Sekali lagi, Mendoakan Arwah

0
1,161 views
Para imam diosesan anggota UNIO Keuskupan Purwokerto di depan kompleks makam Katolik, Kaliori. (Dok. Andri)

UMAT begitu antusias berdevosi untuk arwah. Liem Tjay sebagai pastor pun ikut mengalami peziarahan iman umat bagi orang yang meninggal.

Di dinding Gereja Imakulata Banyumas, terpajang foto-foto sanak keluarga yang sudah dipanggil Tuhan. Setiap pagi setelah misa, keluarga yang hadir mendoakan para arwah yang diakhiri dengan 3x Salam Maria.

Lalu mereka menyalakan lilin. Ada yang minta imam memberkati air dan bunga yang akan dibawa nyekar ke makam.

Nyekar adalah kunjungan ke makam, berdoa, menaburkan bunga, dan menyiram  pusara dengan air berkat.

Umat mendoakan arwah anggota keluarga mereka di Gereja Imakulata Banyumas. (Dok Liem Tjay)

Tradisi “nyekar”

Tradisi ini muncul berkat akulturasi budaya Islam-Jawa-Hindu.

Dalam kepercayaan Jawa, roh adalah abadi dan selalu “pulang” menemui keluarga pada setiap Bulan Ruwah (dalam kalender Islam disebut Sya’ban).

Ruwah berasal dari kata “arwah” bentuk plural dari “ruh” yang berarti roh.

Sehingga, menurut kepercayaan ini, Bulan Ruwah merupakan momentum untuk saling bertegur-sapa antara mereka yang sudah meninggal dengan mereka yang masih hidup.

Hindu juga memiliki sapaan khas dengan roh nenek moyang dengan beragam sesaji, salah satunya adalah bunga (Jawa: sekar). 

Kemudian dalam Islam, ziarah kubur merupakan hal yang sangat positif dilakukan sebagai wahana mengingat akan kematian.

Sehingga, dari sisi ritual, tradisi “nyekar” ini merupakan hal yang sangat positif, di samping sebagai wahana memperkuat tali salaturrahmi “lintas-alam” juga menjadi sarana mempertebal keimanan akan kehidupan setelah dunia. (Koran Muria edisi 3 Juli 2014).

Misa Requiem di Musoleum Kaliori, Banyumas. (Andri)

Tradisi “mendoakan arwah” bagi umat Katolik

Di depan foto mereka yang meninggal. Di depan foto-foto, Liem Tjay memandang satu persatu wajah umat yang didoakan.

Ada wajah foto yang tidak dikenal. Ada wajah yang masih hangat di ingatan Liem Tjay, karena mereka baru saja meninggal.

Perasaan apa yang muncul dalam diri Liem Tjay?

Liem Tjay mengalami gerakan kekuatan rohani ketika mendoakan para arwah.

Relasi rohani dengan mereka yang sudah meninggal mengantar Liem Tjay pada kesadaran bahwa suatu saat dalam situasi dan tempat yang lain, Liem Tjay dan semua orang yang masih akan bertemu dengan mereka.

“Nyekar” di Musoleum Kaliori

Di depan pusara Uskup Mgr. PS Hardjo Sumarto MSC dan rekan imam di Moseleum Kaliori, Liem Tjay membaca satu demi satu nama yang tergores di batu nisan.

Setiap kali menyebutkan satu nama, Liem Tjay mengingat kembali potret perjalanan kehidupan sebagai seorang gembala umat, religius, kaum berjubah.  

  • Ada seorang Pastor yang semasa hidupnya sangat aktif dan dinamis dalam menggerakkan umat di parokinya. Pastor itu sangat dicintai oleh umat.

“Begitulah seorang gembala menyatu dengan domba-domba di daerah yang dilayani,” kenang Liem Tjay sambil menyentuh pusara pastor itu.

  • Ada seorang pastor setia dalam imamatnya lewat sakit yang diderita. Berjuang menerima kenyataan “sakit” itu menjadi bagian penghayatan imamatnya sampai akhir dan tuntas.

“Begitulah perjalanan imamatnya diwarnai dengan sakit, tapi sabar dan setia, berjuang sendiri sampai meninggal,” kenang Liem Tjay sambil mendoakan Salam Maria 1x.

  • Ada seorang pastor yang menikmati imamatnya dalam waktu relatif pendek dan singkat. Dia sangat bahagia dan penuh semangat di kalangan kaum muda Katolik, walaupun hanya dua tahun dia menjalani imamat.

“Waktu yang begitu singkat atau panjang, imamat tetap dibawa sampai liang kubur,” kenang Liem Tjay sambil memberi hormat.

Kompleks makam Katolik di mana Uskup Mgr. PS Hardjasoemarta MSC dan sejumlah imam dimakamkan di Musoleum Kaliori, Banyumas. (Romo Nico Setiawan OMI)

Liem Tjay berhenti sejenak. Sambil bertanya, “Setelah ini, hidupku mau ke mana?”

