In Memoriam Pipit Prahoro: Berkat Romo Soetanto SJ Bisa Sekolah di Kolese Gonzaga Jakarta (1)

0
615 views
Almarhum Pipit Prahoro di Paroki Air Upas, Kabupaten Ketapang (Mathias Hariyadi)

KISAH relasi pribadi saya dan kenangan masa silam dengan almarhum Pipit Prahoro terlukis sejak tahun 1990 di Kolese “SMA Gonzaga”.

Inilah satu kompleks sekolahan dan Seminari Menengah Keuskupan Agung Jakarta “Wacana Bhakti” yang berlokasi di Jl. Pejaten Barat 10, Pasar Minggu, Jakarta Selatan.

Penulis dan almarhum Pipit ada di dalam konteks hubungan guru dan murid.

Langsung masuk kelas 2

Saat itu, Pipit baru saja masuk SMA Gonzaga dan langsung duduk di kelas 2. Sebelumnya, sebagai seminaris calon imam, ia bersekolah di Seminari Menengah Stella Maris Bogor.

Jadi mahfumlah saya sebagai Wakil Moderator Kolese Gonzaga waktu itu, melihat almarhum Pipit sungguh tidak ada bedanya dengan para seminaris Seminari Menengah KAJ “Wacana Bakti” yang juga menjadi tanggungjawab kami sebagai formator.

Namun sangat berbeda dibanding para seminaris dan murid SMA Gonzaga waktu itu, sosok Pipit di mata kami -para guru dan moderator kolese- almarhum agak suka “menyendiri”.

Cenderung selalu “menghindar” dari kami sebagai guru dan formator di seminari.

Buka rahasia setelah 18 tahun

Barulah di bulan Juli 2018 lalu, alasan suka “menghindar” itu baru saya ketahui, setelah Pipit Prahoro berkisah tentang dirinya saat di Seminari Stella Maris Bogor.

Ada rentang waktu 18 tahun bagi almarhum mau bercerita kepada mantan gurunya di Rumah Retret Pondok Damai di Sanggau, Kalbar.

Lantaran malam itu, kami tidak ada kegiatan apa-apa selain hanya bisa duduk-duduk tercenung di kamar inap Rumah Retret Pondok Damai Sanggau.

Di situ ada Dimas dari Pontianak, saya dan Pipit. Tentu saja, kisah ini lebih pas kalau diomongkan dengan saya sebagai mantan gurunya.

Maka, barulah saya menjadi paham mengapa di SMA Gonzaga dulu, almarhum Pipit Prahoro cenderung selalu mau “menghindar” dari upaya kami untuk ingin mengenal dia lebih jauh.

Berkat Romo Soetanto SJ dari Paroki Tanjung Priok

Kisah “terdamparnya” Pipit dari Tanjung Priok hingga sampai sekolah di SMA Gonzaga di kawasan Pasar Minggu –sangat jauh lokasinya- rupanya amat bersinggungan dengan bantuan upaya Romo Soetanto SJ.

Karena telah mundur dari Seminari Stella Maris Bogor, maka upaya mencari sekolah yang mau menerima pindahan murid bisa masuk kelas dua harus mengalami benturan di sana-sini.

Untunglah waktu itu di Gereja Santo Fransiskus Xaverius Paroki Tanjung Priok di Jakarta Utara ada Romo Soetanto SJ.

Berkat pastor Jesuit ahli musi yang selalu punya hati dan semangat belarasa sama “orang tersisihkan” ini, Pipit akhirnya bisa “dititipkan” boleh masuk Kolese Gonzaga.

“Hanya karena jasa Romo Soetanto SJ yang menghubungi Rektor Kolese Gonzaga Romo Jost Drost SJ itulah, saya boleh bersekolah di SMA Gonzaga dan langsung masuk kelas 2,” tutur almarhum Pipit Prahoro di Sanggau, Kalbar, bulan Juli 2018 silam.

Jadi kami pun mahfum.

Lantaran rumahnya di Tanjung Priok dan sekolahnya di Pejaten, maka tidak jarang pula Pipit sering “berhadapan” dengan moderator.

Kena setrap. Karena sering telat masuk sekolah. Dengan alasan transportasi sulit.

Bahkan dengan kondisi sekarang pun -kini sudah ada rute mudah yang dilayani Trans Jakarta- tetap saja jarak tempuh perjalanan dari Tanjung Priok ke Pejaten akan lama. Sudah pasti bisa makan waktu lebih dari 1,5 jam.

Di tahun 1990-an itu, entah sudah bangun jam berapa, pagi-pagi buta Pipit mesti sudah harus meninggalkan rumahnya di kawasan Plumpang di Jakarta Utara untuk bisa sampai ke Pejaten.

Pengurbanan sangat besar. Hanya untuk meraih ijazah SMA. Karenanya, wajahnya tampal selalu kusut dan penampilannya juga kurang rapi.

Namun yang pasti, jalan hidupnya saat itu bisa menjadi lancar karena jasa seorang pastor Jesuit bernama Romo Soetanto SJ.

Cinta Jesuit betulan

Romo Soetanto SJ berkarya bertahun-tahun lamanya mengampu karya pastoral parokial di Paroki Tanjung Priok. Sempat sekolah musik di Konservatorium Belanda, Romo Tanto lalu pulang lagi menjadi pastor paroki.

Tahun-tahun belakangan ini, Romo Soetanto SJ menjadi pastor paroki di Gereja Santo Servatius Kampung Sawah, Jatiasih, Bekasi.

Karena terserang Covid-19 dan kemudian juga mengalami stroke, maka beberapa bulan lalu,Romo Soetanto SJ mulai merelakan diri meninggalkan Kampung Sawah menuju Wisma Emaus di Girisonta.

Mulai mengampu karya baru sebagai pendoa. Mendoakan Gereja dan Serikat Yesus (Jesuit).

Mungkin saja karena pengalamannya “bersentuhan” dibantu oleh Romo Tanto SJ inilah, cinta mati almarhum Pipit Prahoro kepada Jesuit sedemikian tingginya.

Ia amat kagum dan selalu berkobar-kobar setiap kali bicara tentang karya para Jesuit dan sejumah imam SJ yang dia kagumi.

Dan langsung bisa “nyambung” dengan penulis, karena bahan topik omongannya itu dengan amat baik dikenal juga oleh penulis.

Kini, kalau mendengar Pipit Prahoro sudah meninggal hari Selasa malam tanggal 14 Desember 2021 semalam, Romo Soetanto SJ pasti berkenan juga untuk sekali lagi “menolong” Pipit Prahor.

Mendoakan almarhum mantan misdinarnya di Gereja Santo Fransiskus Assisi Tanjung Priok agar diberi jalan lapang menuju ke pangkuan Bapa di surga. (Berlanjut)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here