apa, jangan takut. Saya kenal dengan Pater Magister kalian, sampaikan salam saya untuk beliau,” kata saya.
“Bagaimana Romo tahu kalau kami frater novis calon Yesuit?” tanya salah seorang dari mereka.
“Saya tahu dari cerita ibu rumahtangga pastoran dan koster tentang kalian. Saya pernah seperti kalian, jadi saya tahu,” jawab saya.
Saya bisa mengenali mereka karena ada kekhasan dalam diri mereka.
Dari cerita yang menggambarkan siapa mereka, membuat saya menjadi yakin siapa mereka, terlebih dalam pembicaraan makan malam semakin meyakinkan saya.
Sebagaimana sabda Tuhan hari ini sejauh diwartakan dalam Injil Matius, karya Yesus sesungguhnya menunjukkan “ciri-ciri” bahwa Dia adalah Mesias.
Akan tetapi tidak dikenali oleh kebanyakan orang Yahudi, karena mereka punya gambaran berbeda.
Sering dalam hidupku aku tidak menyadari kehadiran Tuhan, justru karena aku terpukau dengan gambaranku sendiri tentang Tuhan.