Lectio Divina 20.02.2022 – Kasihilah Musuhmu

0
379 views
Kasihilah musuhmu seperti Bapamu yang berbelas kasih by Vatican News.

Minggu. Hari Minggu Biasa VII (H)

  • 1Sam. 26:2.7-9.12-13.22-23
  • Mzm. 103:1-2.3-4.8.10.12.13
  • 1Kor. 15:45-49  
  • Luk. 6:27-38

Lectio

27 “Tetapi kepada kamu, yang mendengarkan Aku, Aku berkata: Kasihilah musuhmu, berbuatlah baik kepada orang yang membenci kamu; 28 mintalah berkat bagi orang yang mengutuk kamu; berdoalah bagi orang yang mencaci kamu. 29 Barangsiapa menampar pipimu yang satu, berikanlah juga kepadanya pipimu yang lain, dan barangsiapa yang mengambil jubahmu, biarkan juga ia mengambil bajumu.

30 Berilah kepada setiap orang yang meminta kepadamu; dan janganlah meminta kembali kepada orang yang mengambil kepunyaanmu. 31 Dan sebagaimana kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah juga demikian kepada mereka. 32 Dan jikalau kamu mengasihi orang yang mengasihi kamu, apakah jasamu? Karena orang-orang berdosapun mengasihi juga orang-orang yang mengasihi mereka.

33 Sebab jikalau kamu berbuat baik kepada orang yang berbuat baik kepada kamu, apakah jasamu? Orang-orang berdosapun berbuat demikian. 34 Dan jikalau kamu meminjamkan sesuatu kepada orang, karena kamu berharap akan menerima sesuatu dari padanya, apakah jasamu? Orang-orang berdosa pun meminjamkan kepada orang-orang berdosa, supaya mereka menerima kembali sama banyak.

35 Tetapi kamu, kasihilah musuhmu dan berbuatlah baik kepada mereka dan pinjamkan dengan tidak mengharapkan balasan, maka upahmu akan besar dan kamu akan menjadi anak-anak Allah Yang  Mahatinggi, sebab Ia baik terhadap orang-orang yang tidak tahu berterima kasih dan terhadap orang-orang jahat. 36 Hendaklah kamu murah hati, sama seperti Bapamu adalah murah hati.”

37 “Janganlah kamu menghakimi, maka kamupun tidak akan dihakimi. Dan janganlah kamu menghukum, maka kamupun tidak akan dihukum; ampunilah dan kamu akan diampuni. 38  Berilah dan kamu akan diberi: suatu takaran yang baik, yang dipadatkan, yang digoncang dan yang tumpah ke luar akan dicurahkan ke dalam ribaanmu. Sebab ukuran yang kamu pakai untuk mengukur, akan diukurkan kepadamu.”

Meditatio-Exegese

Jangan musnahkan dia

Kebencian bisa menguasai hati dan mendorong untuk menghancurkan sesama. Hati Saul dikuasai kebencian saat kaum perempuan menyambut kemenangan Israel atas orang Filistin (1Sam. 18:9). Raja pertama Israel iri hati karena merasa direndahkan jasanya dan iri hati atas kemenangan itu.

Saat itu para perempuan Israel bersorak-sorai, “Saul mengalahkan beribu-ribu musuh, tetapi Daud berlaksa-laksa.” (1Sam. 18:7).

Maka, kebencian menggelapkan hati Saul dan mendorongnya untuk membunuh Daud. Pelbagai cara halus dan kasar ditempuh untuk melenyapkan Daud.

Ditempatkan di barisan terdepan pasukan untuk berperang melawan Filistin, Daud justru meraih kemenangan demi kemenangan. Terlebih, raja merancang kematian melalui perkawinan dengan anak perempuannya, Mikhal.

Ayah Mikhal, Saul, suatu malam mengirim prajurit terpilih dan terlatih untuk memata-matai dan membunuh Daud di waktu pagi. Namun, Mikhal justru meluputkan sang suami karena cintanya.

Mikhal, isteri Daud, memberitahukan, “Jika engkau tidak dapat meluputkan dirimu malam ini, maka besok engkau akan dibunuh.” Lalu Mikhal menurunkan Daud dari jendela. Ia melarikan diri dan luput dari rancangan kematian (1Sam. 19:11-12).

Di saat lain, Daud memiliki kesempatan pertama membalas dendam dan membunuh Saul di En-Gedi. Saat memburu Daud, tanpa sepengetahuannya, Saul masuk ke gua yang telah dijaga Daud dan pasukannya.

Di situlah Saul membuang hajat. Inilah saat ia lemah, karena tidak memegang senjata. Seluruh jiwa dan raga Daud bergolak. Seluruh tubuhnya gemetar. Dan, hati nuraninya menuntun untuk tidak membunuh Saul. Ia hanya memotong punca jubahnya sebagai tanda bagi Saul (1Sam. 24:4-5).

