BEBERAPA tahun lalu, tepatnya di Bulan September 2016 silam, saya membawa sepeda motor biru dari Denpasar sampai Bandung, terus lanjut ke Solo.
Di Solo saya mengalmi kaki keseleo, maka balik ke Denpasar naik pesawat. Baru-baru ini kebetulan ada keperluan ke Jogja, berangkat naik pesawat.
Kemudian balik ke Bali dari Solo bawa Si Biru lagi. Semula rencana berangkat hari Rabu tanggal 28 September, tapi malam sebelumnya gak bisa tidur, mungkin terlalu excited, dan hujan semalaman, maka saya batalkan rencana. Dan benarlah, hari Rabu itu saya diare.
Maka berangkatlah saya dari Solo tanggal 29 September, hari Kamis. Seperti lazimnya orang Jawa Tengah, sebelum berangkat sarapan soto.
Rute selatan
Saya ingin coba rute selatan.
Berangkat dari Solo, lewat Karanganyar, Tawangmangu, Sarangan. Saya hanya pakai jaket tipis, maka di Sarangan yang penuh kabut itu, terasa dingin menusuk tulang. Tapi pemandangan sangat indah.
Dari Sarangan turun ke Magetan.
Sejauh ini, saya bepergian ke mana-mana tanpa peta, juga tidak mengandalkan alat-alat modern seperti GPS atau Google map.
Terus bagaimana?
Tanya saja pada orang setempat. Kerap kali orang setempat lebih tahu jalan yang bagus dan cepat.
Pecel Madiun
Saya tanya kota selanjutnya yang harus saya tempuh mana? Jawabannya Madiun.
Sesampainya di Madiun, tidak saya lewatkan kesempatan menikmati pecel Madiun. Saya tanya di mana yang direkomendasikan, ternyata beberapa orang, termasuk tukang becak, menyarankan pecel Madiun yang di dekat alun-alun, di samping gereja. Di situ ada beberapa warung.
Saya tidak tahu yang mana yang enak, maka saya ke tempat yang cukup banyak orangnya. Ternyata pemiliknya justru orang keturunan Tionghoa. Enak, dan harganya cukup masuk akal, seporsi pecel dengan telur dan teh tawar seharga 12 ribu rupiah.
Sayangnya dari Madiun, bisanya lewat Nganjuk, berarti harus ikut jalur penghubung antara Jawa Tengah–Surabaya. Bersama bus-bus dan truk.
Candi Lor di Kediri
Maka begitu ada belokan ke arah Kediri segera saya ambil, jalan itu dulu sering saya lalui. Sayangnya jalan buruk sekali. Penuh lubang. Padahal banyak dilewati truk. Berarti itu jalan yang penting karena mengangkut berbagai kebutuhan.
Saya heran kenapa jalan yang begitu penting bagi ekonomi dibiarkan jelek seperti itu?
Kediri merupakan salah satu kota industri rokok terbesar di Indonesia, sehingga pasti pendapatan daerah dari rokok cukup besar.
Kenapa jalannya dibiarkan jelek?
Barangkali ada jalan lain, tapi ketika suatu jalan banyak dipakai untuk pengangkutan keperluan industri, seharusnya jalan itu dibuat bagus, supaya arus barang lancar, biaya produksi bisa lebih ekonomis, pendapatan lebih besar.
Gak tahulah.
Sebelum masuk ke Kediri, sempat melihat Candi Lor, kayaknya dulunya berbentuk stupa, yang dibuat dari batu merah. Kondisinya sudah parah.
Di Kediri sebenarnya ada juga bangunan bagus, Gereja Puhsarang, yang dibuat oleh arsitek terkenal McLaine Pont, yang juga merancang gedung utama kampus ITB Bandung. Tapi saya tidak sempat ke sana.
Kediri kotanya cukup besar dan bagus. Bersih. Tapi saya hanya lewat saja, terus lanjut ke Pare. Ini sebuah kota kecil.
Kalau tahu Clifford Geertz, yang terkenal dengan bukunya tentang kaum santri, priyayi, dan abangan itu, beliau melakukan penelitian di kota ini yang disamarkan namanya menjadi Mojokuto.
Dari Pare, perjalanan dilanjutkan lewat gunung-gunung dan lembah, lewat Pujon, menuju Malang.
Batu, Malang
Sekitar pukul 16.00 petang saya sampai di kota Batu. Saya putuskan untuk menginap di sini.
Dari aplikasi pencarian hotel, saya temukan ada yang menawarkan Rp 67 ribu per malam. Saya kunjungi saja. Ternyata itu tarif untuk backpacker.
Satu kamar berempat, dengan dua ranjang susun. Ternyata bisa juga bayar di tempat, tanpa harus lewat aplikasi, tapi harganya Rp 75 ribu.
