Renungan Harian
Rabu, 06 April 2022
Bacaan I: Dan. 3: 14-20. 24-25. 28
Injil: Yoh. 8: 31-42
DALAM sebuah pertemuan seorang bapak mensyeringkan pengalaman bagaimana dia menghidupi imannya
“Beberapa tahun yang lalu, saat masih muda, saya sering galau atau over thinking – istilah anak muda sekarang. Saya galau dengan iman saya; saya sering bertanya mengapa saya mesti beriman dan mengapa saya mesti menjadi orang Katolik.
Saya beriman dan menjadi Katolik bukanlah pilihan saya, karena saya dibaptis saat saya masih bayi. Artinya ketika sadar bahwa saya orang Katolik ya karena memang dari dulunya saya sudah dibaptis.
Saya sering menyebut diri sebagai orang beriman karena warisan. Saya dididik menjadi orang katolik yang baik oleh orangtua. Sejak kecil saya sudah diajari mana yang boleh dan mana yang tidak boleh saya lakukan sebagai orang beriman Katolik; juga berkaitan dengan benar dan salah, baik, dan buruk.
Dalam perjalanan hidup saya, sering kali saya membuat pilihan-pilihan berdasarkan ajaran-ajaran yang telah diwariskan oleh orangtua. Saya lebih memilih ini daripada itu karena menurut ajaran orangtua, sebagai orang Katolik saya harus memilih yang ini bukan yang itu. Tetapi sesungguhnya kalau saya ditanya mengapa yang ini harus dipilih, saya tidak bisa menjawab selain bahwa apa yang saya pilih sesuai dengan ajaran orangtua.
Suatu saat teman baik saya mempertanyakan tentang iman saya. Mengapa saya harus mengimani iman saya ini sementara dengan mengimani iman ini membuat hidup saya begini- begini saja.
Berkali-kali saya mendapatkan tawaran untuk hidup lebih baik dan kedudukan lebih baik dengan syarat saya mau meninggalkan iman saya. Saya tidak pernah menerima tawaran itu karena ajaran yang saya terima seperti ini.
Sementara teman saya yang berani meninggalkan imannya sekarang hidup lebih mapan dan mendapatkan kedudukan yang lebih baik.
Itulah yang selalu muncul dalam pergulatan hidup saya. Mengapa saya tidak meninggalkan iman saya, toh dengan meninggalkan iman saya, saya tetap mengimani Tuhan hanya caranya dan jalannya yang berbeda.
Saya seperti dilemparkan dalam kegelapan dan kesunyian saat seperti itu. Pertanyaan yang selalu muncul dan membayangi adalah apa yang saya dapat dengan beriman seperti ini?
Pertanyaan teman saya yang agak mendalam adalah: “Kamu mengimani imanmu tidak hanya hidupmu yang begini-begini saja tetapi kamu tidak menjadi lebih baik atau lebih suci.”
Saya mencari jawab atas pertanyaan itu dalam diri saya dengan merasa-rasakan apa yang saya alami.
Hal pertama yang saya lakukan adalah mencoba menghilangkan pikiran dan bayangan bahwa saya adalah orang beriman warisan. Saya mencoba meneliti semua pertimbangan-pertimbangan yang menghasilkan keputusan untuk tetap bertahan dengan iman saya.
Saya mencoba meneliti perasaan-perasaan yang muncul saat keputusan itu sudah saya ambil dan membandingkan dengan akibat-akibat yang saya terima dan alami. Melalui pergulatan panjang akhirnya saya menemukan bahwa saya beriman dan tetap beriman bukan karena saya ingin mendapatkan ini dan itu.
Saya membuat keputusan-keputusan bukan karena supaya mendapatkan pahala atau karena ajaran orangtua; meski ada sedikit bayang-bayang itu; tetapi karena keyakinan saya dengan pilihan saya akan iman yang sekarang saya hidupi.
Saya beriman Katolik dan tetap mempertahankan iman saya, karena saya menemukan bahwa dengan mengimani iman ini saya merasa damai, saya merasakan selalu mendapatkan kekuatan untuk menjalani hari-hari saya. Memang secara ekonomi saya tidak menjadi mapan dan mendapatkan kedudukan seperti teman saya, pun juga saya tidak menjadi lebih baik atau lebih suci.
Tetapi dengan tetap begini-begini saja hidup saya menjadi tentram dan saya bahagia. Saya tidak menjadi lebih baik dan suci tetapi dengan iman saya menuntun saya untuk hidup lebih baik dan berharap menuju pada kesucian.
Hal penting bagi saya dengan beriman membuat diri menjadi lebih bahagia dan selalu punya kekuatan untuk berharap.
Mungkin hidup saya ke depan tidak begini-begini saja tetapi lebih sulit, namun tidak membuat saya kehilangan kebahagiaan dan harapan,” bapak itu menutup sharingnya.
Sebagaimana sabda Tuhan hari ini sejauh diwartakan dalam Kitab Daniel: Sadrakh, Mesakh dan Abednego tidak meninggalkan iman mereka, meski Allah tidak menyelamatkan dari hukuman.
“Jika Allah kami yang kami puja sanggup melepaskan kami, Ia akan melepaskan kami dari perapian yang menyala-nyala itu, dan dari dalam tanganmu, ya Raja. Tetapi seandainya tidak, hendaklah Tuanku mengetahui, bahwa kami tidak akan memuja dewa Tuanku, dan tidak akan menyembah patung emas yang tuanku dirikan itu.”