Kesempatan kedua untuk membunuh Saul datang.  Saat di padang gurun Zif dengan tiga ribu prajurit pilihan, Saul memburu Daud.

Dalam keheningan dan kegelapan malam, tanpa suara Daud dan Abisai memasuki perkemahan raja Israel itu.

Saul berbaring, tidur seperti orang mati. Tombaknya terpancung di tanah pada sebelah kepalanya.

Saat itulah, Abisai berkata pada Daud, “Pada hari ini Allah telah menyerahkan musuhmu ke dalam tanganmu, oleh sebab itu izinkanlah kiranya aku menancapkan dia ke tanah dengan tombak ini, dengan satu tikaman saja, tidak usah dia kutancapkan dua kali.” (1Sam. 28:8).

Daud menolak, karena ia tak berhak membunuh. Setiap pembunuhan selalu bermakna penghentian nafas hidup yang dihembuskan Allah (Kej. 2:7). Hak untuk mematikan dan menghidupkan hanya dimiliki Allah (bdk. Ul. 32:39; 1Sam. 2:6).

Di samping itu, Daud tidak menghendaki kematian Saul, karena ia diurapi Tuhan (1Sam. 28:9). Sebagai tanda bahwa kematian Saul sudah di genggaman tangan Daud, ia mengambil dan membawa pergi simbol kekuasaan militer dan alat untuk bertahan hidup, tombak dan kendi tempat air (1Sam. 28:12).

Daud, yang masih belia itu, mengalahkan gelegak balas dendam dan menggantinya dengan belas kasih dan pengampunan.

Dengan cara inilah ia memutus, apa yang disebut oleh Dom Helder Camara, salah satu Bapa Konsili Vatikan II dan Uskup Agung Racife, Brasil, The Spiral of Violence, lingkaran setan kekerasan.

Bila tidak, kekerasan akan beranak-pianak tanpa pernah kenal berhenti, seperti dilakukan oleh Lamekh, “Ada dan Zila, dengarkanlah perkataanku! Hai istri-istri Lamekh, dengarkanlah aku.

Aku telah membunuh seseorang karena ia melukaiku, seorang yang masih muda karena dia menyakitiku. Jika orang yang membunuh Kain akan dibalaskan tujuh kali lipat, maka kepada Lamekh akan dibalaskan tujuh puluh tujuh kali lipat!” (Kej. 4:23-24).

Maka, dengan nada bertanya, Daud tidak pernah menghendaki penderitaan, bahkan kematian, di pihak musuh, karena pelaku pasti mendapatkan balasan dari Allah. Kata Daud (1Sam 26:9),  “Jangan musnahkan dia, sebab siapakah yang dapat menjamah orang yang diurapi TUHAN, dan bebas dari hukuman?”, Ne interficias eum; quis enim extendit manum suam in Christus Domini et innocens erit.

Tetapi kepada kamu, yang mendengarkan Aku

Sabda Bahagia dalam Injil Lukas dibagi dalam dua bagian. Kali ini, pada bagian kedua (Luk. 6:27-49) Sabda Bahagia, Ia berbicara kepada orang banyak yang datang tak hanya dari seluruh Yudea dan dari Yerusalem, tetapi juga dari daerah pantai Tirus dan Sidon (Luk. 6:17).

Secara khusus Ia berbicara (Luk. 6:27), “Kepada kamu yang mendengarkan Aku.”, yang terdiri dari : kaum miskin, menderita sakit dan kerasukan roh jahat; mereka yang ingin mendapatkan penyembuhan dan peneguhan dari-Nya (Luk. 6:18-19).

Sedangkan pada bagian pertama (Luk. 6:20-26), Yesus berbicara secara khusus kepada para murid-murid-Nya (Luk. 6:20).

Kasihilah musuhmu

Kepada orang yang biasa menjadi korban atau dikorbankan dalam masyarakat, yakni: kaum miskin, sakit dan kerasukan, Yesus menuntut mereka untuk mengasihi musuh. Ia meminta untuk tidak mengutuk atau membalas dendam.

Sabda-Nya begitu sulit, menuntut dan menantang jiwa. Ia mengajak mereka untuk tak hanya memberi pipi yang lain ketika pipi yang satu ditampar, juga tidak mengecam ketika seseorang merampas hak milik.

Secara hurufiah, perintah ini seolah-olah menguntungkan mereka yang menindas, yang merampas, yang merampok. Tetapi, ketika serdadu memukul wajah-Nya, Yesus tidak menawarkan pipi yang lain, tetapi Ia menunjukkan ketegasan untuk mencari kebenaran. Sabda-Nya sulit dimengerti.

