Lectio Divina 20.03.2022 – Biarkan Pohon Itu Tumbuh Setahun Lagi

0
320 views
Biarkan Pohon Itu Tumbuh Setahun Lagi Aku hendak merawat pohon ini semusim lagi, by interruptingthesilence

Minggu. Hari Minggu Prapaskah III (U)

  • Kel. 3:1-8a.13-15.
  • Mzm. 103:1-2.3-4.6-7.8.11.
  • 1Kor. 10:1-6.10-12.

Lectio (Luk. 13:1-9)

Meditatio-Exegese

Aku adalah Aku

Melarikan diri dari Mesir, Musa tinggal di gurun Sinai. Ia menjadi menantu Yitro, imam Median. Dalam keluarga imam itu, Musa hidup sebagai penggembala domba. Saat menggembalakan domba di seberang gurun, ia sampai di Gunung Horeb atau Gunung Sinai.

Gunung ini berperan penting dalam sejarah keselamatan. Di gunung ini Hukum Tuhan diundangkan (Kel. 19) saat Allah menampakkan diri-Nya dengan begitu mengagumkan. Di gunung ini pula Nabi Elia mencari dan bersua dengan Allah (1Raj. 19:8-19).

Malaikat Tuhan menjadi ungkapan yang sering digunakan dengan makan Allah yang menampakkan diri. Dalam kisah-kisah yang lebih kuna (lih. Kej. 16:7; 22:11.14; 31:11.13), setelah malaikat Tuhan berada di tempat penampakan, Allah sendirilah langsung berbicara.

Ia, yang tidak dapat dilihat mata manusia, dapat dijumpai dan hadir dalam diri malaikat Tuhan. Kelak dimulai dari masa para raja, keberadaan utusan Allah yang berbeda dengan diri Allah makin dikenal (bdk. 2Sam. 19:27; 24:16; 1Raj. 19:5,7; dst.).

Api sering menjadi lambang kehadiran Allah (bdk. Kel. 19:18; 24:17; Im. 9:23-24; Yeh. 1:17). Barangkali api menjadi simbol terbaik akan kehadiran Yang Ilahi.

Semak duri, satu dari tanaman yang biasa tumbuh di gurun, terbakar, tetapi tidak hangus. Beberapa penulis merefleksikan semak yang tak dimakan api sebagai lambang Gereja yang terus bertahan walau dilanda pengejaran, pengadilan, bahkan, penghancuran.

Seluruh rincian yang ditulis para penulis suci membantu untuk memahami bahwa perjumpaan Allah dengan Musa terjadi tak hanya melalui hal-hal sederhana dan biasa – gunung, menggembala domba, semak.

Tetapi juga  yang luar biasa – malaikat Allah, api yang tak menghabiskan semak duri, suara Allah.

Saat Musa dipanggil, Allah memanggil namanya, bahkan hingga dua kali, “Musa. Musa.” Perulangan panggilan menandakan makna penting panggilan-Nya, sama seperti saat Allah memanggil Abraham (Kej. 22:11) dan Yesus memanggil Petrus dengan nama aslinya, Simon (Luk. 22:31).

Musa pun harus menanggalkan kasut, karena sadar bahwa Yang Ilahi memanggilnya, sehingga tempat ia harus menemui-Nya pastilah tempat yang kudus. Sabda-Nya (Kel. 3:5), “Tanggalkanlah kasutmu dari kakimu, sebab tempat, di mana engkau berdiri itu, adalah tanah yang kudus.”, solve calceamentum de pedibus tuis; locus enim, in quo stas, terra sancta est.

Banyak penulis Katolik merefleksikan tindakan penanggalan kasut sebagai perendahan diri dan pelepasan seluruh kelekatan di hadapan Allah, “Tak seorang pun dapat dekat dengan Allah atau memandang wajah-Nya jika ia pertama-tama tidak melepaskan diri dari setiap kelekatan pada benda duniawi.” (Glossa Ordinaria In Exodum, 3, 4).

