PAKAR hukum yang juga Ketua Asosiasi Filsafat Hukum Indonesia (AFHI) Prof Bernard Arief Sidharta menilai, hukuman pada dasarnya diberikan untuk mendidik seseorang yang melakukan kejahatan agar kehidupannya menjadi lebih baik di kemudian hari.
“Kenapa seseorang pelaku kejahatan harus dihukum? Sebab, untuk membuat pelaku menjadi lebih baik. Karena itu, penerapan hukum harus melihat situasi konkrit yang melingkupi permasalahan,” kata Guru Besar Universitas Katolik Parahyangan Bandung itu di Semarang, Selasa.
Hal tersebut diungkapkannya di sela Konferensi Nasional Ke-2 AFHI dengan mengangkat tema “Filsafat Hukum dan Kemajemukan Masyarakat Indonesia” selama dua hari pada 16-17 Juli 2012 di Universitas Katolik Soegijapranata Semarang.
Menurut Sidharta, filosofi pemidanaan memang seperti itu, bukan semata untuk membalas dendan, namun harus disesuaikan dengan bobot kesalahan si pelaku, serta memberikan pelajaran dan efek jera agar tak menjadi lebih jahat.
“Dalam beberapa kasus, seseorang yang sebelumnya tidak jahat setelah dihukum penjara justru menjadi jahat, bahkan lebih jahat. Karena itu, filosofi pemidanaan perlu diperhatikan, tidak asal menghukum seseorang yang melakukan kejahatan,” katanya.
Ia mencontohkan kasus Minah yang dipidana karena mencuri tiga buah kakao, kalau filosofi pemidanaan diterapkan dengan baik tentunya tidak perlu kasus itu sampai membuat Minah dihukum, bahkan permasalahan itu tidak perlu diajukan ke muka hukum.
Selain itu, ia mengatakan bahwa hukum yang diterapkan di Indonesia harus melihat realitas kemajemukan masyarakat, termasuk adanya keragaman hukum-hukum rakyat lokal yang harus dilindungi dan dikembangkan.
“Unifikasi hukum yang dibuat harus bertumpu di atas keragaman yang dimiliki bangsa ini,” kata Sidharta.
Senada dengan itu, pakar hukum Universitas Tarumanagara Jakarta Dr Shidarta mengatakan bahwa pendekatan positivistik bukan satu-satunya, melainkan satu dari sekian model sudut pandang mengenai penerapan hukum.
Dalam satu kasus, kata dia, penyelesaian dengan pendekatan positivistik mungkin tepat, tetapi dalam menghadapi kasus yang lain bisa jadi pendekatan itu tidak tepat dan butuh pendekatan lain dalam menyelesaikannya.
“Karena itu, bergantung pada hakim sebagai pengambil keputusan. Apakah hanya berpandangan secara positivistik, atau memilih pendekatan hukum yang lain dalam menyelesaikan suatu kasus,” katanya.