Sabda-Nya (Yoh. 18:22-23), “Jikalau kata-Ku itu salah, tunjukkanlah salahnya, tetapi jikalau kata-Ku itu benar, mengapakah engkau menampar Aku?”, Si male locutus sum, testimonium perhibe de malo; si autem bene, quid me caedis?

Kasihilah musuhmu, seperti yang dilakukan Tuhan, dapat dilakukan ketika tiap murid-Nya melakukan dua Hukum Emas (Luk 6:31): “Dan sebagaimana kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah juga demikian kepada mereka.”  

Dan, “Hendaklah kamu berbelas kasihan, sama seperti Bapamu yang juga penuh dengan belas kasihan”_ (Luk 6:36 AYT-Alkitab Yang Terbuka).

Melalui kedua perintah ini Yesus tidak hanya ingin mengubah situasi, tetapi Ia menghendaki perubahan sistem dan watak/karakter manusia. Ia menghendaki tata hidup baru dilandaskan pada pengalaman akan Allah Bapa yang penuh kelembutan hati.

Santo Lukas melukiskan hati Allah yang mau menanggung derita, merasa sepenanggungan dengan manusia. Lukisannya diungkapkan dengan gabungan dua kata Latin: miser, kemalangan, kesengsaraan, penderitaan dan cor, hati.

Sabda-Nya (Luk. 6:36), “Hendaklah kamu berbelas kasihan, sama seperti Bapamu yang juga penuh dengan belas kasihan., Estote misericordes, sicut et Pater vester misericors est.

Hati yang berbelas kasih dinyatakan sepenuh-penuhnya ketika Ia bersabda dari kayu salib (Luk. 23:34), “Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat.”, Pater, dimitte illis, non enim sciunt quid faciunt.

Kasihilah musuhmu membuat kesewang-wenangan kaum kaya, penguasa, penindas, perampas dan perampok tidak menjadi kesempatan balas dendam pada pihak orang miskin. Kasih tidak bergantung pada apa yang diterima dari orang lain.

Kasih selalu menghendaki kebaikan orang lain, terlepas dari apa yang dilakukan orang lain bagiku. Kasih selalu kreatif, seperti Allah. Melalui Santo Lukas, Tuhan meminta setiap murid-Nya memiliki hati yang berbelas kasih (Luk 6:36).

Santo Matius mengungkapkan kasih secara berbeda (Mat. 5:48), “Haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di surga adalah sempurna.”, estote ergo vos perfecti sicut et Pater vester caelestis perfectus est.

Setiap murid diarahkan untuk mengembangkan hidup agar semakin serupa dengan Allah. Cara yang ditawarkan adalah dengan “kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” (Luk. 10:27), yang searti dengan (Luk 6:31).

Sedangkan Santo Matius merumuskan cara mengasihi sesama dalam (Mat 7:12), “Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka. Itulah isi seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi.”

Dalam hati setiap insan tertanam perintah yang sama untuk mengasihi sesama. Hukum  Emas menjadi tanda akan kerinduan batin untuk memutus segala bentuk kesemena-menaan dan kejahatan, agar manusia hidup bermartabat sebagai citra Allah (Kej. 1:27).

Menghukum, dihukum; menghakimi, dihakimi; mengampuni, diampuni; memberi, diberi

Yesus memberi empat nasihat, dua dalam bentuk negatif dan lainnya dalam bentuk positif.  Sabda-Nya, “Janganlah kamu menghakimi, maka kamupun tidak akan dihakimi. Dan janganlah kamu menghukum, maka kamupun tidak akan dihukum; ampunilah dan kamu akan diampuni. 

Berilah dan kamu akan diberi: suatu takaran yang baik, yang dipadatkan, yang digoncang dan yang tumpah ke luar akan dicurahkan ke dalam ribaanmu. Sebab ukuran yang kamu pakai untuk mengukur, akan diukurkan kepadamu.”

Saat Ia bersabda (Luk 6:38), “Kamu akan diberi.”, Yesus menjamin bahwa Allah selalu menjamin penyelenggaraan-Nya pada manusia, seperti Ia menyediakan domba bagi Abraham sebagai ganti Ishak. Kepenuhan janji itu harus diimbangi oleh sikap patuh pada-Nya

Saat  Abraham hendak mengorbankan Ishak,  anaknya bertanya, Di sini sudah ada api dan kayu, tetapi di manakah anak domba untuk korban bakaran itu?”

Sahut Abraham, “Allah yang akan menyediakan anak domba untuk korban bakaran bagi-Nya, anakku.” (Kej 22:7-8).