Allah kemudian memperkenalkan diri-Nya sebagai Allah para leluhur Musa: Allah Abraham, Ishak dan Yakub. Musa bukan pendiri agama baru. Ia hanya meneruskan tradisi religius yang wariskan para bapa bangsa, dan menguatkan iman bahwa umat itu dipilih karena pilihan bebas Allah.

Maka, atas kehendak bebas-Nya, Ia bersabda, “Aku telah memperhatikan… Aku telah mendengar … Aku mengetahui…  Aku telah turun untuk melepaskan… (Kel. 3:7-8). Rangkaian tindakan ini tidak melibatkan jasa manusia, umat-Nya ditindas.

Maka Allah menyingkapkan kehendak-Nya, “Untuk melepaskan mereka dari tangan orang Mesir dan menuntun mereka keluar dari negeri itu ke suatu negeri yang baik dan luas, suatu negeri yang berlimpah-limpah susu dan madunya.” (Kel. 3:8).

Negeri yang dijanjikan tidak hanya dimaknai sebagai lokasi geografis, tetapi bermakna suasana ketika Allah menganugerahkan hidup dengan segala kecukupannya (Yoh. 10:10), “supaya mereka mempunyai hidup, dan mempunyainya dalam segala kelimpahan.”, ut vitam habeant et abundantius habeant.

Musa menghadapi kesulitan baru. Ia tidak tahu nama Allah yang mengutus-Nya. Maka, Allah menyingkapkan jati diri-Nya sebagai YAHWE, yang juga ditulis dalam bahasa Yunani atau Septuaginta, εγω ειμι, ego eimi, AKU ADALAH AKU. 

Tidak ada satu pun penjelasan memadai untuk melukiskan Allah. Ia sendiri menyatakan sebagai sahabat para bapa bangsa: Abraham, Ishak dan Yakub.

Ibu Gereja mengajarkan, “Dengan mewahyukan nama-Nya yang penuh rahasia, YHWH: “Aku adalah Dia yang ada” atau “Aku adalah AKU ADA”, Allah menyatakan siapa Dia dan dengan nama apa orang harus menyapa-Nya.

Nama Allah ini penuh rahasia, sebagaimana Allah sendiri juga penuh rahasia. Ia adalah nama yang diwahyukan dan pada waktu yang sama boleh dikatakan sebuah penolakan untuk menyatakan suatu nama.

Tetapi justru karena itu Ia menegaskan dengan cara yang paling baik, Siapa sebenarnya Allah: Yang mengatasi segala sesuatu, yang tidak dapat kita mengerti atau katakan, Yang Mulia tak terbatas.

Ia adalah “Allah yang tersembunyi” (Yes 45:15), nama-Nya tidak terkatakan dan bersama itu pula Ia adalah Allah yang menghadiahkan kehadiran-Nya kepada manusia.” (Katekismus Gereja Katolik, 206).

Kabar tentang orang-orang Galilea dan 18 orang mati ditimpa menara dekat Siloam

Menengok sejarah, pada tahun 63 sebelum Kristus, Kekaisaran Romawi menyerbu dan menduduki Palistina. Pajak dan upeti hasil bumi wajib diserahkan kepada kekaisaran. Selama dua puluh tahun, mulai tahun 57, pecah enam pemberontakan di Galilea.

Rakyat yang tak berdaya rela mengikuti siapa saja yang menjajikan pembebasan dari kewajiban membayar beban pajak dan upeti.

Para pemimpin pemberontakan mengidentifikasi diri dengan tradisi kuna dan sering mengangkat diri sebagai mesias, yang diurapi sebgai raja. Bala tentara Romawi menghancurkan Seforis, ibukota Galilea.

Antara tahun 37 hingga 4 sebelum Kristus, Palestina dikuasai Herodes Agung. Ia memerintah dengan tangan besi dan membasmi semua jenis pemberontakan dengan kejam, di luar batas manusiawi.

