MANUSIA mendambakan hidup yang damai. Itulah yang tersimpan dalam lubuk hatinya.
Dunia pewayangan melukiskannya sebagai suatu masyarakat tiga T (“tata, titi, tentrem“). Ungkapan itu menunjukkan bahwa manusia mencita-citakan suatu keadaan yang tertib, tenteram, dan sejahtera. Damai terselip di antaranya.
Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 alinea IV menegaskan bahwa bangsa Indonesia membentuk negara antara lain untuk ikut menciptakan perdamaian dunia.
Manusia memang tidak hanya mencita-citakan negara dan dunia yang damai. Mereka juga bertanggung jawab untuk mewujudkannya. Hingga kini upaya itu belum sepenuhnya berhasil. Perang masih terus terjadi.
Sungguhkah manusia dapat mewujudkan damai itu hanya dengan mengandalkan kemampuannya sendiri? Agak pesimis, jawabannya.
Rupanya manusia itu menyimpan kegelisahan di dalam dirinya. Tanpa bantuan Tuhan, sulit manusia yang demikian itu bisa menciptakan damai yang permanen.
Sabda Tuhan Yesus menjadi sangat relevan di tengah situasi itu. “Damai sejahtera Kutinggalkan bagimu. Damai sejahtera-Ku Kuberikan kepadamu, dan apa yang Kuberikan tidak seperti yang diberikan oleh dunia kepadamu. Janganlah gelisah dan gentar hatimu.” (Yoh 14: 27)
Di tengah usahanya menciptakan damai yang tidak permanen itu, manusia memang perlu terus meminta agar dianugerahi damai oleh Tuhan. Hanya bila menerimanya, manusia akan sungguh menikmati damai sejati. Benar demikian kan?
Selasa, 17 Mei 2022