BAPERAN-BACAAN PERmenungan hariAN
Jumat, 11 Maret 2022.
Tema: Virus Kesalehan.
Bacaan
- Yeh. 18: 27-28.
- Mt. 5: 20-26.
BERMAIN bersama saat kecil, bahkan pergi mencari buah di semak-semak sangat menyenangkan. Ketika itu, tidak ada dipikiran agamamu, agamaku. Apalagi menghina.
Tapi kami tahu, saya Katolik, dia Muslim, dan ada yang Budhis.
Bahkan kami kadang menunggu di pelataran surau, karena teman masih belajar ngaji. Bahkan kadang dipanggil guru ngaji duduk di dalam. Tidak sungkan. Tidak ada rasa takut, rasa sungkan. Tidak punya pikiran apa-apa menanti teman belajar ngaji.
Menyenangkan. Bahkan kami ketawa kalau dia salah.
Gurunya pun tidak marah.
Begitu juga kalau hari Minggu. Mereka nunggu di depan rumah. Kami semua pergi ke gereja. Mereka pun masuk halaman rumah duduk di teras. Kadang ibu memberi mereka minum sirup dan makanan kecil yang ada. Mereka menikmati tanpa sungkan. Kalau mereka disuruh beli sesuatu, mereka pun melakukannya.
Rasa persaudaraan, persahabatan itu lebih besar dari pada rasa agama.
Saya ingat, kami tidak terkotak-kotak. Kami tidak pernah menghina satu sama lain. Yang ada adalah kegembiraan, main kelereng, umpet-umpet; bahkan berjalan bersama.
Saya merasa aman bermain dengan mereka. Kadang ada gesekan ketika main sepak bola atau apa. Tapi tidak masalah.
Kepercayaan religius kami tidak pernah diributkan. Mereka juga tidak pernah kami bicarakan. Urusan masing-masing dan tidak saling mengganggu.
Itulah hebatnya Indonesia di saat masa kecilku. Masa di mana aku beranjak menjadi dewasa dan memandang keberagaman agama menjadi sebuah hal yang baik. Tidak perlu diributkan. Tidak pernah ada provokator atau orang yang mulutnya tidak bersahabat.
Kehidupan beragama yang sangat sederhana jauh dari provokator.
Saya ingat suatu ketika ada seseorang dari luar kota datang di mesjid kampung kami. Bicaranya tidak begitu baik. Justru tetangga yang muslim yang berkeberatan.
Ia minta maaf pada orangtuaku dan berjanji akan lebih seleksi dalam mengundang orang. Sebuah persahabatan yang kental dengan harga diri yang matang.
Pengalaman masa kecil dan keindahan hidup damai, bersama saudara-saudariku yang Muslim membuat aku merasa aman, nyaman di mana pun. Sudah terpateri dalam hati, mereka baik.
Seandainya pun suasana keadaan berubah akhir-akhir ini saya semakin menyadari bahwa hanya orang-orang tertentu yang ingin diakui secara tidak pas.
Mereka ingin tampil ke hadapan publik; ingin mungkin menjadi figur publik. Tetapi mungkin tanggapan yang lain berbeda. Keinginan baik perlu didampingi tidak hanya dengan niat baik tapi perilaku hidup yang baik pula.
Perilaku inilah yang menjadi tolak ukur apakah ia dapat dipercaya; pantas didengarkan.
“Pak, kalau saya lihat kenapa Bapak cara hidupnya, tutur bicaranya dan pergaulannya kok tidak membedakan. Tidak seperti yang saya lihat dan saya dengar akhir-akhir ini.”
“Ah, itu Romo. Ndak usah dilihat Romo. Kami pun tidak begitu setuju. Bagaimana mungkin, kami sesama agama saja dianggap remeh. Seakan mereka yang paling benar.
Tapi saya jamin. Romo akan aman. Gereja Romo akan kami perhatikan. Anak-anak kami pun sekolah di tempat Romo.
Pernah cucu saya juga mendapat beasiswa sampai selesai. Saya melihat Gereja Romo tidak punya motif macam-macam. Selalu ada keprihatinan untuk kaum kecil. Tidak meng-Katolik-kan kok,” tegas seorang tokoh masyarakat.
“Agama itu sarana menjumpai Allah dalam diri sesama,” jelasnya.
“Jika hidup keagamaanmu tidak lebih benar daripada hidup keagamaan Ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, sesungguhnya kamu tidak akan masuk ke dalam kerajaan Allah.” ay 20
Tuhan, mampukan aku menemukan-Mu yang menyejarah dalam kehidupan kami. Amin.