Rasa takut menjadikan keadaan seolah damai, seperti damai dalam Pax Romana, kedamaian di bawah panji Romawi.

Dia pula memerintahkan pembunuhan pada kanak-kanak setelah mendengar bahwa Raja orang Yahudi dari wangsa Daud akan lahir di Bethlehem (Mat. 2:16). Masa Herodes Agung adalah masa tenang, tetapi bagi kaum tertindas, ketenangan itu seperti pekuburan. 

Sepeninggal Herodes Agung, anak-anaknya menguasai tiga wilayah Palestina: Yudea, Galilea dan Perea. Pada hari penobatan Arkhelaus menjadi penguasa Yudea, ia membantai 3000 orang di pelataran Bait Allah.

Karena kekejamannya itu, Arkhelaus dilengserkan dan Yudea dijadikan provinsi yang diperintah langsung Kekaisaran Romawi.

Kekejaman menandai masa kanak-kanak Yesus. Dalam sepuluh tahun pemerintahan Arkhelaus, Yesus menyaksikan Palestina mengalami salah satu periode sejarah terkejam.

Pemberontakan pada Kekaisaran Romawi dilakukan juga dengan cara lebih halus. Perlawanan dilakukan melalui seruan untuk memboikot kebijakan dan tidak membayar pajak. Reaksi dari penjajah nampak dalam penyelenggaraan cacah jiwa (Luk 2:1).

Cacah jiwa digunakan sebagai alat untuk memastikan siapa, di mana dan berapa besar pajak harus dibayarkan. Situasi yang tenang dan pemberontakan dalam diam seperti api dalam sekam. Situasi ini menyulitkan setiap orang untuk mempraktekkan Hukum Tuhan dengan benar.  

Gerakan kenabian juga muncul dari tahun 27 hingga 69. Mereka yang mengaku diri sebagai nabi memanggil orang untuk bertobat dan mengubah hidup. Mereka ingin melakukan koreksi atas sejarah mulai dari permulaan.

Mereka mengupulkan orang di gurun (Mrk. 1:4), memulai keluaran baru seperti dinubuatkan Nabi Yesaya (Yes. 43:16-21). Orang pertama yang memulai adalah Yohanes Pembaptis (Mat. 11:9; 14:5; Luk. 1:76), yang mengumpulkan banyak orang (Mat. 3:5-7).

Segera setelah Yohanes, Yesus tampil ke panggung sejarah dan dianggap sebagai seorang nabi (Mat. 16:14;21:11.46; Luk. 7:16).

Seperti Musa, Yesus memberlakukan Hukum Baru di gunung (Mat. 5:1) dan memberi makan ribuan orang di gurun (Mrk. 6:30-44).

Seperti keruntuhan tembok Yeriko dalam 40 tahun (Yes. 6:20), Yesus juga menubuatkan keruntuhan tembok Yerusalem (Luk. 19:44; Mat. 24:2).

Sama seperti para nabi dari jaman kuna, Yesus mewartakan pembebasan bagi mereka yang ditindas dan menetapkan tahun rahmat yang baru (Luk. 4:18-19); meminta para pengikut-Nya untuk mengubah cara hidup (Mrk. 1:15; Luk. 13:3.5).

Sesudah Yesus muncul begitu banyak nabi lain. Maka, pemberontakan, paham tentang Mesias, boikot dan pembangkangan muncul pada saat yang sama.

Para penguasa, Romawi dan wangsa Herodes, termasuk kaum Farisi, Saduki, imam, ahli Kitab selalu waspada pada urusan keamanan negara dan Bait Allah (Yoh. 11:48) dan pemastian pelaksanaan Hukum Taurat (Mat. 23:1-23). 

Mereka tidak mampu membedakan mana nabi dan pemimpin rakyat. Bagi mereka, semua sama saja. Mereka salah memandang Yesus yang dianggap sebagai raja Mesias (Luk. 23:2.5). Gamaliel, guru Saulus, menyamakan Yesus dengan Yudas, sang pemimpin pemberontak (Kis. 5:35-37).