Masih masuk akal. Tempatnya bersih. Kamar mandi luar, tapi ada air panas dan air dingin. Di kamar itu sudah ada satu pasangan cowok–cewek, dan satu lagi cowok sendirian.
Sebenarnya dulu saya pernah tinggal di asrama, sehingga dulu biasa tidur bareng-bareng banyak orang.
Namun rupanya karena sudah begitu lama biasa tidak tidur dengan orang yang tidak dikenal, semalaman saya sulit tidur juga.
Cowok yang sendirian itu ternyata keluar dan tidak balik ke kamar. Tinggal bertiga. Pasangan cowok-cewek yang mengaku kuliah di Semarang itu sedang berlibur di Malang.
Saya tidak tahu alasan kenapa memilih kamar yang berbagi seperti ini, Kalau dua orang, Rp 125 ribu, sebenarnya bisa dapat satu kamar. Mereka pergi, tengah malam baru pulang.
Saya tidak bisa tidur, tapi pura-pura tidur. Semula si cewek yang berjilbab itu tidur di atas, tidak lama kemudian bilang bahwa takut tidur di atas, akhirnya mereka berdua tidur di ranjang yang bawah.
Pagi-pagi saya bangun dan check-out, karena saya masih mau perjalanan jauh. Sekaligus memberi kesempatan kepada mereka untuk menggunakan kamar dengan tenang, untuk merayakan cinta.
Rute baru
Saya ingin mencoba rute baru.
Tidak lewat Pasuruan, karena akan berbarengan dengan jalur Surabaya–Banyuwangi bersama dengan bus dan truk. Orang-orang bilang kalau lewat jalan lain akan lebih jauh, banyak belokan dan naik turun gunung.
Bagi saya itu lebih menarik. Maka saya mau ke Banyuwangi lewat Dampit, sebuah kota kecil namun cukup ramai juga.
Perjalanan sangat menyenangkan. Nyaris hampir sekitar 100 km lewat pegunungan, naik turun, berkelok-kelok, pemandangan indah.
Apalagi yang dapat diharapkan lebih?
Enaknya naik motor
Ini surga bagi seorang pengendara motor seperti saya. Jauh lebih menyenangkan daripada lewat jalan besar, bersama bus dan truk, lewat jalan raya yang lurus, pasti akan sangat membosankan.
Pemandangan benar-benar wow.
Sebenarnya, kalau dihitung secara ekonomi, perjalanan sendirian dengan motor ini tidak jauh berbeda atau bahkan lebih mahal dibandingkan dengan naik pesawat.
Ongkos pesawat Jogja-Denpasar antara Rp 500–700 ribu. Tinggal duduk manis dan dalam waktu sekitar satu jam sudah sampai tujuan.
Dengan motor, selain capek, waktunya lama. Tapi pengalaman dalam perjalanan, ketemu dengan berbagai orang, melihat aneka pemandangan, maupun aneka peristiwa lainnya, sungguh priceless.
Saya tidak mau ngoyo.
Ada teman yang membuat target untuk menempuh Denpasar–Jogja selama 18 jam, non stop.
Tapi saya tidak mau.
Saya ingin menikmati perjalanan. Saya memilih dengan menginap. Kalau di perjalanan ada tempat bagus, saya akan berhenti sejenak. Setiap hari rata-rata saya menempuh sekitar 300 km.
Itu sekitar 10 jam perjalanan, karena jalan-jalan kita sebenarnya hanya memungkinkan kecepatan rata-rata 30 km/jam. Kadang kita bisa mencapai kecepatan sekitar 80 atau kalau berani sekitar 100, tapi kadang kala harus lambat merayap.
Desain khas Belanda
Barangkali karena alasan itulah kenapa Belanda mengatur jarak kota-kota di Jawa per setiap 30 km untuk kota ukuran sedang, 15 km untuk kota kecil, dan 60 km untuk kota besar. Barangkali pertimbangannnya adalah untuk alasan keamanan, di mana military deployment bisa dengan mudah dilakukan dengan jarak seperti itu.
Belanda membuat kota-kota dengan menempatkan stasiun-stasiun kereta api dengan jarak seperti itu.
Ambil contoh saja, jarak Jogja-Solo sekitar 60 km, jarak Jogja– Klaten atau Klaten–Solo sekitar 30 km. Dan kota-kota kecil di antaranya sekitar 15 km. Jakarta–Bogor juga sekitar 60 km, sedangkan Jakarta–Depok atau Depok–Bogor sekitar 30 km.
