“KUDUSLAH kamu, sebab Aku, TUHAN, Allahmu, kudus.” (Im 19: 2). Inilah satu ayat yang sangat penting bagi seluruh hidup manusia.
Orang dipanggil untuk menjadi kudus seperti Tuhan Allah juga kudus. Bukankah manusia diciptakan secitra dengan Allah? (Kej 1: 26).
Pertanyaannya, apa yang dimaksudkan dengan kudus? Orang dapat menemukan jawabannya dalam Kitab Imamat 19: 11-18 dan Injil Matius 25: 31-46 yang dibaca pada Senin Minggu I Prapaskah.
Kudus itu lebih dari semata-mata status religius pribadi; menjadi manusia tanpa dosa. Kudus itu mengandung implikasi sosial.
Tidak bohong, tidak mencuri, tidak memeras sesama, tidak merampas, tidak mengutuki orang tuli, tidak memasang batu sandungan di depan orang buta, tidak curang dalam pengadilan, tidak menyebarkan fitnah dan tidak mengancam sesama (Im 19: 11-18).
Injil Matius menyatakan dengan tegas bahwa orang yang peduli dan mau menolong orang miskin dan menderita berkenan kepada Tuhan (Mat 25: 40). Sebaliknya, egoisme yang menutup sikap peka dan bela rasa kepada sesama mendatangkan murka dari Yang Mahakuasa (Mat 25: 45).
Dalam Masa prapaskah orang diajak mengoreksi diri, mengakui kesalahan, bertobat dan diampuni sehingga menjadi suci.
Itulah kesucian pribadi.
Namun itu saja tidak cukup. Orang dipanggil untuk menghayati kesucian itu dalam dua sikap sosial.
Pertama, berlaku adil terhadap sesama. Kedua, menolong mereka yang menderita. Satu ayat yang memanggil kepada kekudusan itu perlu dilaksanakan sampai akhir hayat.
Senin, 7 Maret 2022