Liem Tjay disadarkan dan menemukan jawaban.

Setiap manusia entah tua-muda, kaya-miskin, bergelar akademis –orang biasa, religius-awam, pejabat-rakyat biasa, orang kota-desa, uskup-pastor rekan, mata biru-mata sipit- pasti akhirnya berhenti pada sebuah pusara.

Tinggallah batu nisan, makam, monumen abadi sebagai kenangan.

Hanya nama terukir di batu nisan sebagai peringatan atau monumen bahwa pernah ada yang hidup di dunia ini.

Kematian bagaikan jam berdentang

Keheningan doa di depan pusara para pastor dipecahkan oleh bunyi detak jarum jam yang menunjuk ke angka “12” siang tanda Doa Angelus didaraskan.

Benar bahwa hidup manusia itu bagaikan jam berdentang. Sekali jarumnya diputar, suatu saat akan berhenti berdetak.

Mungkin tengah malam, pagi hari, siang, sore, atau bahkan petang.

Makam Uskup Mgr. PS Hardjasoemarta MSC dan para imam di Musoleum Kaliori. (Andri)

Lihat telapak tangan

Di hadapan makam para religius, Liem Tjay duduk termenung dengan posisi doa bersila, dua telapak tangan terbuka.

Tiba tiba Liem Tjay tertarik memandang dan merenungkan guritan huruf “M” di telapak tangan.

Liem Tjay melihat telapak tangannya sendiri ada garis yang membentuk huruf M, diingatkan bahwa: ”Manusia mesti mati”, “Manungsa mangsane mandheg” (Manusia saatnya berhenti).

Rekan sepanggilan, beberapa pastor sudah mendahului dalam peristiwa kematian. Berhenti. Stop total.

Kini hanyalah sebuah nama yang terukir indah di pusara sebagai bukti fakta dan kenangan.

Liem Tjay berpikir suatu saat Liem Tjay pun akan mengalami kematian dan menjadi penghuni moseleum ini.

Itulah keyakinan Liem Tjay.

Setiap kali berziarah ke makam

Begitu juga ketika berziarah ke pekuburan, di sana ada tulisan Homo, memento vivere, memento mori (Hai manusia, ingatlah akan hidupmu dan ingatlah akan kematianmu), remember you will die.

Hal yang sama dikatakan oleh Horatius (65-8 SM):

Pallida mors aequopulsat pede pauperum tabernas/requmque turres”- dengan langkah yang sama, kematian yang tanpa warna mengetuk gubuk si miskin maupun benteng sang raja (Romo Markus Marlon dalam “Makna Kematian”).

Iman akan kematian

  • “Sebab andaikata benar orang mati tidak dibangkitkan maka Kristus pun tidak dibangkitkan. Dan kalau Kristus tidak dibangkitkan maka sia-sialah kepercayaanmu.” (1Kor 15: 13-14). Iman kita dikuatkan bahwa ada kebangkitan. Dan sejak awal mula, Gereja menyakini bahwa hidup kita tidak dilenyapkan oleh kematian, melainkan diubah (bdk. Doa Syukur Agung 1)
  • Ada kehidupan sesudah kematian” itulah ungkapan yang sering kita dengar atau bahkan sering kita ucapkan sendiri. Memang pada saat kematian, tubuh kita lebur bersama Ibu Pertiwi, tetapi jiwa kita bersatu bersama para kudus di surga.
  • Yang meninggal dengan Kristus tidak akan binasa melainkan akan mengalami kehidupan baru, “jika kita mati dengan Dia kita pun akan hidup dengan Dia.” (2Tim 2: 11). Paham itulah yang membuat kita menyakini ada persekutuan umat beriman. Semua anggota Gereja saling mendoakan dan bersatu dalam doa.

Doa adalah kekuatan

Liem Tjay memang mengakui dan menyadari bahwa “doa adalah kekuatan”.

Doa adalah sumber kekuatan dalam hidup manusia. “Dan apa saja yang kamu minta dalam doa dengan penuh kepercayaan kamu akan menerimanya.” (Matius 21: 22).

  • Elia adalah manusia biasa sama seperti diri Liem Tjay dan kita semua. Ia sudah bersungguh-sungguh di dalam doa supaya hujan tidak turun, dan hujan pun tidak turun di bumi selama tiga tahun lamanya, dan ia pun berdoa supaya langit mengeluarkan hujan dan bumi pun mengeluarkan buahnya (Yakobus 5: 17-18).

Bagaimana kekuatan doa dari Elia yang dikatakan sebagai manusia biasa seperti diriku dan kita semua dapat menjadikan doa sebagai kekuatan di dalam hidupnya.

Tidak ada yang mustahil bagi Tuhan, ketika kita percaya dan bersungguh-sungguh dalam doa. 

