KAGET betul hari Sabtu tanggal 26 Februari 2022 ini mendapat berita Jimmy telah meninggal. Selama ini, saya tidak mendengar dia sakit. Katanya, dia punya penyakit jantung.
Terakhir saya mendengar suaranya setahun yang lalu. Saya japri Jimmy kalau 10.10.20.20 pukul 10.10 saya menempati rumah kami yang baru di Janur Elok Kelapa Gading.
Hari itu, ia menelepon mengucapkan selamat, masuk rumah baru di tanggal cantik. “Habis pandemi, kita mantan Projo KAJ kumpul-kumpul di rumah kamu ya,” katanya.
Jarang bertemu, tetap berkomunikasi
Sejak sebelum pandemi, Jimmy memang sering bilang pengin ketemu teman-teman KAJ.
Kehangatannya dalam bersahabat tidak pernah surut. Bertahun-tahun saya tidak pernah bertemu Jimmy. Apalagi sejak dia check-out dari imamatnya.
Walau begitu Jimmy selalu menyapa hangat di WA Projo Jakarta maupun WA Ikafite – Ikatan Alumni IFT-FTW Universitas Sanata Dharma.
Kalau saya japri, ia langsung membalas.
Saya merasa, walau lama ngga bertemu dia masih menganggap saya sahabatnya. Saya ingat, ketika dia masih bertugas di Gereja St. Ignatius Paroki Jl. Malang dan mau meninggalkan imamatnya, dia ngajak saya ngobrol khusus.
Surprise juga saya diajak mendengar curhatnya. Mungkin dia masih ingat, kalau ada masalah khusus, saya juga cerita ke dia. Misalnya, ketika ada frater KAJ yang “melecehkan” koster di paroki tempat saya Tahun Orientasi Pastoral tahun 1980 dulu, saya minta nasihat Jimmy.
Saya curhat ke Jimmy sebelum menghadap Romo Rektor Kentungan. Koster itu dekat dan baik sekali sama saya. Dia tidak tahu mau bicara ke mana dilecehkan begitu, maka kirim surat ke saya.
Alumnus SMA Kanisius Menteng
Jimmy seangkatan dengan Romo Setya Gunawan. Di Kentungan, mereka dua tahun di atas kami.
Jimmy dari SMA Kanisius Jakarta. Romo Setya Gunawan dari Mertoyudan. Entah kenapa, angkatan kami merasa cukup dekat dengan angkatan Jimmy. Di Kentungan, kami sering mengadakan kegiatan bersama.
Ada Martono di angkatan mereka yang sering ngajak koor dan aksi panggilan di KAJ.
Selama ini, Jimmy banyak ngajari saya tips-tips jadi “orang Jakarta”. Maklumlah, walau saya ini seminaris dan imam untuk KA Jakarta, namun saya tidak benar-benar jadi orang Jakarta.
Saya lebih banyak berteman dengan teman-teman Kentungan atau mantan Mertoyudan. Angkatan saya adalah angkatan terakhir projo KAJ yang dikirim ke Kentungan sejak dari Filsafat.
Adik-adik kelas saya masuk Kentungan hanya untuk studi teologi saja. Mereka menjalani studi Filsafat di STF.
Kenangan di Seminari Tinggi St. Paulus Kentungan
Di Kentungan, Jimmy aktif di kegiatan Pramuka. Dia ngajak Eko, teman KAJ, untuk ikut di kegiatan Pramuka. Jimmy ngga ngajak saya ikut Pramuka, karena dia tahu saya sudah ikut nglatih drumband SD Tarakanita Bumijo bersama Frater Supriyanto “Midul” dan Susanto Adi.
Zaman orang suka “nge-break”, Jimmy juga yang paling update duluan di antara teman-teman KAJ. Pernah dia datang ke Paroki Cilincing, membelikan saya alat nge-break.
“Paroki loe kan miskin Kun. Nih gua beliin biar loe bisa gaul dikit”, katanya.
Waktu tahbisan tahun 1982 di lapangan Gembala Baik berdua bersama Setya Gunawan, dia mewakili neomis untuk mengucap terimakasih sebelum berkat pertama.
Romo Jimmy lalu mengajak umat menyanyikan lagu Di Tengah Ombak. Lagu pop Kristen itu, tahun 1982 itu memang lagi ngetop di kalangan umat gara-gara dipopulerkan oleh Frater Martono.
Tetap sahabat hangat
Kami akan terus mengenang Jimmy sebagai pribadi yang baik, hangat dan menyenangkan. Masih jadi imam atau tidak, masih jadi seminaris atau sudah jebling, Jimmy tidak pernah membedakan. Semua tetap dijadikan sahabat.
Jimmy juga tetap memberi tempat istimewa bagi teman-teman yang pernah menjadi teman seperjalanan memaknai hidup sebagai putera Gereja.
Saya tidak pernah mendengar dia marah sama Gereja Katolik dan pindah ke gereja lain. Cintanya sama Tuhan dan Gereja Katoliknya tidak pernah luntur.
Juga persahabatannya dengan kami, setidaknya dengan saya.
Selamat jalan bro.
Kamsia, sudah ngajari saya banyak “ilmu kehidupan” jadi orang Jakarta.
Requiescat in pace et vivat ad vitam aeternam.