Minggu. Hari Minggu Prapaskah IV (U)
- Yos. 5:9a.10-12
- Mzm. 34:2-3.4-5.6-7.
- 2Kor. 5:17-21.
- Luk. 15:1-3.11-32
Lectio Luk. 15:1-3.11-32
Meditatio-Exegese
Ia menerima orang-orang berdosa dan makan bersama-sama dengan mereka
Bukan hanya kali ini saja Yesus menerima orang berdosa dan makan bersama mereka. Yang termasuk orang berdosa, antara lain: pemungut cukai, pelacur, orang Yahudi yang bekerja bagi Kekaisaran Romawi, orang sakit, dan sebagainya.
Ia memikat hati mereka yang disingkirkan dan dianggap najis, karena Ia merengkuh mereka dan meluapkan kasih-Nya pada mereka. Ia tidak memperhitungkan kenajisan mereka.
Sebaliknya, kaum Farisi dan ahli Kitab merasa cemburu atas perhatian-Nya pada para pemungut cukai dan pendosa. Mereka selalu berupaya merekayasa kematian-Nya (bdk. Mrk. 3:6; Mat. 26:2-5; Yoh. 11:47).
Mereka membutakan mata dan hati menyaksikan pihak lain melakukan kebaikan dan melaksanakan kehendak Allah.
Sikap berbeda ditunjukkan Yesus ketika Ia mengecam para murid-Nya yang melarang pengusiran setan oleh pihak lain atas nama-Nya, “Jangan kamu cegah dia. Sebab tidak seorangpun yang telah mengadakan mukjizat demi nama-Ku, dapat seketika itu juga mengumpat Aku.” (Mrk. 9:39).
Meneladan Yesus, Tuhannya, Santo Paulus bersuka cita saat orang lain juga mewartakan Kristus dan bahkan, bila pewartaan itu dilakukan untuk kepentingan mereka sendiri, bukan kepentingan Kerajaan Allah (bdk. Fil. 1:17-18).
Hidup berfoya-foya
Menjawab pencobaan dari hati dan mulut kaum Farisi, Yesus memaparkan perumpamaan tentang kisah hidup sebuah keluarga yang berlimpah harta. Sang bapa dilukiskan sebagai pribadi yang hatinya diliputi belas kasih.
Ia juga memperlakukan para pembantu dan pekerjanya dengan murah hati. Terlebih, sang bapak mencurahkan seluruh kasih kepada kedua anak laki-lakinya, tanpa batas (Luk 15:11).
Damai di rumah sang bapak luluh lantak ketika si bungsu meminta padanya harta warisan yang menjadi haknya.
Tradisi dan hukum Yahudi, seperti tercantum dalam ketentuan Edersheim, II, 259, menetapkan anak laki-laki sulung menerima dua pertiga dari seluruh harta kekayaan keluarga. Tetapi, ia tidak berhak menuntut hak waris ketika sang bapak masih hidup.
Permintaan anak atas hak waris semasa sang ayah masih hidup memang di luar kewajaran. Barangkali dorongan ini disebabkan karena ia ingin membentuk keluarga dan mengelola rumah tangga sendiri.
Sang bapak bisa saja memberikan bagiannya, karena diperlakukan seperti hukum pengecualian saat ia, misalnya, menyisihkan harta bagi orang asing.
Maka, dalam keadaan wajar, sang bapak tidak perlu memenuhi permintaan anak, sama seperti si anak tidak berhak meminta warisannya saat sang bapak masih hidup.
Namun, bapak yang luar biasa kasihnya pada anak, mengabulkan permintaan si bungsung. Ia mengabaikan pertimbangan adat dan hukum yang membolehkannya hanya memberikan warisan berupa barang bergerak, seperti: kambing, domba, lembu, unta, dan kereta.
Sang bapak bertindak berdasarkan roh kebijaksanaan.
Anak termuda ingin bebas, mandiri dan merdeka dari segala hambatan psiko-spiritual. Pengawasan dan kekangan dari bapak dan si sulung dirasa mengekang jiwa si bungsu.
Maka, yang dibutuhkannya adalah melepaskan segala belenggu dan mengikuti kata hati tanpa hambatan.
Keinginan untuk bebas, mandiri, otonom, merdeka diungkapkan (Luk 15:12), “Bapa, berikanlah kepadaku bagian harta milik kita yang menjadi hakku.”, Pater, da mihi portionem substantiae, quae me contingit.
Sang bapak bertindak bijaksana. Ia melihat gejolak jiwa si bungsu. Walau ia memahami dan sadar akan sikap batin anak bungsunya yang tak tahu terima kasih, ia mengabulkan permintaannya.
