Hanacaraka, Merenungkan Aksara Alfabetik Jawa

0
641 views
Ilustrasi - Tulisan dengan huruf bahasa Jawa. (Ist)

ORANG atau etnis Jawa salah satu suku yang cukup khas kalau tidak bisa disebut istimewa di Nusantara ini. Karena ada:

  • Pulau Jawa.
  • Suku bangsa Jawa.
  • Bahasa Jawa
  • Aksara Jawa

Tidak semua suku bangsa atau bangsa memiliki keempat itu. Tentu saja ini bukan bermaksud merasa diri paling hebat di Nusantara ini.

Kali ini, mari mencoba menggali, membongkar, mencari makna (ndhuhuk-ndhudhah-ninthingi) aksara Jawa. Tentu saja dalam memaknainya tetap multi tafsir, siapa pun bisa memaknainya sesuai dengan persepsi dan penghayatan masing-masing.

20 huruf atau aksara Jawa

Ada 20 aksara Jawa. Semua berstatus “nglegena wuda” (telanjang tanpa tandha), dan semua dalam bentuk “suwara menga” (vokal a).

Huruf Jawa dalam bentuk “nglegena” siap “disandhangi” (diberi pakaian) untuk bisa berbunyi vokal lain atau menjadi konsonan/huruf mati.

Menggambarkan bahwa khasanah orang Jawa selalu terbuka menerima masukan dari mana pun termasuk dari manca negara. sejauh tidak menghilangkan jati diri manusia Jawa.

Ha-na-ca-ra-ka

Kita mulai dengan huruf: “ha-na-ca-ra-ka“.

Kalau dibaca secara utuh sebagai kalimat (sintaktis) akan berbunyi “Hana caraka“. Artinya ada utusan.

Dalam iman Katolik, Tuhan mengutus Putera-Nya yang tunggal menjadi penebus dunia ini. Sebab Allah mengutus Anak-Nya ke dalam dunia bukan untuk menghakimi dunia, melainkan untuk menyelamatkannya oleh Dia. (Yoh 3:17).

Meskipun kedatangan-Nya sebagai utusan akan menimbulkan perbantahan, supaya menjadi nyata pikiran hati banyak orang. (Lk 2:35).

Berikutnya: “da-ta-sa-wa-la“.

Dibaca sebagai kalimat berbunyi “Data sawala“.

Dapat berarti “datan suwala” atau tidak menyanggah, siap sedia, meski pengutusan itu mengandung banyak risiko sulit, sakit bahkan kematian.

Lihatlah kisah Yesus terutama di dalam menjelang dan sengsara-Nya.

Dalam kemanusiaannya, Yesus tetap memohon memohon kalau bisa dibebaskan dari perutusann-Nya: ”Ya Bapa-Ku, jikalau Engkau mau, ambillah cawan ini dari pada-Ku; tetapi bukanlah kehendak-Ku, melainkan kehendak-Mulah yang terjadi.” (Lukas 22:42).

Namun serta merta saat itu dalam ketaatan-Nya yang penuh menyatakan bukan kehendak diri-Nya, melainkan kehendak Yang Mengutus.

Kemudian: “pa-dha-ja-ya-nya“.

Sebagai kalimat terbaca “Padha jayanya“. Artinya sama kejayannya, keduanya sama kedudukan-nya sama hakikat-Nya.

Satu kesatuan Allah Bapa Allah Putera Allah Roh Kudus, bukan konsep numeralis.

Dikisahkan dalam keraguan Filipus yang ingin melihat Allah Bapa dengan mata telanjang mata jasmani, Yesus menegaskannya “Barangsiapa telah melihat Aku, ia telah melihat Bapa; bagaimana engkau berkata: Tunjukkanlah Bapa itu kepada kami. (Yohanes 14:9b).

Bahkan selanjutnya Yesus menantangnya (Jawa: nanting), karena sudah sekian lama Filipus bersama Yesus dan ditanya sekali lagi “Tidak percayakah engkau, bahwa Aku di dalam Bapa dan Bapa di dalam Aku?” ( Yohanes 14:10a)

Lima huruf terakhir: “ma-ga-ba-tha-nga“, terbaca kalimat “Maga bathanga“. Yang artinya “Mangga bathangku“.

Inilah mayatku, jenazahku. Ini menjadi puncak risiko, karena menjadi “caraka” utusan, dalam “datan suwala” dalam ketaatan, tidak mengelak dan di dalam kesamaan dan kesatuannya dengan Allah Bapa.

Semua risiko sakit, sengsara dan kematian pun dijalani-Nya, sampai titik darah penghabisan, sebagai perjanjian baru dengan darah-Nya, yang ditumpahkan bagi manusia. (Lih. Yohanes 22:20b).

Sebagai utusan yang taat yang sederajat dengan penyerahan total-Nya, sampai sehabis-habisnya.

Untuk menolong manusia, Yesus menjadi manusia, berkumpul dengan manusia yang ditebus dan dikasihinya, meski di sanalah Dia harus mengakhiri hidupnya sebagai manusia dan dengan rela meyerahkan nyawa-Nya: “Ya Bapa ke dalam tangan-Mu, Kuserahkan nyawa-Ku.” (Lukas 23:46b).

Tulisan ini bisa dikatakan “othak-athik mathuk“, diolah sana-sini biar cocok.

Saya hanya seorang awam yang “adoh ratu cedhak watu“, jauh dari hirarki dan hanyalah orang desa.

Renungan ini sebenarnya hasil “jagongan” sharing bersama seorang tokoh umat dan masyarakat, pandhemen budaya di sebuah paroki pedusunan dan perbukitan pada tahun 1978.

Salam semoga penuh berkat dan menjadi berkat! Amin. Berkah Dalem

Sor Blimbing, 02062022
Anton Suparnjo

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here