  • Nabi Musa mendoakan bangsa Isreal, sehingga mereka menang perang.
  • Nabi Elia mendokan anak si janda dari Sarfat sehingga bisa hidup kembali.
  • St. Monica mendoakan anaknya St. Augustinus sehingga bertobat serta menjadi guru gereja.

Demikian pula doa untuk arwah

Arwah yang meninggal dunia kebanyakan masih dalam keadaan dosa.

Seperti dalam ajaran Gereja dikatakan bahwa arwah semua orang beriman belum disucikan sepenuhnya dan masih harus menjalankan penyucian agar dapat masuk ke dalam kegembiraan surga (KGK 1030).

Proses penyucian ini disebut Gereja sebagai purgatorium atau api penyucian (KGK 1031).

Liem Tjay, sebagai imam merayakan Misa Requiem dan membawa intensi arwah dari keluarga umat dalam misa, khususnya selama bulan November lalu.

Gereja secara istimewa mengadakan Misa Requiem – misa arwah bagi umat yang telah meninggal.

Liem Tjay bersyukur karena Gereja menyediakan waktu istmewa untuk orang beriman yang sudah meninggal, khususnya pada tanggal 2 November.

Dalam diri kaum beriman ada keyakinan bahwa dalam kematian ada ketenangan, lewat doa doa yang dilambungkan.

Mendoakan arwah, indulgensi

Dalam rangka Hari Raya Memperingati Arwah semua orang beriman awal November lalu, setiap orang Katolik memperoleh indulgensi yang penuh bagi orang yang sudah meninggal.

Caranya: mengunjungi makam atau mendoakan arwah dari tanggal 1-8 November.

Bukan hanya tanggal 1-8 November, tetapi banyak umat mempraktikkan doa untuk arwah setiap hari  selama bulan Nopvember.

Bulan November menjadi tradisi bulan arwah.

Maka, foto foto sanak keluarga yang meninggal di pasang di dinding Gereja Maria Imakulata Banyumas.

Foto-foto anggota keluarga yang telah meninggal di dinding Gereja Maria Imakulata Banyumas. (Liem Tjay)

Indulgensi artinya kelunakan hati, kelembutan hati, kemurahan hati, pengampunan, dan pembebasan.

Indulgensi itu akan dikaruniakan Tuhan kepada saudara saudara kita yang didoakan.

Gereja juga menganjurkan amal, indulgensi, dan karya penitensi demi orang-orang mati (KGK 1032).

Namun, jika ternyata mereka yang kita doakan sudah naik surga, maka rahmat tersebut akan dilimpahkan kepada kita.

Mendokan arwah yang sudah meninggal tidaklah sia-sia.

Tradisi mendoakan arwah

  • Praktik mendoakan arwah telah dilakukan sejak Perjanjian Lama, tepatnya ketika Yudas Makabe mendoakan arwah orang-orang yang gugur dalam pertempuran melawan Gorgias (2Mak 12: 38-45).
  • St. Paulus pun berdoa bagi Onesiforus, kawan yang mengunjunginya di Roma (2Tim 1: 18).
  • Pada abad ke-4, St. Yohanes Krisostomus, Uskup Agung Konstantinopel, berpesan dalam homilinya.

“Baiklah kita membantu dan mengenangkan mereka [yang telah meninggal]. Kalau anak-anak Ayub saja telah disucikan oleh kurban yang dibawakan oleh bapanya (Ayb 1: 5).

Bagaimana kita dapat meragukan bahwa persembahan kita membawa hiburan untuk orang-orang mati? Jangan kita bimbang untuk membantu orang-orang mati dan mempersembahkan doa untuk mereka.”

Diptych (baca: diptik) berasal dari bahasa Yunani, yang berarti dua sisi. (Ist)
  • Pada abad-abad awal Kristianitas, nama-nama umat beriman yang telah meninggal dicatat pada plakat yang disebut diptych.

Diptych (baca: diptik) berasal dari bahasa Yunani, yang berarti dua sisi. Biasanya objek yang memiliki dua sisi/bagian yang terhubung dengan engsel.

Diptych sering kita jumpai pada objek atau prasasti kuno, termasuk pada bagian candi dan situs-situs kuno di Indonesia)

  • Praktik mendoakan orang-orang mati menjadi tradisi Biara Benediktin sejak abad ke-6 dan dirayakan pada hari Sabtu sebelum Pentakosta.
  • Pada tahun 1030, St. Odilo, Abbas Biara Benediktin di Cluny, menetapkan agar diadakan peringatan arwah setiap tahunnya di biara-biara ordonya.
  • Tradisi inilah yang di kemudian hari diikuti oleh keuskupan-keuskupan di Eropa sampai menjadi peringatan universal Gereja.

“Janganlah kita enggan untuk membantu mereka yang telah mati dan memberikan doa-doa untuk mereka.” (St. Yohanes Krisostomus)

Tepian Serayu Banyumas, 30 Nopember 2021

Pesta St. Andreas

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here