Yoh 13:31-33a.34-35
REKAN-rekan yang budiman,
Yoh 13:31-33a.34-35 yang dibacakan pada hari Minggu Paskah V Tahun C ini memuat pesan-pesan terpenting Yesus kepada murid-murid-Nya.
Boleh dikata, ini juga warisan terbesar bagi mereka yang telah mengikutinya, mendengarkan ajarannya, menyaksikan tindakan-tindakannya bagi mereka yang membutuhkan pertolongannya
Perjamuan Terakhir
Kata-kata Yesus yang disampaikan Yohanes dalam Injil hari Minggu (15/5/2022) diucapkan pada waktu makan malam yang penghabisan kalinya bersama murid-murid-Nya.
Pada kesempatan itu, Yesus mengatakan bahwa salah seorang dari mereka akan menyerahkan-Nya (Yoh 13:21-30).
Hubungan guru-murid yang hingga saat itu baik kini mulai diganggu kekuatan gelap. Kelompok ini tidak lepas dari kelemahan manusiawi juga.
Murid-murid bengong dan Petrus meminta Yohanes (“murid yang dikasihi”) bertanya siapa yang dimaksud.
Yesus menjawab bahwa dia yang akan diberinya roti sesudah dicelupkannya, itulah orangnya.
Kemudian, ia memberikan roti itu kepada Yudas Iskariot. Tapi juga dikatakan dalam Injil Yohanes bahwa sesudah itu Yudas kerasukan Iblis (Yoh 13:27).
Bagi Yohanes, Yesus sadar betul akan hal ini. Yesus berkata kepada Yudas agar ia segera pergi melakukan apa yang hendak diperbuatnya.
Dan Yudas pun keluar. Murid-murid tidak menangkap arti kejadian itu. Mereka mengira Yesus menyuruh Yudas, pemegang kas mereka, untuk pergi membeli sesuatu.
Sebuah catatan mengenai Yudas. Ia kerasukan Iblis justru pada saat Yesus memberinya roti yang sudah dicelup, artinya makanan yang siap untuk disantap yang diberikan oleh tuan rumah kepada orang yang diundangnya.
Sampai saat itu, Yesus masih menganggap Yudas orang sendiri, termasuk keluarga, yang diajak makan bersama.
Namun justru pada saat itulah kekuatan gelap yang melawan Yesus membadan dalam diri seorang manusia. Dan bukan sebarang orang, melainkan orang yang amat dekat dengan-Nya.
Yohanes menceritakan ini selang lama, setelah peristiwa itu. Tetapi baginya jelas, itulah saatnya Iblis memakai cara-cara manusiawi juga untuk masih berusaha menggagalkan kehadiran ilahi di tengah-tengah manusia. Menarik diperhatikan perkembangan pergulatan antara dua kekuatan ini.
Yang Ilahi memakai ujud manusia untuk menjalankan karya penebusan. Kekuatan-kekuatan yang melawan karya ilahi itu kini juga memakai ujud manusia juga. Dan bukannya keduanya tidak saling mengenal. Justru mereka amat dekat satu sama lain.
Tidak perlu drama ini kita anggap alegori bagi hubungan antar manusia yang tak selalu ideal. Tak perlu juga kita terapkan pada kehidupan batin yang sering digambarkan sebagai kancah perebutan pengaruh baik dan buruk.
Maksud Injil lain. Yohanes menyampaikannya untuk menunjukkan bagaimana kekuatan-kekuatan gelap itu bisa juga memakai cara-cara yang dipakai Allah sendiri.
Ini bisikan Yohanes bagi pembacanya, bagi kita. Agar kita semakin memahami kenyataan yang kerap kali tidak mudah dilihat.
Meneruskan kepandaian
Petikan hari ini mulai dengan menyebut “setelah Yudas pergi” (Yoh 13:31).
Keterangan ini amat penting. Yudas yang sudah kerasukan Iblis itu tidak lagi ada di situ, ketika Yesus berkata-kata mengenai Anak Manusia yang dimuliakan dan mengenai Allah yang dimuliakan di dalam dia.