Alun-alun sebagai “pusat kota”
Tidak seperti di Bali, misalnya, kota-kota di Jawa praktis dibuat oleh Belanda. Susunan kota relatif mirip. Pusat kota biasanya ditandai dengan sebuah alun-alun, gedung pemerintahan (misalnya residen, bupati, dst), dan gereja Kristen khususnya GPIB, sedangkan Gereja Katolik biasanya agak jauh dari titik pusat kota, sedangkan di struktur kota lama, masjid tidak ada.
Kalau di pusat kota ada masjid, berarti itu unsur baru yang dimasukkan di situ.
Maka dari itu, saya biasanya memotret gereja Kristen sebagai landmark pusat suatu kota. Beberapa kota, seperti Kediri dan Malang sempat saya potret pusat kotanya.
Saya tidak berlama-lama karena memang hanya ingin sekedar melewatinya saja.
Dengan berangkat sekitar pukul 06.00 pagi dari Batu, lewat Dampit, kemudian Yosowilangun, Rogojampi, Jember, Gumitir, Genteng, akhirnya saya tiba menjelang senja di Banyuwangi dengan disambut hujan, meskipun matahari bersinar, dan pelangi yang sangat indah dan utuh setengah lingkaran yang sangat besar.
Sayang tidak sempat memotret, karena toh mungkin tidak bisa dipotret dengan kamera saya yang sederhana, di samping hujan cukup mengganggu pemotretan.
Seseorang yang kebetulan ketemu ketika beristirahat di sebuah minimarket menyarankan saya untuk menginap di dekat pelabuhan saja.
Masuk akal juga.
Saya lihat sana sini di aplikasi pencarian penginapan, tapi akhirnya jalan saja dan menemukan sebuah homestay, pemiliknya orang Bali. Kamar cukup sederhana tapi cukup bersih juga, seharga 125 ribu. Tanpa AC.
Di luar dugaan ternyata ada air panas, sehingga kepenatan cukup berkurang, dan bisa tidur nyenyak, barangkali karena cukup capek juga.
Tapi sebelum tidur, saya sempat kembali lagi ke kota Banyuwangi untuk makan malam di sebuah kafe yang pernah saya kunjungi bersama teman, sekedar untuk melepaskan lelah.
Alas Purwo
Esok paginya saya sudah terbangun cukup awal. Tiba-tiba saja iseng bertanya apakah Alas Purwo jauh dari situ.
Saya pernah mendengar cerita bahwa memang ada sebuah hutan yang disebut Alas Purwo, di tengah hutan ada sebuah pura.
Sejauh ini sering mendengar bahwa alas ini cukup angker. Sering dapat cerita dengan bumbu-bumbu menyeramkan, misalnya tidak bisa menemukan jalan pulang. Kerap kali ketika mau melakukan perjalanan jauh, memang akan mendapatkan cerita-cerita yang menakutkan tentang berbagai hal.
Misalnya di daerah tertentu ada banyak begal. Ada daerah yang angker. Juga ketakutan terhadap diri sendiri apakah saya secara fisik kuat. Juga hambatan di jalan.
Berbagai macam ketakutan.
Biasanya saya dengarkan berbagai cerita itu. Ini berguna untuk membuat tetap waspada. Tapi sekaligus pula salah satu manfaat penting dari melakukan perjalanan sendirian seperti ini adalah untuk menghadapi berbagai ketakutan dan kekhawatiran itu.
Memang intinya sebenarnya adalah mencoba membuktikan apakah berbagai ketakutan itu nyata atau memang sekedar permainan pikiran.
Di sinilah saya rasa benar apa yang dikatakan oleh Will Smith dalam sebuah film, “Danger is real, but fear is a choice”.
Olah spiritual
Memang benar ada begitu banyak bahaya di perjalanan, mulai dari bahaya alam, bahaya lalu-lintas, bahaya keamanan, bahaya fisik, bahaya kondisi kendaraan, dan sebagainya.
Itu semua memang nyata, dan kita perlu waspada. Tapi membiarkan dikalahkan oleh ketakutan itu soal lain.
Maka, selain kesempatan menyaksikan berbagai pemandangan indah, maupun aneka pengalaman, perjalanan sendirian seperti ini secara tertentu seperti olah spiritual.
Sepanjang perjalanan selalu saja kita berkesemapatan ketemu dengan aneka orang, dan kerap kali di luar dugaan kita yang penuh kecurigaan, kita akan kerap juga akan bertemu dengan orang-orang yang baik, yang mau memberi petunjuk dengan tulus, bahkan kalau kita sedang mengalami kesulitan, misalnya dengan kendaraan, ada yang membantu.
Meskipun sempat maju mundur, mengingat jalan ke Alas Purwo cukup sulit karena kondisi jalan yang sangat buruk, akhirnya sampai juga saya di Pura Giri Salaka.
