BAPERAN-BAcaan PERmenungan hariAN.
Jumat, 10 Desember 2021.
Tema: Penyertaan-Nya abadi.
Bacaan.
- Yes. 48: 17-19.
- Mat. 11: 16-19.
BEBAL. Untuk tidak mengatakan “dungu”. Untuk mengatakan seseorang yang terbeban. Tak berpengharapan.
Tidak bergairah. Tetapi tidak juga mau mati. Parasit kehidupan.
Belum tentu orang itu yang bersalah. Atau diri sendiri yang membuatnya demikian. Keadaan dan realitas juga bisa mempengaruhi.
Namun bila ada kesadaran, kemauan dan niat dapat menjadi pengalaman positif dan proses pembelajaran.
Manusia diberi kehendak. Juga keinginan kuat untuk mengatasi sesulit apa pun perkara hidupnya.
Itulah martabat manusia. Ia dianugerahi kehendak yang kuat.
Di dalam diri manusia ditanamkan kehendak kuat untuk bertumbuh dan berkembang dengan kesadaran utuh.
Sadarilah.
“Romo akhirnya cinta itu menjadi beban. Kasih sayang menghilang. Tenggang rasa menipis,” kata seorang ibu menyakinkan.
“La, kenapa kok bisa begitu?”
“Saya sudah bersabar. Bahkan menekan perasaan. Hanya karena masih memikirkan masa depan anak-anak, saya belum mengambil keputusan.”
“Masalahnya apa?”
“Relasi saya Mo dengan pasangan. Saya sudah menetapkan, tidak bisa dilanjutkan. Bukan hanya tidak bisa. Tidak mau.”
“Bisa dipertimbangkan lagi?”
“Capek Romo. Dipertahankan pun tidak ada guna. Saya lagi nunggu saat yang tepat. Energi marah sudah habis. Lelah dan dongkol. Memandang pun saya sudah muak. Saya tidak peduli. Tidak menganggap dia ada.”
“Wah kok emosian tenan. Apa ta masalahe?”
“Romo pasti tidak akan mengerti. Romo hidup di dunia lain. Dunia kami nyata. Kalau tidak berani fighting hancur sendiri. Walau perjumpaan awal adalah cinta.
Terus terang saya terjebak pada penampilannya. Awalnya, kasihan. Sekarang saya sadar akan keputusan salah. Saya harus tegas memutuskan.”
“Kok bisa? Itukan pilihanmu. Papa mamamu pernah sounding. Tapi mereka tidak mau mencampuri.”
“Saya sedang memantapkan anak-anak agar keputusan saya sebagai ibunya tidak mengguncangkan jiwa mereka. Sangat kebetulan anak-anak tidak dekat dengan dia.”
“Berapa anakmu? Bagaimana keadaannya?”
“Anak saya tiga. Usia perkawinan sudah 10 tahun.”
“Pernah merasa bahagia?”
“Satu setengah tahun pertama awal perkawinan. Itu saja.”
“Setelah punya anak satu, dia berubah. Anak kedua, kami penuh pertengkaran. Yang ketiga, sebuah kecelakaan.
Saya menyesal. Tapi saya tetap mencintai mereka, karena mereka tidak bersalah.
“Apakah orangtua dan mertuamu tahu?”
“Sudah diberitahu dua tahun yang lalu. Saya sudah wanti-wanti, tidak ada perubahan. Kami selesai.”
“Bagaimana reaksi mereka?”
“Orangtua saya menyarankan segera diselesaikan. Biar masih ada tali persaudaraan dan tidak saling menyakiti.
Mertua saya diam. Janji akan menasihati. Mereka suruh saya sabar dan tetap melayani.”
“Lalu?”
“Ya saya tidak mau. Tidak akan pernah. Menafkahi saja tidak.”
“Apa sebenarnya yang terjadi?”
“Awal berkeluarga dengan saya, dia sudah ambil uang perusahaan. Dihukum nyicil, karena perusahaan milik saudaranya sendiri.
Setelah punya anak ke-2, dia melakukan lagi dalam jumlah yang besar. Tidak tahu untuk apa uangnya. Ia tidak mengaku. Kalau ditanya, marah, pergi beberapa hari.”
“Kemana?”
“Tidur di rumah orangtuanya. Ibunya menebus. Dan ketika hamil anak yang ketiga ia dipecat. Ia menjadi parasit. Tidak mau diberi masukan. Kasar omongannya.
Kerjanya hanya nongkrong di warung temannya, begadang. Tidak tergerak untuk membantu urusan rumahtangga. Kadang mabuk. Malas beribadah.”
“Saya tidak minta Romo menyuruh saya berdoa dan bersabar. Saya minta Romo mendengar dan meneguhkan.”
“Bisakah saya ajak bicara pasanganmu.”
“Saya yakin. Ia tidak akan datang. Saya sudah menetapkan, selesai. Mertua sudah angkat tangan.”
Aku pun terdiam.
Yesaya berkata:
“Sekiranya engkau mendengarkan perintah-perintah-Ku, maka damai sejahteramu akan seperti sungai yang tidak pernah kering, dan kebahagiaanmu akan terus berlimpah seperti gelombang-gelombang laut yang tidak pernah berhenti.” ay 18
Tuhan, jauhkanlah kedunguan itu dari keluarga kami. Amin.