BAPERAN-BAcaan PERmenungan hariAN.
Kamis, 10 Maret 2022.
Tema: Sepihak, tidak Utuh.
Bacaan.
- T. Est. 4: 10a, 10c-17, 17-19.
- Mt. 7: 7-12.
SAYA pernah salah tafsir ujian tafsir Kitab Suci. Untunglah, 15 menit sebelum dikumpulkan, mendadak sontak saya jadi sadar.
Saya hanya tersenyum. Melihat waktu yang sisa, saya agak jengkel juga.
Jengkel, banyak waktu terbuang memikirkan hal-hal yang tidak begitu penting.
Dengan tenang, saya mencoba memberi catatan singkat.
Saya percaya, dosen pun akan melihat ini sebagai sebuah proses penyadaran diri. Bukan sekedar menjawab persoalan teologis.
Maka apa yang sudah saya tulis saya serahkan juga. Selembar tambahan yang yang merupakan penyadaran saya sertakan juga.
Saat saya membaca teks yang dibacakan hari ini, saya beranjak pada pribadi yang suka memohon. Kepentingan diri sendiri.
Titik poin ini lalu menyadarkan saya, bahwa saya memperlakukan Allah sebagaimana yang kukehendaki.
Saya hanya memohon kebutuhan pribadi. Saya kurang menyadari, selama ini rahmat cuma-cuma telah dianugerahkan.
Diriku itu rahmat. Kesadaran itu muncul akan martabat diri sebagai anak-anak Bapa; telah dibaptis dan disatukan dalam rahmat penebusan Kristus.
“Para frater silakan menjawab pertanyaan dengan bebas. Open book. Mendengar itu, kami kaget. Dan ini kali pertama. Dosen pun tersenyum melihat raut muka kami.”
“Waduh percuma belajar sampai malam karena denger-denger pak dosennya killer,” bisik temanku.
Saya terpaku pada kata: “cari, minta, ketuk”. Segala sesuatu yang kuinginkan harus kumiliki. Seakan-akan hanya dengan itu saya bahagia.
Saya bisa nyaman dan saya tenteram.
Saya yakin apa yang saya tulis. Teman-teman juga dengan tekun menulis. Mungkin sama.
Kami dididik dari sumber yang sama.
Tiba-tiba dosen berkata, “Waktunya tinggal seperempat jam lagi.”
Kebetulan, saya tidak tahu kenapa saya berhenti menulis. Saya membaca apa yang saya tulis.
Ada suara hati dalam diri, “Itukah sikapmu pada Tuhan. Hanya meminta. Sebatas itukah relasimu pada Tuhan. Selalu memohon. Kau anggap apa Allahmu?
Saya pun jadi terhenyak.
Lalu ada pemikiran mendadak saat itu. Pihak manusia yang berdosa dan lemahlah yang harus berjuang mengatasi kehidupan; kerja mengembangkan talenta sekaligus memenuhi kebutuhan.
Tuhan memberikan rahmat untuk berkembang dan mengembangkan talenta agar hidup semakin tumbuh.
Tapi engkau, “Tahukah apa yang Tuhan inginkan darimu. Mengertikah kamu betapa Ia memperhatikan dan memandangmu. Tahukah Engkau rencana-Nya bagimu?”
Saat itu, aku sadar. Selama ini, aku melihat pribadiku sebagai manusia biasa. Seakan-akan Tuhan itu tempat tumpuan pemenuhan keinginan.
Itu yang membuat aku bahagia.
Aku bahagia karena doaku dikabulkan. Aku senang karena mempunyai sesuatu yang kuinginkan.
Cukup. Segitukah bahagiamu. Terbatas amat.
Aku ingat ayat sebelumnya. Sebuah penegasan.
“Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu. Sebab itu janganlah kamu kuatir.” 6: 33.
Sadar akan itu, lalu saya menulis hanya setengah lembar pengalaman kasih Allah yang tanpa henti tercurah padaku.
Tanpa diminta, Dia tahu dan pasti akan memberikan pada saat-Nya.
Aku hanya diminta lebih mengutamakan kepentingan Allah daripada keinginanku sendiri.
Artinya, apa pun yang terjadi lanjutkanlah panggilanmu untuk mengabdi Gereja.
Jangan gampang terkecoh apa yang kasat mata. Tidak elok bila dibingungkan oleh hal-hal duniawi.
Amatlah terburu bila mengambil keputusan atas dasar hanya tertarik pada hal-hal tertentu dan duniawi.
Sekali engkau merasa Tuhan memanggilmu, tapakilah dengan tekun.
Dalam sudut pandang itu maka cari, minta dan ketuk menjadi bagian terwujudnya Kerajaan Allah.
Pada kalimat terakhir saya menambahkan Tuhan terimakasih engkau membangunkan kesadaranku pada detik-detik akhir
Sepekan kemudian hanya lembar kertas terakhirku yang dikembalikan. Tertulis, “Dipahami, A”. Nilai top.
Kelengahan adalah celah kejatuhan. Tuhan, terangilah jalanku. Amin.