Harapannya, apa yang kurang di rumah akan dipenuhi oleh pengalaman si anak, yang belajar menjadi bijaksana di antara orang asing.
Beberapa hari sesudah menerima bagian warisan, si bungsu menjual seluruh harta milik. Bersama seluruh uang yang dimilikinya, ia pergi ke tempat yang jauh. Ia memutuskan seluruh relasi dengan sang bapak.
Sama seperti Adam dan Hawa ketika mereka makan buah dari pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat di tengah taman Eden. Pemisahan dengan Allah ditandai dengan ketelanjangan (Kej. 3:7). Konsekuensi dari keterpisahan dengan Allah adalah hidup tanpa keselamatan.
Cara hidup, ζων, zon dari zao, tanpa keselamatan dilukiskan Santo Lukas dengan ungkapan (Luk. 15:13) ασωτως, asotos, gabungan kata keterangan a, tanpa, σωζω, sozo, menyelamatkan dari setan atau kematian.
Maka, kata asotos searti dan memiliki akar kata yang sama dengan ἀσωτία, asotia, yang digunakan dalam Ef. 5:18 (penuh hawa nafsu); Tit. 1:6 dan 1Ptr. 4:4 (tidak senonoh).
Hidup tanpa keselamatan selalu bermakna hidup jauh dari Allah; menutup diri atas kehadiran-Nya atau tanpa Allah; dan bila mungkin, tiada Allah sama sekali. Tak bisa dipastikan kebenaran atas tuduhan si sulung bahwa si bungsu menghabiskan uang bersama dengan para pelacur, cum meretricibus (Luk. 15:30).
Puncak kehancuran hidup si bungsu terjadi ketika bencana kelaparan melanda seluruh negeri yang ia pilih. Harta telah dihabiskannya. Musnah harapan untuk meminta tolong orang lain.
Di negeri yang jauh, atau di wilayah Kekaisaran Romawi yang merentang dari Afrika hingga Inggris dan Spanyol hingga Turki sekarang, tak ditemukan praktik memberi sedekah kepada orang miskin. Maka Yesus melukiskan keadaan si bungsu yang telah melucuti martabatnya sendiri hingga tingkat yang paling rendah dari pada budak.
Terlebih, saat rasa lapar yang tak tertanggungkan, ia mau tak mau menerima pekerjaan apa pun dari orang yang bukan sebangsanya untuk segenggam makanan pokok. Maka, ia menerima begitu saja tawaran kerja yang paling rendah dan segera memenuhi kebutuhannya: menjaga babi (Luk .15:15).
Menjaga babi sus scrofa, binatang najis (Im. 11:7; Ul. 14:8) karena menjadi sarang cacing pita, bermakna menenggelamkan diri dalam kekafiran paling hina. Si bungsu sama dengan orang Yahudi yang tinggal di daerah Trans-Yordania/Gadara dan menjaga babi milik bangsa lain (bdk. Mat. 8:28-43; Mrk. 5:1-20; Luk. 8:26-39).
Terlebih, setan pun diidentifikasi sama dengan babi, seperti ketika gerombolan Legion meminta ijin untuk masuk dalam tubuh babi sebelum kawanan itu terjun ke dalam danau (Luk. 8:30-31).
Si bungsu hendak makan makanan babi, ampas dan kacang carob, ceratonia siliqua. Jenis kacang-kacangan ini hanya dimakan oleh yang miskin dari yang termiskin untuk bertahan hidup. Tetapi juga, Rabbi Acha, pada tahun 320, berkata, “Ketika orang Israel dipaksa makan kacang carob, mereka harus bertobat.” (lih. Brad H. Young, The Parables: Jewish Tradition and Christian Interpretation. Michigan: Baker Academic, 1998).
Si bungsu tinggal di negeri asing dan keutamaan memberi sedekah sangat jarang dipraktik di antara orang berkebudayaan Yunani dan Romawi. Maka, si bungsu tidak hanya ditolak oleh orang sebangsanya, tetapi juga oleh orang yang bukan Yahudi. “Tidak seorangpun yang memberikannya kepadanya.”, et nemo illi dabat
Rasa lapar di perut memicu rasa lapar terdalam dalam jiwa. Si bungsu mengingat apa yang terjadi di rumah bapaknya. Di sana semua orang, bahkan yang paling rendah dari yang terendah pun diperhatikan, tetapi di tanah orang ia kelaparan, karena ulahnya sendiri (Luk 15:17).
Santo Paus Yohanes Paulus II, mengajarkan, “Dia mengukur dirinya sendiri dengan tolok ukur barang yang telah dijual dan dihamburkannya, yang sudah tak ‘dimiliki’ lagi; sementara pelayan yang dipekerjakan di rumah ayahnya ‘memiliki’ semuanya.
