Seluruh rangkaian perayaan Seabad Seminari Mertoyudan melalui berbagai kegiatan telah digelar selama setahun terakhir, sedangkan puncak usia 100 tahun tempat pendidikan calon imam Katolik itu, jatuh pada 30 Mei 2012. Mereka yang menjalani pendidikan calon imam itu dikenal dengan sebutan seminaris.
Para seniman petani Gunung Sumbing membuka pentas “Lengger Sumyah Kolbu” melalui tabuhan gamelan “Gending-gending Lengger Sumbing” dengan pengendang Sudiyanto dan wirasuara Robiah serta Sarwo Edhi.
Hal ikhwal tentang tarian lengger memang menjadi pertanyaan para seminaris karena umumnya mereka belum mengerti kesenian yang sejak turun temurun itu dijalani oleh masyarakat Gunung Sumbing sebagai bagian dari tradisi budaya petani setempat.
“Saya awam mengenai lengger, belum mengetahui pasti dan makanya saya sungguh tertarik dengan acara ini agar saya bisa melihat lengger secara langsung,” kata seorang seminaris.
Seorang seminaris lainnya bernama Toni juga mengajukan pertanyaan mendasar perihal apa itu tarian lengger.
Sarwo Edhi yang juga seorang pemimpin komunitas “Cahyo Budoyo Sumbing” menjelaskan, kata “lengger” berasal dari ungkapan “leng” dan “ngger” yang asal usulnya dari “eling” (ingat) dan “angger” (sebutan orang tua kepada anak).
“’Eling-eling’ manusia, bahwa manusia hidup selalu ingat, waspada, hati-hati, sebab nanti kita akan mati dan nanti kita akan diminta pertanggungjawaban dalam kehidupan kekal abadi di sana (alam baka, red.),” katanya.
Nama tarian lengger, katanya, diberikan oleh Sunan Kalijaga (salah satu di antara sembilan wali, penyebar agama Islam di Tanah Jawa). Tarian lengger di masyarakat petani Gunung Sumbing terdiri atas sekitar 24 nomor gerak tari dibarengi tembang Jawa yang isinya beragam nasihat kebaikan hidup, dan iringan tabuhan gamelan.
Sejumlah nomor tarian dijelaskan oleh Sarwo Edhi yang juga salah satu perangkat desa setempat itu, seperti “sontoloyo” (rakyat kebanyakan), “bribil” (pedagang), “kebogiro” (penjahat), “bribil (pedagang) “kinayakan” (satria), dan “solasih” (ningrat).
Mereka biasanya mementaskan tarian itu semalam suntuk sebagai bagian tradisi ruwat bumi, memperingati ulang tahun dusun, bertepatan dengan Jumat Legi atau malam Sabtu Pahing, Bulan Sapar (kalender Jawa).
“Nenek moyang kami itu orang seni, pendiri dusun kami yakni Eyang Dipodrono dan Teledek Meyek (dimakamkan di dusun setempat, red). Teledek Meyek itu penari meskipun buntung. Tarian mereka kami ’uri-uri’ sampai sekarang,” katanya.
Pentas kesenian dusun setempat, katanya, juga bagian hiburan kala masyarakat bersusah karena harga-harga panenan petani jatuh. Petani setempat mengolah lahannya untuk budi daya aneka sayuran, dipasok ke sejumlah pasar di Magelang dan Yogyakarta.
“Untuk menghilangkan rasa sedih, lapar, kita bersenang-senang dengan kesenian. Kita tidak punya uang, modal, ekonomi kurang bagus, kita tetap bersemangat untuk berkesenian,” katanya.
Sebagai lanjutan pembuka sajian kesenian di seminari setempat malam itu, mereka menyuguhkan “Ritual Gending-Gending Lengger”. Tiga penari laki-laki dipimpin Heri Surahman, memasuki bangsal itu dengan membawa kemenyan diiring sekitar 15 penari perempuan yang menaburkan bunga mawar merah putih sambil menarikan nomor “Midodari Angger”.
Beberapa nomor lain tarian lengger yang disajikan berjudul “Menyan Putih”, “Gambyong Srombo”, “Grobyok Bribil”, “Ayak-Ayak Kinayakan”, “Sontoloyo”, “Bribil”, “Sluku-Sluku Bathok”, “Kebogiro”, “Solarsih”, “Grobyok Sontoloyo”, dan “Warok Putri”.
Aneka sesajian diletakkan di bawah panggung seperti sejumlah kembang, aneka minuman dalam cangkir, jajan pasar, kemenyan, beberapa batang rokok keretek, nasi merah putih, kelapa muda, dan kemenyan.
Artikel Terkait
Pementasan Tari “Lengger Sumyah Kolbu” Jelang 100 Tahun Seminari Mertoyudan (1)