Terlebih, Flavius Josephus, ahli sejarah Yahudi, mencap para nabi sebagi pencuri dan pembohong. Mungkin sekarang mereka dianggap sebagai sampah tak berguna.

Dalam perjalanan ke Yerusalem, banyak orang mengabarkan pada Yesus kekejaman Pontius Pilatus. Wali Negeri Israel ini memerintahkan pasukannya untuk membantai orang Yahudi dari Galilea di pelataran Bait Allah dan mencampurkan darah mereka dengan darah hewan korban.

Tidak diketahui pasti apa penyebab kemarahan sang gubernur Romawi ini dan mengapa ia memilih tempat pembantaian di tempat tersuci bagi kaum Yahudi, Bait Allah. Bagi bangsa Yahudi tindakan politis ini sangat biadab dan melanggar hukum kesucian agama mereka.

Mereka juga menyampaikan kematian 18 orang dekat Siloam. Mereka menjadi korban menara yang runtuh  atau setelah dihantam badai.

Sangkamu

Orang Yahudi saat itu selalu menghubungkan kematian karena kemalangan dan bencana selalu diakibatkan oleh dosa yang diperbuat di masa lalu. Para korban itu pasti berdosa dan kena tulah.

Kitab Amsal mengingatkan bahwa dosa dapat menyebabkan bencana, “Sebab tujuh kali orang benar jatuh, namun ia bangun kembali, tetapi orang fasik akan roboh dalam bencana.” (Ams. 24:16).

Tetapi jikalau kamu tidak bertobat, kamu semua akan binasa atas cara demikian

Yesus justru menggunakan laporan pandangan mata itu untuk menyingkapkan kebobrokan orang Yahudi. Yesus membenci cara pemerintahan yang menindas dengan tangan besi (Mat 20:25) dan menyebut Herodes Antipas sebagai serigala (Luk. 13:32).

Apa yang dimaksudkan-Nya jelas: para pembesar di Galilea. Para orang terpandang di Galilea ternyata menjadi kaki tangan Herodes Antipas, raja wilayah dan bawahan Romawi. Mereka ikut menindas, menghisap dan mengeksploitasi daerah yang subur dan penduduk miskin.

Mereka makmur di atas penderitaan rakyat jelata (bdk. Luk. 16:19-30). Maka, bila para murid-nya berperilaku seperti itu, Ia terus menggemakan sabda-Nya (Luk. 13:3.5), “Tetapi jikalau kamu tidak bertobat, kamu semua akan binasa atas cara demikian.”,Non, dico vobis, sed, nisi paenitentiam egeritis, omnes similiter peribitis.

Demikian juga, para pemuka di Yerusalem menciptakan tata cara pengelolaan ekonomi Bait Allah agar seluruh potensi ekonomi terkait dengan peribadatan dapat mereka kuasai. Menggemakan nubuat Nabi Yesaya dan Yeremia, Yesus dalam kemarahan-Nya mengecam para penguasa Bait Allah dan bawahan mereka, karena mengubah rumah doa menjadi sarang penyamun atau kejahatan (Luk. 19:45-46; Yes. 56:7; Yer. 7:11).

Setiap jengkal tanah yang seharusnya menjadi tempat yang kudus, tempat Allah menampakkan diri-Nya (bdk. Kel 3:5) justru diubah menjadi tempat melakukan pelanggaran atas Hukum Allah, dosa. Bahkan dengan alasan dan tujuan yang seolah-olah suci.

Tuan, biarkanlah dia tumbuh tahun ini lagi

Kebobrokan manusia rupanya telah menyebabkan kejengkelan di pihak Allah. Ia mengharapkan manusia menghasilkan kebaikan, seperti buah ara yang manis, tetapi yang didapatinya adalah kebobrokan.

