OLEH Romo Mangun, Romo Antonius “Tanto” Soetanto SJ dipandang sebagai “tokoh Gereja sekitar altar”.
Saya mendengar sendiri komentar Romo Mangun tentang Romo Tanto ini.
Sesungguhnyalah, kalau bermusik adalah kegiatan utama sekitar altar, maka Romo Tanto memang jagonya, maestronya, pendekar-nya.
Sekarang ini yang dikenal umat sebagai tokoh musik Gereja Indonesia ya cuma dua imam Jesuit ini: Romo A. Soetanto SJ (almarhum) dan Romo Karl Edmund Prier SJ. Kehebatan Romo Tanto dalam bermusik diakui pelbagai kalangan.
Piet Somba, mantan frater MSC organis Gereja Santo Mateus Paroki Bintaro, dinasehati seorang imam MSC demikian: “Kalau kamu mau belajar musik gerejani beneran, tidak ada cara lain selain datang ke Romo Tanto di Tanjung Priok”.
Jadilah dari Bintaro, teman ini naik angkot ke Tanjung Priok setiap kali mau belajar organ dan musik gerejani dari Romo Tanto.
Piet Somba, orang Manado yang tidak kenal-kenal amat sama Romo-Romo Jesuit dan tidak pernah sekolah di Kolese Jesuit, sekarang menjadi anggota Komisi Liturgi KWI.
Itu pasti karena didikan dan kaderisasi Romo Tanto.
Melihat bakat musik Romo Tanto yang luar biasa, Provinsial Jesuit mengirim Romo Tanto memperdalam ilmu musiknya di Katholieke Kerkmuziek, Utrecht.
Selama empat tahun dari tahun 1973-1977, Romo Tanto memperoleh diploma main orgel dan dirigen koor: Praktijkdiploma Orgel dan Einddiploma Koordirectie.
Apakah dengan demikian, Romo Tanto bisa diklaim sebagai “produk” Gereja Belanda model Gereja Limburg Noord-Braband yang disinyalir oleh Romo Mangun?
Eklesiologi dikotomis ala Romo Mangun: Altar vs. Pasar, Gereja Kolonial vs. Gereja Pribumi, Gereja Asing vs. Gereja Lokal, Gereja Belanda vs. Gereja Indonesia, Gereja mayoritas vs, gereja Minoritas, universal vs.diaspora, memang bisa memicu perdebatan panjang.
Apalagi kalau cara pandang yang dipakai dalam menilai “dikotomi” itu adalah cara pandang generalisasi konteks sekarang.
Misalnya saja: Apanya dari Gereja Belanda yang sekarang bisa dijadikan panutan? Wong Gereja Belanda sekarang kosong, banyak yang dijual jadi caffe atau museum, orang Belanda sudah ngga ke gereja lagi, cerita remaja latihan koor dan pendalaman iman sudah jadi bahan tertawaan, pimpinan ordo dan konggregasi imam, bruder, suster yang markasnya di Belanda sudah bukan orang Belanda lagi, kini Belanda dan Eropa sudah jadi Tanah Misi, dan banyak komentar minor lainnya.
Mengacu pada pendapat Romo Mangun dalam Tepas KAJ 1996 yang kemudian diolah dalam bukunya Gereja Diaspora (Kanisius: 1999), Gereja Altar dan Pasar, Gereja Belanda dan Gereja Indonesia, Gereja Pra Konsili Vatikan II dan Pasca Konsili Vatikan II, tentu boleh dan bisa dibedakan namun tidak bisa dipertentangkan begitu saja.
Romo Tanto lahir tahun 1938.
Ketika negara kita memproklamirkan kemerdekaaan, Romo Tanto baru berusia tujuh tahun. Ketika Romo Tanto wafat awal Maret 2022 yang lalu dalam usia 84 tahun, ibukota baru negara kita baru saja diundangkan secara resmi.
Sayang, Romo Tanto tidak pernah bisa melihat atau datang suatu hari nanti ke ibukota kita yang bernama Nusantara.
Romo Tanto lahir di zaman Gereja Katolik masih sangat kental bau Belandanya, di zaman yang disebut Romo Mangun bergaya Limburg Noord-Braband itu.
Romo Tanto wafat, ketika gara-gara pandemi gereja teritorial kita berubah drastis menjadi Gereja Virtual. Cara menggereja yang biasanya offline, berubah menjadi online.
Suasana aman, damai, sejahtera sebagai anggota keluarga Katolik di Paroki Gedangan Semarang dan Paroki Antonius Muntilan, tidak berlangsung lama untuk Romo Tanto.
Suasana ceria bahagia sebagai God’s bloeiende wijngaard (kebun anggur Tuhan yang berbunga) dalam gambaran Gereja sebelum Kemerdekaan -demikian menurut Romo Mangun- terlalu singkat dialami oleh Romo Tanto.
Pada umur empat tahun, Romo Tanto kecil mengalami tragedi sejarah. Negeri ini diduduki Jepang. Sebagai anak kecil yang belum tahu banyak tentang pahitnya hidup, ada satu kejadian di zaman Jepang yang sering dikisahkan Romo Tanto.
Ia selalu mengingat cerita pilu orgel pipa Gereja Muntilan dibongkar Jepang untuk dilebur jadi persenjataan perang. Alat-alat musik orkes besar milik Kolese Xaverius Muntilan dirampas dan ditumpuk begitu saja di halaman gereja.
Yang dari logam diangkut. Yang dari kayu dibakar.
Kalau ketemu bapak saya, Romo Tanto pasti mengajak ngobrol mengenang lagi tragedi pilu Gereja Muntilan di zaman penindasan Jepang ini.
Bapak saya almarhum, memang menjadi saksi mata tragedi perusakan orgel gereja dan alat-alat musik sekolah yang didirikan Romo Van Lith itu. Dan seperti kita tahu, di masa pendudukan Jepang, para imam, bruder, suster yang berasal dari Belanda pada ditahan. Banyak yang meninggal ketika ditahan di interniran zaman pendudukan Jepang yang begitu mengenaskan. (Berlanjut)