Santo Augustinus, Bapa Gereja dan Uskup Hippo, 354-430, melukiskan dua ajaran Yesus untuk memberi dan mengampuni, “Ampunilah dan kamu akan diampuni. Berilah dan kamu akan diberi.” 

Keduanya adalah dua sayap doa yang menerbangkan doa kita pada Allah. Ampunilah para penganiaya atas apa yang dilakukan padamu; dan berilah pada orang itu saat membutuhkan.

Mari kita dengan murah hati dan berkobar-kobar melakukan kedua amal kasih ini, yakni: memberi dan mengampuni, karena kita, pada gilirannya, memohon pada Allah memberi apa yang kita perlukan dan tidak menimpakan perilaku jahat kita.” (Sermon 205.3  dan Sermon 206.2).

Khotbah di Dataran pada Injil Lukas atau Khotbah di Bukit pada Injil Matius mengarahkan para murid untuk lebih memperhatikan kaum miskin, preferential option for the poor.

Dalam Perjanjian Lama, Allah sering menghadapkan manusia pada pilihan: berkat atau kutuk, hidup atau mati.

Manusia diberi kebebasan memilih (Ul 30:19), “Kepadamu kuperhadapkan kehidupan dan kematian, berkat dan kutuk. Pilihlah kehidupan, supaya engkau hidup, baik engkau maupun keturunanmu.”

Bukan Ia yang mengutuk, tetapi manusia dengan sepenuh kesadaran memilih.  

Saat untuk memilih inilah menjadi saat Ia mengunjungi, mendengarkan, memperhatikan dan mengindahkan umat-Nya (Kej. 21: 1; 50: 24-25; Kel. 3:16; 32:34; Yer. 20:10; Mzm. 65:10; Mzm. 80:15; Mzm. 106: 4).

Di antara para penginjil, hanya Santo Lukas melukiskan kunjungan Allah (Luk. 1:68, 78; 7:16; 19:44; Kis 15:16).

Kunjungan Allah selalu menjadi saat untuk memilih: berkat atau kutuk. “Berbahagialah, hai kamu yang miskin.” (Luk. 6:20) dan “Celakalah kamu, hai kamu yang kaya” (Luk. 6:24).

Sayang, sering manusia tidak mengenali Allah yang sedang mengunjunginya (Luk. 19:44), “Engkau tidak mengetahui saat, bilamana Allah melawat engkau.”, non cognoveris tempus visitationis tuae.

Katekese

Iman mengobarkan dan menopang penghargaan kita akan sesama. Paus Fransiskus,

“Saya ingin mencatatkan bahwa di bagian lain dari Injil Yesus mengatakan, “Ketika Aku orang asing, kamu memberi Aku tumpangan.” (Mat. 25:35).

Yesus dapat berbicara tentang kata-kata tersebut sebab Dia memiliki hati yang terbuka, kepekaan akan kesulitan orang lain.

Santo Paulus mendorong kita untuk “bersukacitalah dengan orang yang bersukacita, dan menangislah dengan orang yang menangis.” (Rom. 12:15).

Kalau hati kita melakukan hal itu, dia akan sanggup mengenali sesama tanpa khawatir tentang di mana mereka lahir atau dari mana mereka berasal. Di dalam prosesnya, kita dapat mengalami sesama sebagai “tubuhnya sendiri” (Yes. 58:7).

Bagi umat Kristiani, kata-kata Yesus memuat makna yang lebih dalam. Kata-kata tersebut mendesakkan kepada kita untuk mengenali Kristus sendiri dalam diri saudara-saudari kita yang disingkirkan dan disisihkan (lih. Mat. 25:40.45).

Iman menjadi kekuatan yang tak terhingga untuk mengobarkan dan menopang penghargaan kita akan sesama, sebab kaum beriman mengenali bahwa Allah mencintai setiap pria dan wanita dengan kasih yang tanpa batas dan “dengan demikian menganugerahkan martabat yang tak terhingga” kepada seluruh umat manusia.

Begitu juga kita percaya bahwa Kristus menumpahkan darah-Nya kepada kita semua dan tak seorang pun berada di luar cakupan kasih universal-Nya.

Jika kita masuk ke dalam sumber tertinggi dari kasih tersebut yang adalah hidup sejati dari Allah Tritunggal, kita menjumpai di dalam komunitas ketiga Pribadi Ilahi asal serta model sempurna dari seluruh kehidupan dalam masyarakat.” (Ensiklik Tentang Persaudaraan Dan Persahabatan Sosial, Fratelli Tutti, 84-85).  

Oratio-Missio

Tuhan, ajarilah aku untuk mengampuni dan mengenali saat kehadiran-Mu.             

  • Apa yang perlu kulakukan untuk mengasihi lawan dan alam?

Estote misericordes, sicut et Pater vester misericors est – Lucam 6:36

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here