YANG pasti, almarhum Mas Himawan Soenarjo adalah sosok sahabat yang selalu senang menyapa siapa pun yang dia kenal.
Saya pribadi sebenarnya tidak terlalu mengenal almarhum Mas Himawan.
Saya dikenalkan pertama kali dengan Mas Himawan juga dari Ganjar, teman angkatan SMA kami dan besan almarhum itu.
Tahun 2014, angkatan SMA kami Merto-73 reunian di Bali. Setahun sebelumnya, Juli 2013, kami reuni akbar merayakan 40 tahun angkatan di Wisma Aloysius Ciwidey.
Biasalah, rasa kangen kumpul-kumpul makin bertambah setelah mengalami serunya reuni akbar.
Bukan angkatan kami, tapi ikut jadi tuan rumah
Bali menjadi tuan rumah reuni selanjutnya tahun 2014 itu. Sebagai tuan rumah, Ganjar mengajak besannya Mas Himawan dan teman-teman gerejanya untuk menyambut kami.
Ganjar dan Mas Himawan sungguh menjadi tuan rumah yang baik. Praktis merekalah yang menanggung penginapan dan makan 60 orang lebih selama lima hari kami di Bali.
Mas Himawan nampak sangat antusias menyambut reuni angkatan kami di Bali, karena almarhum juga menjadi salah satu alumnus Seminari Mertoyudan.
Dari teman-teman alumni Merto, kami memang selalu mendapat cerita kalau mas Himawan adalah tuan rumah yang sungguh baik kalau ada reuni atau acara kumpul-kumpul alumni di Bali.
Selalu suka menyapa
Sejak acara reuni di Bali tahun 2014 itu, saya dan Mas Himawan lalu bersahabat di Facebook. Tidak terasa hampir delapan tahun kami berteman di Facebook.
Kemarin di FB-nya Mas Himawan, saya membaca ucapan duka dari Anton Chris Arsen, sahabat FB Mas Himawan.
Anton menulis begini:
“Selamat jalan Mas Himawan. Besok-besok tidak ada lagi ucapan selamat ulang tahun dan selamat HUP darimu, yang selalu saja ingat kami walau sudah jauh terpisah. Beristirahatlah dalam kebahagiaan dan damai di sisi Bapa di Surga. Engkau akan selalu kami kenang dan selalu ada di hati kami.”
Evi Ariyanti sahabat yang lain, pada FB Mas Himawan juga menuliskan hal yang hampir sama.
“Terima kasih, selama ini mengenalmu selalu baiikkk. Selalu ingat mengucapkan dan mendoakan kami ketika ulang tahun kelahiran juga ultah pernikahan.”
Saya lalu sadar, benar Mas Himawan juga selalu mengucapkan selamat, kalau saya ulang tahun atau ulang tahun perkawinan.
Bahkan ketika Bapak-Ibu saya merayakan 60 tahun perkawinan di Gereja Muntilan Mei 2016, Mas Himawan juga memberi ucapan selamat dengan hangat.
Ketika bulan Agustus 2016, bapak saya meninggal, Mas Himawan juga memberi bela duka yang dalam.
Terakhir, ketika adik kandung saya Dik Yani meninggal Juli 2021 yang lalu karena sakit kanker, Mas Himawan juga memberi ucapan duka di FB saya.
Roh kebaikan
Saya tidak tahu, “roh kebaikan” apa yang “menghinggapi” Mas Himawan sampai punya perhatian yang begitu besar kepada saya dan keluarga saya.
Padahal saya merasa tidak dekat dengan mas Himawan. Tetapi itulah hebatnya Mas Himawan.
Ia tidak perlu merasa, bahwa untuk menjadi sahabat baik tidak harus ada prasyarat kita harus menjadi menjalin hubungan yang baik terlebih dahulu.
Bagi Mas Himawan, untuk menjadi sahabat, cukuplah kita pernah disatukan dalam komunitas yang sama sebagai sesama orang Katolik, sebagai teman se-alma mater, sebagai teman yang pernah sama-sama “mereguk air yang sama” di sebuah asrama dan SMA yang sama.
Tidak usahlah kita ini menjadi sahabat, karena ada kepentingan besar atau proyek besar dalam persahabatan itu.
Ketika dunia bisnis dan manajemen akhir-akhir ini terpesona pada model pemimpin dan kepemimpinan yang melayani, Mas Himawanlah sosok ideal semacam itu.
Ketika kami reuni di Bali tahun 2014 itu, kami dijamu Mas Himawan di sebuah puri yang indah di tepi laut.
Mas Himawan, dibantu Ganjar besannya, mempersiapkan sessi makan malam dan puncak acara reuni yang mengesankan pada reuni kami 5 Juli 2014 itu.
Anehnya, tidak ada satu pun foto Mas Himawan pada foto-foto reuni kami malam itu.
Entah ngumpet di mana Mas Himawan malam itu.
Pada sebuah video, sosok wajah almarhum Mas Himawan hanya tersorot sekilas. Itu pun pada ujung acara, ketika Ketua Keluarga Merto-73 memberi ucapan terimakasih.
Seusai sambutan acara diakhiri dengan nyanyi bersama lagu Terimakasih Seribu.
Wajah mas Himawan, malam itu hanya sekilas tersorot persis ketika lagu kami sampai pada kalimat: “Aku bahagia, karna dicinta terima kasih.”
Menjadi oli, bukan pembawa bendera
Mas Himawan pernah mengenyam di Oxford University, sebuah kampus bergengsi dan impian banyak orang di Inggris. Juga sangat lama menjadi Kepala Sekolah di sebuah sekolah yang punya nama di Denpasar. namun, almarhum tetaplah menjadi sosok pribadi yang rendah hati, santai dan bersahabat.
Ia bukan jenis pribadi yang suka disebut titel atau jabatannya.
Dari cerita teman-teman seangkatannya di Mertoyudan, saya malah mendapatkan kesan Mas Himawan itu bukan “pembawa bendera”, tetapi oli.
Oli tidak pernah kelihatan, karena oli tersembunyi di sekat-sekat dan selang-selang mesin. Tapi kita semua tahu, tanpa oli mobil tidak bisa berjalan. (Berlanjut)