Gegeran Ikatan Dokter, Jadi Ingat Dokter Tjiam di Semarang

0
1,047 views
Ilustrasi - dokter melayani di daerah terpencil. (ist)


IZINKAN saya membuat pernyataan-sangkalan (disclaimer). Saya tak bermaksud terlibat dalam hiruk-pikuk organisasi IDI.

Pertama, saya tak paham hal-ikhwal perseteruan yang sedang berlangsung di sana. “Saya ngga gaduk”.

Kedua, itu urusan internal. Silakan diselesaikan dengan cara yang saksama dan dalam tempo sesingkat-singkatnya. Cerdik-cendekia niscaya mampu menyelesaikan masalah asal tetap dengan rendah hati.

Ketiga, pendapat dan komentar apa pun dari eksternal, hanya sedikit bisa mempengaruhi situasi dan keputusan di sana.

Namun, gonjang-ganjing ini membawa manfaat. Saya jadi teringat dengan seseorang dokter yang banyak berjasa kepada keluarga saya khususnya dan masyarakat Semarang umumnya. Namanya Dokter Tjiam Tjoan Hok.

Bapak dan ibu saya bersahabat baik dengan Dokter Tjiam dan ibu. Beliau dokter keluarga kami. Saya tak sempat menanyakan bagaimana mereka bisa kenal dan lebih-lebih berelasi cukup dekat. Tahu-tahu, setiap bertemu mereka akrab.

Dokter Tjiam menjadi tumpuan kami sekeluarga bila sedang sakit. Saya sering naik becak bersama bapak atau ibu untuk berobat ke rumah praktik beliau di Jalan Dokter Tjipto, Semarang.

Sebentar dilakukan pemeriksaan, sambil kadang-kadang menggoda saya. Nasihat-nasihat ringan pun disampaikan. Tak lama, badan sehat kembali. Padahal belum minum obat atau apalagi disuntik.

Beberapa kali saya berangkat dari rumah dalam keadaan demam. Tak tahu berapa derajat suhunya. Badan menggigil, batuk-pilek dan sakit menggelayut di kepala.

Begitu sampai di rumah praktik Dokter Tjiam dan saya meloncat turun dari becak, tiba-tiba badan merasa sehat. Suhu normal, batuk-pilek mereda dan sakit kepala hilang entah ke mana. Mungkin hanya gara-gara melihat plang Dokter Tjiam yang bertengger di pagar rumah beliau. Tak hanya pil atau kapsul, komunikasi dan relasi juga mampu menghilangkan sakit.

Luar biasa dan mengejutkan.

Ibu saya bingung mau mengeluh apa. Sakit anaknya tak lagi terasa.

Kemudian, seperti biasa, mereka ngobrol ke sana kemari, saya tak paham isinya, hanya menangkap sedikit. Maklum, semuanya dalam Bahasa Belanda. Yang pasti, bapak atau ibu saya tak perlu membayar untuk proses penyembuhan yang canggih dan cepat ini.

Bila saya coba rangkaikan ingatan saya, sulit membandingkan proses penyembuhan pasien yang dilakukan Dokter Tjiam dengan yang terjadi sekarang.

Dokter Tjiam mendiagnosa dan mengobati dengan naluri dan kemampuan intrinsik. Hanya sekali-kali menggunakan bantuan laboratorium, radiologi dan dukungan peralatan medis lainnya. Maklum, segala proses pendukung belum mudah didapat.

Keadaan ini “memaksa” Dokter Tjiam untuk selalu mengasah feeling dan naluri akan penyakit yang diderita pasiennya. Berpuluh-puluh tahun hingga kompetensi medisnya dalam mendiagnosa dan mengobati pasien menjadi setingkat “dewa”.

Di lain pihak, begitu peralatan dan keahlian pendukung semakin canggih, maka kemampuan itu mereda. Kini, cara mengobati lebih bergantung ke berbagai proses pendukung.

Kemampuan piawai “tersembunyi” seperti yang dimiliki Dokter Tjiam, makin lama makin menipis. Tentunya tak salah kalau sekarang para dokter lebih mengandalkan hasil pemeriksaan pendukung. Lebih akurat, pengobatannya pun lebih tepat.

Tapi apa pun, dunia kedokteran Indonesia tak boleh begitu saja meninggalkan kompetensi berbeda yang (dulu) pernah berjaya. Mereka harus terus mendorong para anggotanya untuk menguatkan kemampuan (lain) seperti kisah Dokter Tjiam, zaman dulu.

Ada kompetensi berbeda yang harus juga diasah. Gunakan daya dan upaya semaksimal mungkin untuk sebanyak mungkin kemaslahatan masyarakat. Memang berbeda, tetapi bukan sia-sia.

Jangan lupa. Indonesia memiliki banyak sekali dokter inspiratif seperti Dokter Tjiam. Beratus-ratus atau mungkin beribu-ribu. Kompetensinya beraneka ragam, Caranya bermacam-macam. Mereka bekerja bahkan berjuang dalam diam, dalam sepi. Namanya tidak gemebyar.

Minim fasilitas, miskin penghargaan, tapi terus berkarya untuk mewujudkan salah satu tujuan organisasi profesi, yaitu meningkatkan kesehatan rakyat Indonesia menuju masyarakat sehat dan sejahtera. Itulah tujuan yang pertama dan utama, kemaslahatan masyarakat.

Dokter Tjiam sudah tiada. Beliau wafat pada tahun 2004, dalam usia 93 tahun. Beristirahatlah dalam damai Tuhan.

Salah satu tokoh pendiri Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Semarang dan RS Rumani, Semarang ini meninggalkan pusaka (legacy) mendalam. Pesan bahwa proses penyembuhan medis mempunyai banyak cara dan kemampuan. Jangan keminter.

Lumrah kalau kadang berbeda. Terus rangkul dan eratkan barisan. Kita tidak hanya butuh berjalan cepat tapi juga perlu berjalan jauh.

Alone a youth runs fast, with an elder slow, but together they go far.” (Luo Proverb)

@pmsusbandono
5 April 2022

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here