LAJU perkembangan teknologi informatika begitu cepat, dan diperkirakan semakin pesat beberapa tahun ke depan.
Menurut survei Opera, jumlah perangkat telepon seluler yang digunakan untuk internet di seluruh dunia mencapai 1,3 miliar unit, sedangkan yang menggunakan “personal computer” menembus angka 1,5 miliar unit.
Survei tersebut memprediksikan pada 2015 jumlah pengguna ponsel akan membengkak menjadi dua miliar unit, sementara PC tumbuh menjadi 1,7 miliar unit.
Kredibilitas hasil survei itu cukup diperhitungkan mengingat jumlah respondennya mencapai 34.000 orang yang tersebar di 22 negara dari empat benua. Rentang waktunya juga cukup panjang, dari November 2010 hingga November 2011.
Bagaimana di Indonesia? Sebuah riset dari MarkPlus Insight menunjukkan penggunaan internet terus tumbuh. Pada 2010, menurut riset itu, pengguna internet di kota urban masih 30 persen-35 persen, setahun kemudian meningkat menjadi 40 persen-45 persen.
Kota urban dimaksud adalah Jakarta, Bodetabek (Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi), Surabaya, Bandung, Semarang, Medan, Makassar, Denpasar, Pekanbaru, Palembang dan Banjarmasin. Respondennya adalah pengguna internet berusia 15-64 tahun dan menggunakan internet lebih dari tiga jam sehari.
Di tengah pesatnya laju teknologi informatika itu, muncul kegelisahan berbagai kalangan. Misalnya, saat menyambut Hari Anak Nasional (HAN) 2012 pada Minggu (1/7) pemerhati hak anak dari Yayasan Sahabat Kapas, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Kabupaten Sukoharjo, dan Komunitas Mahasiswa Peduli Anak Sukoharjo (Kompas) menggelar aksi prihatin.
Dalam aksi itu mereka menyoroti perkembangan teknologi internet yang dianggap bisa memberi dampak buruk terhadap perkembangan fisik dan psikis anak-anak.
“Kami menerima banyak keluhan bahwa anak-anak mereka kecanduan internet dan game online. Dampak buruknya berimbas pada kesehatan fisik maupun mental anak-anak,” kata Dian Sasmita, koordinator Yayasan Kapas, saat berbincang-bincang dengan wartawan di sela aksi prihatin tersebut.
Apa dampak buruk dimaksud? Menurut Dian, perkembangan anak usia tujuh hingga 18 tahun mengalami berbagai gangguan. Secara fisik, syaraf mata relatif gampang rusak akibat paparan cahaya dari radiasi komputer. “Ginjal dan lambung mereka ternyata juga terpengaruh akibat banyak duduk, kurang minum, dan lupa makan karena asyik bermain,” kata Dian.
Dari sisi mental, pencandu internet dan game online jadi terisolasi dari pergaulan nyata. Akibatnya mereka tumbuh menjadi generasi antisosial.
Parahnya lagi, lanjut Dian, para pencandu internet tersebut juga berpotensi memperlihatkan perilaku agresif karena terpengaruh tontonan dan permainan yang mereka jalankan.
Jadi, kata Dian, jika memperhatikan dampak buruknya, sebenarnya internet tu merupakan ancaman bagi anak-anak. Apalagi bila orang tua mereka sibuk, ancaman itu kian besar.
Oleh karena itu Dian mengimbau para orang tua untuk melakukan sejumlah tindakan preventif agar dampak buruk itu bisa ditekan sekecil mungkin. Anak-anak diarahkan untuk memanfaatkan internet bagi kegiatan positif.