Juga Yudas tidak mendengar perintah baru yang diberikan Yesus kepada murid-murid untuk saling mengasihi “seperti halnya” dia sendiri mengasihi mereka. (Makna “seperti halnya” masih akan diuraikan di bawah.)
Dengan perginya Yudas dari kumpulan itu hendak dikatakan bahwa dalam saat-saat itu, Iblis tidak hadir mengancam kelompok tadi.
Kata-kata Yesus mulai saat itu boleh diterima para murid tanpa khawatir dikelirukan oleh kekuatan-kekuatan yang bisa mengalihkan maksudnya.
Orang kini mengalami suasana yang bersih dari kekuatan jahat. Semua yang dikatakannya dari saat itu hingga nanti ditangkap di sebuah taman di seberang Sungai Kidron (Yoh 18) bebas dari kehadiran yang jahat – ini visi rohani Yohanes Penginjil.
Dalam saat-saat yang khusus inilah, Yesus menyampaikan perintah baru tadi.
Bagaimana kita dapat memahami peristiwa ini lebih lanjut?
Hubungan guru-murid dalam Injil Yohanes lebih mendapat penekanan dibanding dengan Injil-injil lain. Bahkan dapat dikatakan, Injil Yohanes berpuncak pada ungkapan perhatian seorang guru kepada murid-murid-Nya.
Penulis Injil yang menyebut diri sebagai “murid yang dikasihi” ini merasa ditugasi secara khusus menyampaikan perihal perhatian Yesus kepada murid-murid-Nya hingga saat-saat terakhir bersama mereka.
Dialah satu-satunya murid yang memperoleh hidup panjang sehingga sempat menyampaikan hal itu kepada banyak orang dalam Injil-Nya.
Perjamuan Terakhir ialah semacam perpisahan sebelum Yesus pergi kepada Bapa-Nya untuk menyiapkan tempat di atas sana.
Apa yang bakal diperbuat seorang guru dalam saat-saat terakhir?
Ia akan mengajarkan pengetahuan-Nya yang paling dalam, menurunkan “ilmunya” yang paling andal kepada murid-murid-Nya. Memang murid-murid belum amat siap.
Namun waktu sudah mendesak. Yang bisa dilakukan akan dilakukannya. Tetapi hal ini bakal tidak bisa terjadi, bila ada murid yang tak pantas dan tak bakal kuat menanggung pemberian itu.
Oleh karena itu, Yudas dijauhkan terlebih dahulu, dipisahkan. Dan memang dengan dikuasai oleh kekuatan-kekuatan yang melawan Yesus, ia sudah tidak ada bersama dengan mereka yang lain.
Jadi inilah saat-saat para murid untuk sementara terlindung dari pengaruh jahat tadi. Nanti mereka akan berbaur lagi dalam keadaan di mana ada kekuatan jahat.
Di sinilah saat satu-satunya yang mungkin untuk menyampaikan hal yang paling besar yang bisa disampaikannya bagi mereka.
Boleh jadi murid-murid belum dapat segera menghayati. Tak apa. Masih ada kesempatan untuk berlatih dan mendalaminya nanti.
Di sini diberikan yang pokok-pokok, tetapi yang paling dalam. Dan Yesus juga memberikan yang paling nyata bagi kehidupan sehari-hari: saling mengasihi.
Acap kali kita mendengar para guru dan tokoh mistik di dunia ini, termasuk para tokoh kebatinan Jawa yang murni, mewariskan ilmu kepada murid-muridnya. Yang mereka berikan biasanya amat sederhana, sehari-hari, dan lumrah.
Namun yang sederhana itu berisi kekuatan yang maha hebat yang dapat menyingkirkan daya-daya gelap yang mengurung kemanusiaan.
Inilah yang diturunkan Yesus kepada murid-muridnya saat itu.
Kekuatan untuk apa?
Apa sebenarnya daya-daya gelap yang paling hebat dan yang paling menakutkan?
Bukan penguasa jahat yang menindas. Bukan pemeras. Paling susah ditangkal ialah kekuatan-kekuatan yang sudah lama merasuk di dalam diri manusia dalam ujud kecenderungan yang mau meniadakan kemanusiaan sendiri.
