SEORANG teman yang telah lama terhubung tiba-tiba ngajak chatting. Menanyakan kabar dan tugas pengutusan saya saat ini. Dan komunikasi pun berlanjut beberapa hari kemudian dan bulan-bulan berikutnya.
Syering tentang kehidupan keluarganya. Menyenangkan. Ia begitu semangat membagi segala hal yang dia alami. Turut bahagia membaca segala hal tentangnya dan keluarganya.
Teman
Bulan Juni 2021, kesehatannya menurun drastis. Beberapa kali kami -dia dan saya- janjian berdoa di jam yang sama, meski tempat terpaut jarak yang sangat jauh.
Kami memohonkan kesembuhan dan kekuatan baginya untuk menghadapi situasi sakitnya. Setiap kali akan kemoterapi, sehari atau beberapa hari sebelumnya, ia memberi kabar. Dan saya akan berdoa untuknya, saat proses kemoterapinya berlangsung.
Juli 2021, kami adakan video call. Ditemani suaminya dan saya, saat itu sedang menunggu rekan suster yang sedang sakit.
Betapa terkejutnya saya melihat fisiknya yang berubah drastis. Tentu saja ekspresi wajah tetap senyum dan tidak menunjukkan keterkejutan saya. Ia menjadi kurus, kulit menghitam, kemampuan berbicara melambat.
Ia mengeluh dirinya sendiri, bahwa dia payah, tidak kuat, kalah. Ia begitu gelisah. Sebentar berdiri, sebentar duduk.
“Aku kesakitan…Aku tak tahan… Aduh….Aduh…,” begitu rintihannya berkali-kali.
Saya tetap melihatnya dan terus berdoa untuk dia. Dan suaminya yang begitu setia mendampinginya, mengikuti apa yang dia inginkan.
Hanya untuk mencari agar dia bisa nyaman. Tak ada percakapan lain, saat kami video call. Hanya melihat, mendengar rintihannya dan mendoakan dia.
Momen menyayat hati.
Dari syering bersama suaminya, segala obat peringan rasa nyeri sudah tak mempan lagi. Dari dosis rendah hingga yang tahap akhir.
Betapa sakitnya sakitmu, teman.
Tega benar kanker ini. Lalu apa lagi yang bisa bantu dia mengurangi rasa sakitnya?
Akhir hidup
Kita tak pernah tahu bagaimana dan ke arah mana jalan hidup seseorang. Apa yang akan terjadi. Hanya Tuhan yang tahu dan paham tata letak situasi dan peta hidup.
Membaca, mendengarkan, syering hidup teman membuat kami semakin kuat berharap pada Tuhan. Berusaha tanpa henti disertai doa tanpa henti.
Saat-saat sulit, membuat rasa sedih semakin tertanam dalam. Kepahitan semakin memeluk erat.
Dalam kesakitannya, teman saya tidak menyerah seperti yang dia ungkapkan. Ia tetap berjuang menjalani hari-harinya.
Terakhir, ia terbaring video call dengan saya. Dan meminta saya untuk menghubungi romo parokinya. Kami bertiga berdoa bersama. Ia begitu bahagia.
Beberapa hari kemudian, teman berpulang ke rumah Bapa.
Kami merasa bersyukur menemaninya di saat-saat kesakitannya dan beberapa kali berdoa bersama setiap kali mengalami perubahan kesehatannya.
Tak abadi
Mengenang kembali pengalaman bersamanya membuat berpikir dan merenungkan tentang segala hal yang diperjuangkan dan dipertahankan.
Jabatan, materi, status dalam masyarakat, gengsi, kepandaian, proyek-proyek besar dan hebat, karya-karya yang membuat orang lain berdecak kagum adalah sia-sia.
Saat menghadapi sakrat maut, tak ada satu pun yang diperjuangkan dan dipertahankan itu menjadi obat penyembuh dan pegangan untuk tetap sehat dan hidup.
Nafas yang bisa dihitung, tersengal, nafas yang tak lagi panjang hingga ke perut tinggal sampai di dada dan di tenggorokan, tinggal menunggu waktu untuk aktifitas itu berhenti. Sampai menit ke berapa dan detik ke berapa.
Segala sesuatunya tak ada yang abadi.
Kerahiman ilahi
Berdoa dan berdoa, berharap dan semakin kuat percaya. Memohon kepada Sang Empunya hidup. Bak pengemis yang duduk bersimpuh memohon kepada Tuan.
Berharap mendapatkan belas kasihan, kemurahan hati.
Mendoakan Kerahiman Illahi mengantarkan mereka berpulang kepada Bapa. Memperoleh rahmat pengampunan dosa dan kebahagiaan di surga.
Menerima janji Yesus. Keselamatan jiwa.
Kiranya jiwa-jiwa mengalami ketenteraman dan kebahagiaan abadi di surga, karena kerahiman ilahi.