Kata-kata ini, terutama mengungkapkan sikapnya terhadap benda-benda duniawi. Namun, menggali makna terdalam, tersingkap tragedi kehancuran martabat, kesadaran akan jati diri sebagai anak yang terbuang sia-sia.
Pada titik inilah dia membuat keputusan: “Aku akan bangkit dan pergi kepada bapaku dan berkata kepadanya: Bapa, aku telah berdosa terhadap sorga dan terhadap bapa, aku tidak layak lagi disebutkan anak bapa; jadikanlah aku sebagai salah seorang upahan bapa.” (Luk. 15:18-19).
Ini adalah kata-kata yang menyingkapkan makna paling mendasar. Melalui situasi konkrit yang rumit, anak yang hilang menemukan jati dirinya pada saat yang tepat, karena kebodohannya, karena dosa, rasa kehilangan martabat.
Ketika dia memutuskan untuk kembali ke rumah bapanya, ia memohon bapanya untuk diterima – tidak lagi berdasarkan haknya sebagai seorang anak, tetapi sebagai orang upahan.
Nampaknya, pada pandangan pertama, si bungsu bertindak karena kelaparan dan telah terjerumus dalam kemiskinan mutlak. Dorongan batin ini, bagaimana pun, diresapi oleh kesadaran akan kehilangan yang lebih dalam, yakni: karena menjadi pelayan yang dipekerjakan di rumah bapanya sendiri tentu saja merupakan penghinaan besar dan sumber rasa malu.
Meski demikian, anak yang hilang siap menanggung dan mengalami penghinaan dan rasa malu. Dia sadar bahwa dia tidak lagi memiliki hak kecuali menjadi pelayan di rumah bapanya. Keputusannya diambil dengan kesadaran penuh tentang apa yang pantas diterimanya dan apa yang masih bisa ia miliki sesuai dengan norma-norma keadilan.
Justru alasan ini menunjukkan bahwa di dalam lubuk hati terdalam anak yang hilang itu muncul rasa kehilangan martabat; martabat yang mengalir dari hubungan antara anak dengan bapa telah sirna. Dan inilah keputusan yang diambil oleh anak itu.” (Ensiklik Dives in Misericordia, 5).
Ayahnya itu berlari mendapatkan dia lalu merangkul dan mencium dia
Sang bapa dilukiskan sebagai bapa yang penuh belas kasih. Belas kasih menggerakkan sang bapa terus merindukan kehadiran anaknya yang bungsu. Santo Lukas menggunakan ungkapan (Luk 15:20), “tergeraklah hatinya oleh belas kasihan.”, misericordia motus est.
Ia menanti-nantikan anaknya dan kasihnya tak pernah putus (bdk. Tobit 10:7). Maka, sang bapa menerima si bungsu, tanpa syarat.
Melihat si bungsu dari kejauhan, ia langsung menyongsong, menyambutnya. Tindakannya menyingkapkan perendahan diri tak terbatas, seperti dilukiskan Santo Paulus, mengosongkan diri serendah-rendahnya (bdk. Fil 2:5-8). Seharusnya sang anaklah yang segera berlari dan menyongsong sang bapa di teras rumah.
Tak ada tawar-menawar. Sang anak hanya mengaku bersalah. Tiada kata-kata pengampunan. Tetapi, seluruh adegan menyingkapkan belas kasih Tuhan tanpa batas, infinita misericordia Domini.
Dalam audiensi umum, Rabu, 11 Mei 2016, Paus Fransiskus berkata, “… Dalam tiap situasi hidup, aku harus tidak lupa bahwa aku tak pernah berhenti menjadi anak Allah, menjadi anak Bapa yang mengasihiku dan menunggu kepulanganku.
Bahkan, dalam situasi hidup terburuk sekalipun, Allah menungguku; Allah ingin memelukku; Allah mengharapkanku.”
Hanya Allah yang mampu memulihkan seluruh martabat yang rusak karena dosa yang dilakukan si bungsu. Hanya bapa yang bisa mengenakan jubah, στολην, stolen dari kata stola, yang dikenakan orang terhormat (Kej 37:3; Mrk 12:38; Mrk 16:5; Luk 20:46; Why 6:11).
Cincin, δακτύλιος, daktulios, biasa dikenakan di jari manis tangan kanan sebagai simbol kehormatan dan kuasa (Kej 41:42; Est 3:10.12; Yer 22:24). Sepatu, υποδηματα, hupodemata, dibuat dari kulit dan dipakai untuk bepergian.
Kaum miskin dan budak berjalan dengan kaki telanjang. Bahkan, salah satu pekerjaan pelayan/budak adalah membuka tali sepatu (bdk. Luk. 3:16).