Yesus Sang Guru itu mengantar manusia mengenal Tuhan yang disebutnya sebagai Bapa dan mengajarkan bagaimana hidup terus di tengah-tengah daya-daya gelap itu: dengan saling mengasihi.
Lihat juga Yoh 15:17.
Bagaimana saling mengasihi itu dapat dibahasakan bagi orang sekarang?
Sepenanggungan, solidaritas, boleh jadi sebuah gagasan yang bisa membantu. Maksudnya orang mau saling menanggung kesulitan.
Bila ada solidaritas, orang mulai mudah saling percaya. Dan bila orang mulai makin saling percaya, hubungan-hubungan selanjutnya bisa terbangun.
Juga kesulitan pun menjadi perkara yang tidak lagi membuat putus asa.
Inilah bagian “pengetahuan” terakhir yang diturunkan Yesus Sang Guru kepada murid-murid-Nya.
Lain sama sekali dari pengetahuan kebal yang membuat orang tak mempan pelor, tapi badar bila disabet daun kelor, atau susuk yang mesti nanti dilepas.
Yang diwariskan Yesus itu ialah keyakinan untuk bersama-sama memperbaiki kemanusiaan, mulai dengan cara kecil-kecilan, dengan saling memberi perhatian.
Yang tampaknya enteng ini bisa sukar dijalankan. Dan memang Yesus mengatakan demikian. Dalam Yoh 16:12-15 terang-terang dikatakan bahwa masih banyak yang akan diturunkannya, tetapi murid-murid belum kuat menanggungnya. Ia tidak mempunyai banyak waktu lagi.
Tetapi nanti ia akan mengirim Roh Kebenaran, dan Roh ini akan menuntun mereka mendalami pengetahuan kebenaran itu.
“Seperti Aku mengasihi kalian”
Sering ungkapan “seperti” itu dipahami sebagai “dalam cara sama” atau “dengan jalan seperti”.
Namun cara berungkap aselinya sebenarnya lebih dekat dengan gagasan “karena”.
Perintah saling mengasihi diberikan justru karena Yesus mengasihi mereka. Kurang mengena, bila ditafsirkan sebagai “dengan kasih seperti yang kupunyai bagi kalian”.
Siapa yang bisa mengasihi seperti Dia?
Kita bisa mencoba meniru mau memberikan diri seutuhnya. Tapi dapatkah berbuat seperti Dia?
Adalah godaan besar bagi orang yang dekat dengan-Nya untuk mau menjadi seperti dia. Ini tidak diminta-Nya.
Kita bisa saja menjadi pahlawan cinta kasih, tetapi tidak menjadi murid Yesus.
Yesus sendiri tidak pernah mau mencoba menjadi Allah. Ia diangkat oleh Allah yang disebut Bapa-Nya itu menjadi Tuhan bagi manusia.
Tidak perlu kita menginginkan dan mengusahakan klonasi rohani Yesus dalam batin kita. Nanti kisruh. Bisa-bisa orang akan saling mengklaim yang tidak-tidak walaupun dengan maksud baik apapun
Kreativitas dan keleluasaan
Bila ditimbang-timbang, kita justru akan merasa lebih tenteram bila tidak diminta menjalankan kasih sayang dengan cara persis seperti yang dilakukan Yesus.
Kasih sukar dijabarkan menjadi serangkai ukuran atau model belaka.
Ini justru kebesaran perintah saling mengasihi tadi. Kita diminta menemukan jalan-jalan baru yang belum terpikirkan sebelumnya.
Ini kemanusiaan baru. Inilah yang menunjukkan Tuhan tetap mengasihi manusia. Dan pengajaran yang diturunkan kepada murid-murid tadi itu juga bisa menjadi warisan bagi kita juga.
Setiap orang dapat menghidupkan apa itu kasih kepada sesama dengan pelbagai cara. Kreatif. Orisinil. Bukan jiplakan belaka.
Dapat dipelajari, walau tidak dapat begitu saja diterapkan seperti sebuah pola, norma, atau aturan.
Memang orang dapat merasakan bila tidak ada atau bila kehadirannya samar-samar belaka.
Namun bila hadir, kreativitas saling mengasihi itu akan membuka wilayah-wilayah kehidupan baru.
Salam hangat,
A. Gianto