Manusia, pohon ara yang ditanam di kebun anggur, ternyata tidak menghasilkan apa-apa (bdk. Yes 28:4; Yer 8:13; Hos 9:10), walaupun ditanam di kebun anggur dan rawat dengan baik sampai tua (bdk. Im 19:23-25). Karena tidak menghasilkan apa-apa, pohon ara itu layak ditebang (Luk 13:7).

Akan tetapi, si pengelola kebun anggur menolak perintah untuk menebang. Ia malah meminta supaya pohon itu diberi kesempatan hidup setahun lagi. Ia, bahkan, berusaha keras untuk mencangkul dan memupuk dengan harapan pohon itu berbuah di tahun berikut (Luk. 13:8-9). 

Maka, melalui perumpamaan ini Yesus menyingkapkan kesabaran dan kerahiman  Allah yang tak terbatas. Namun, Ia juga mengingatkan akan pengadilan yang pasti,  cepat atau lambat, akan datang.

Allah datang untuk mengadili manusia, seperti dinubuatkan Nabi Yesaya (Yes. 26:9), “sebab apabila Engkau datang menghakimi bumi, maka penduduk dunia akan belajar apa yang benar.”, Cum resplenduerint iudicia tua in terra, iustitiam discent habitatores orbis.

Setiap murid-Nya harus bertindak benar supaya tidak ditebang (Luk. 13:9). Tindakan yang benar sama seperti menghasilkan buah ara yang manis dan dipersembahkan bagi-Nya, yakni: iman, harapan, kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan,  kelemah lembutan, penguasaan diri (bdk. Gal. 5: 22-23).

Katekese

Tiga kali Tuhan mengunjungi kita pada jaman bapa bangsa, para nabi dan Injil. Santo Agustinus dari Hippo, 354-430 :

“Sangat tepat Tuhan bersabda pada pohon yang tak menghasilkan buah itu, “Sudah tiga tahun aku datang mencari buah pada pohon ara ini dan aku tidak menemukannya. Tebanglah pohon ini! Untuk apa ia hidup di tanah ini dengan percuma!” Tetapi si tukang kebun itu memohon … .

Pohon ara ini adalah umat manusia. Tuhan mendatangi pohon ini pada jaman para bapa bangsa. Rupanya, inilah kunjungan-Nya yang pertama. Ia mengunjungi pohon itu pada masa penerapan Hukum dan para nabi. Inilah rupanya kunjungan tahun kedua.

Kini adalah jaman kita. Melalui Injil, tahun ketiga sudah dimulai. Kini sudah waktunya pohon ini ditebang. Tetapi Dia yang berbelas kasih memohon pada Dia yang berbelas kasih. Ia hendak menunjukkan betapa hati-Nya penuh belas kasih dan kerahiman, maka ia berdiri dihadapan-Nya untuk memohon pengampunan.

“Tuan,” katanya, “biarkanlah dia tumbuh tahun ini lagi. Aku akan mencangkul tanah sekelilingnya dan memberi pupuk kepadanya.” Memberi pupuk merupakan tanda kerendahan hati.  “Aku memberi pupuk kepadanya, mungkin tahun depan ia berbuah”.

Apakah pohon itu akan berbuah, atau, sebaliknya, tidak berbuah sama sekali, Tuannya tetap akan datang dan memisahkannya. Apa yang dimaksud dengan memisahkan? Dalam komunitas sekarang terdapat orang yang baik dan orang yang jahat, seolah-olah mereka membentuk satu kesatuan tubuh.” (Sermon_ 254.3)

Oratio-Missio

Tuhan, kuatkanlah niat hatiku untuk tumbuh dalam kebenaran dan kesucian. Semoga aku tidak menyia-siakan anugerah-Mu. Ajarilah aku untuk selalu menjawab “ya” atas rencana-Mu dan kehendak-Mu dalam hidupku. Amin. 

  • Apa yang perlu aku lakukan supaya hidupku suci?

et si quidem fecerit fructum: sin autem, in futurum succides eam – Lucam 13: 9  

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here