Kita patut bersukacita dan bergembira
Dalam audiensi umum, Rabu, 11 Mei 2016, Paus Fransiskus melanjutkan pengajarannya, “Anak yang sulung juga membutuhkan belas kasih. Orang benar, mereka yang merasa diri bahwa mereka benar, juga membutuhkan belas kasih.
Anak ini mewakili kita ketika kita bertanya-tanya apakah kita layak menanggung semua masalah jika kita tidak mendapatkan imbalan apa pun.
Yesus mengingatkan kita bahwa seseorang tidak tinggal di rumah Bapa untuk mendapatkan imbalan, tetapi karena seseorang memiliki martabat sebagai anak-anak yang berbagi tanggung jawab.
Tidak ada “tawar-menawar” dengan Allah, melainkan mengikuti jejak kaki Yesus yang menyerahkan diri-Nya di kayu Salib tanpa batas.
“Anakku, engkau selalu bersama-sama dengan aku, dan segala kepunyaanku adalah kepunyaanmu. Kita patut bersukacita dan bergembira.” (Luk. 15:31-32). Sang bapa berbicara seperti ini kepada anak yang sulung.
Dalam jiwanya hanya ada belas kasih! Anak yang bungsu mengira ia pantas dihukum atas dosa-dosanya; sedangkan anak yang sulung selalu menunggu balasan atas pelayanannya. Kedua saudara itu tidak berbicara satu sama lain; mereka hidup dengan cara masing-masing yang berbeda.
Dan keduanya memiliki cara berpikir yang amat ganjil bagi Yesus: jika engkau melakukan yang baik, engkau mendapat upah; jika engkau melakukan yang jahat, engkau dihukum. Ini bukan cara pikir Yesus. Sama sekali, bukan.
Cara pikir itu dibalik melalui kata-kata sang bapa, “Kita patut bersukacita dan bergembira karena adikmu telah mati dan menjadi hidup kembali, ia telah hilang dan didapat kembali.” (Luk. 15:32).
Sang bapa menemukan anaknya yang hilang, dan sekarang dia juga bisa mengembalikannya kepada saudaranya. Tanpa yang lebih muda, anak yang sulung tak mungkin menjadi “saudara”.
Kegembiraan terbesar bagi sang bapa adalah melihat anak-anaknya mengenali satu sama lain sebagai saudara. Anak-anak itu dapat memutuskan apakah akan bergabung dalam sukacita sang bapa atau menolaknya.
Mereka harus bertanya pada diri sendiri apa yang sebenarnya mereka inginkan dan bagaimana mereka memandang nilai hidup.
Perumpamaan dibiarkan terbuka: kita tidak tahu apa yang diputuskan putra sulung itu. Dan inilah tantangan kita.
Perikop Injil ini mengajarkan kepada kita bahwa kita semua harus memasuki Rumah Bapa dan ambil bagian serta membagikan sukacita-Nya, dalam pesta pertayaan belas kasih dan persaudaraan.
Saudara-saudari, marilah kita membuka hati kita, agar “berbelas kasih seperti Bapa.”
Katekese
Bapa menebus anaknya dengan ciuman. Santo Petrus Chrysologus, 400-450 :
“Kepalanya jatuh di pundak anaknya dan menciumnya. “Beginilah cara sang bapa menghakimi dan menerima anaknya yag hilang; ia tidak memberi anaknya pemukulan melainkan ciuman. Kekuatan kasih mengalahkan dosa.
Sang bapa menebus dosa anaknya dengan menciumnya, dan menghapus kesalahannya dengan memeluknya, agar kejahatan tidak menampakkan wajahnya atau merendahkan martabat anaknya.
Sang bapa menyembuhkan luka batin anaknya, sehingga tak meninggalkan bekas luka atau cacat padanya.
Sabda Tuhan dalam Kitab suci, “Berbahagialah orang yang diampuni pelanggaran-pelanggarannya, dan yang ditutupi dosa-dosanya” (Rm 4:7).” (Sermon 3).
Oratio-Missio
Kami bersyukur kepada-Mu, Tuhan Yesus Kristus, atas seluruh anugerah yang telah Engkau karuniakan pada kami – atas semua derita dan penghinaan yang telah Engkau tanggung demi kami.
Ya, Penebus yang berbelas kasih, Sahabat dan Saudara kami, semoga kami mengenalMu lebih bening, mengasihimu lebih berkobar, dan mengikuti jejakMu lebih dekat, demi keselamatan kami. Amin. (Doa St. Richard dari Chichester, abad ke-13).
- Apa yang perlu aku lakukan dan komunitasku perbuat untuk berbelas kasih seperti Bapa?
epulari autem et gaudere oportebat, quia frater tuus hic mortuus erat et revixit, perierat et inventus est – Lucam 15:3