Kebetulan saya bawa kain, sehingga bisa masuk ke bagian situs kawitan, sebuah pura kecil di bagian belakang. Sebentar masuk, duduk meditasi beberapa menit, dan segera kembali, mengingat ternyata perjalanan cukup jauh.
Semula, kalau seandainya benar cuma sejauh 35 km, saya ingin makan siang di Gilimanuk yang terkenal dengan ayam betutunya.
Tapi ternyata sudah sampai jam satu saya masih berada di daerah Muncar yang terkenal sebagai pusat ikan.
Saya makan siang di sebuah warung. Ikannya cukup segar, namun harganya relatif cukup mahal. Begitu selesai makan, langsung jalan lagi.
Menyeberang di Pelabuhan Gilimanuk
Menjelang masuk Banyuwangi, sekali lagi disambut hujan yang sangat deras. Begitu sampai Ketapang segera ke pelabuhan untuk menyeberang.
Jarang saya naik kapal dalam keadaan hujan. Sampai di Gilimanuk sudah sekitar pukul setengah empat sore.
Saya perkirakan akan sampai di Ubud sekitar pukul 20.00 malam.
Perjalanan cukup lancar. Sebelum sampai pondokan, mampir makan dulu dan cukur rambut di tukang cukur langganan saya.
Begitu sampai rumah pondokan, segera bersih-bersih rumah, karena begitu kotornya setelah hampir sebulan ditinggal, baru sesudahnya bisa mandi dan langsung tidur.
Pagi bangun, sarapan buah jeruk. Tidur lagi sampai siang. Dan siang hari ada teman datang untuk mengantar saya ke bandara untuk mengambil motor saya yang merah.
Teman meminta mau mencoba motor biru saya. Terbersit perasaan tidak enak bahwa akan terjadi apa-apa. Ah, biarin.
Sesampainya bandara, motor merah ternyata mogok setelah sebulan ditinggal. Dibawa ke bengkel. Dibenerin. Begitu mau jalan, motor biru yang selama ini tidak pernah rewel sama sekali, tiba-tiba mati total.
Tidak mau kontak sama sekali.
Coba cari tukang kunci, eh tukang kuncinya sedang pulang kampung. Cari tukang kunci lain, ternyata baru makan.
Terpaksa tunggu lebih dari satu jam. Setelah datang, dia bilang gak bisa perbaiki. Dipanggilkan montir lainnya.
Bongkar sana bongkar sini. Gak beres juga. Motor merah juga susah dihidupkan.
Dicoba digenjot, bisa hidup, dan berboncengan kembali ke Ubud dengan ekstra hati-hati agar tidak perlu berhenti supaya motor tidak mati.
Pukul dua belas malam baru sampai rumah lagi. Terus mandi sedangkan teman segera balik ke rumahnya. Pagi-pagi motor merah mogok lagi karena memang belum pulih sempurna.
Hari ini saya telepon montir menanyakan motor biru, katanya belum beres. Mungkin besok baru beres. Kerewelan baru terjadi saat ini.
Bisa jengkel, tapi bisa dilihat dari sisi positifnya saja. Masih untung bahwa rewelnya di sini, bukan di tengah hutan yang sepi, jauh dari siapa-siapa sendirian.
Membatasi diri tidak lebih 300 km
Kalau dihitung-hitung secara ekonomi, perjalanan sendirian begini lebih besar biayanya daripada kalau naik pesawat.
Setiap hari rata-rata untuk biaya bahan bakar saya menghabiskan sekitar Rp 75 ribu, itu kurang lebih untuk tiga ratus kilometer.
Memang saya membatasi perjalanan hanya sekitar 300 km per hari. Itu sejarak sekitar sepuluh kota. Dan waktu tempuhnya sekitar 10 jam, karena memang jalan-jalan kita secara praktis hanya memungkinkan kecepatan rata-rata 30 km/jam.
Untuk makan per hari sekitar Rp 50-75 ribu. Dalam perjalanan kerap kali kita perlu makan yang relatif aman. Kita tidak mau direpotkan dengan sakit perut.
Biasanya cari rumah makan yang cukup bersih. Risikonya harganya sering lebih mahal. Maka dari itu, kalau seandainya tidak ada rumah makan yang kita cukup yakin, paling baik beli saja kelapa muda utuh.
Bersih dan murah. Berarti selama tiga hari saya membutuhkan sekitar 450 ribu untuk makan dan bahan bakar.
Menginap dua malam, kebetulan bisa dapat total 200 ribu. Total sudah 650 ribu.
Kalau seandainya ongkos perbaikan motor saya masukkan, saya perkirakan total habis sekitar satu juta. Lebih mahal kan?
Tapi pengalaman juga berbeda. Semua teserah anda.
Marcx 2016