Janji, Komitmen dan Pengurbanan

0
338 views
Ilustrasi - Ini bukti nyata, bukan semata-mata hanya janji. (Ist)

SEUSAI cari buku di Gramedia, Bintaro Plaza, saya bertemu teman yang lama tak jumpa. 

Wajahnya terlihat gundah dan duduk gelisah di teras lobi belakang.

Namanya Kusmin, pria setengah baya, mantan teman sekolah. Dia tinggal dekat situ.

Karena sedang senggang, saya menemaninya mengobrol ala kadarnya.

Kusmin sedang menunggu relasinya. Mereka punya janji untuk bertemu satu jam lalu. Sampai saat itu, yang ditunggu belum tiba, ponselnya tak bisa dikontak.

Satu jam kemudian, atau dua jam setelah waktu perjanjian lewat, Kusmin menerima pesan singkat. 

Relasi yang ditunggu-tunggu urung datang. Pembatalan sepihak begitu saja, dengan alasan yang tak jelas.

Kusmin kecewa berat. Relasinya berputar lidah.

Drama yang mirip dialami Kusmin, makin banyak terdengar dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat kita.

Janji diingkari, dibatalkan sepihak, ditunda seenaknya, terlambat, sering tanpa berita apa pun, bertambah sering terdengar. Lebih-lebih setelah era media sosial .

Mundur waktu satu jam atau lebih, di rapat atau pertemuan, dianggap lumrah.  

Terlambat janji seolah tak bersalah. Padahal banyak orang dirugikan karenanya.

Sebetulnya, fenomena ini sudah terdengar sejak tahun 1970-an. 

Paling tidak, telah didendangkan oleh penyanyi terkenal Indonesia, Bob Tutupoly.

Bob yang baru saja wafat dalam usia 82 tahun, mempopulerkan lagu manis, judulnya Tinggi Gunung Seribu Janji”.

“Memang lidah tak bertulang.

Tak berbekas kata-kata.

Tinggi gunung seribu janji.

Lain di bibir lain di hati.”

Bob benar. Lidah memang tak bertulang. Kata atau kalimat mudah ditarik kembali, atau diubah sesuka hati. 

Menepati janji bukan perkara mudah. Ia membutuhkan kemestian yang kuat, dan kepatuhan yang ketat. Sering harus mengalahkan kepentingan diri, agar janji, yang sudah kadung dibuat bisa ditepati. Tapi, itulah janji. Ia wajib ditunaikan.

Meski mungkin tak punya kekuatan hukum, janji mempunyai kewajiban moral dan etis. Ingkar janji punya risiko sampai di atas sana.

Janji adalah utang. (Dan utang adalah janji). Itu pepatah yang diajarkan kala saya duduk dibangku SMP. Ia harus dilunaskan, dengan cara apa pun, sampai kapan pun.

Kini, janji tak lagi sakral. Ingkar janji dianggap biasa dan “pertunjukan” harus dilanjutkan.

“Business as usual and the show must go on”.

Lebih jauh dari itu, menepati janji adalah batu fondasi dari trust

Sementara trust adalah pondasi membangun relasi. Perlakuan terhadap janji menjadi ciri dari si pembuatnya. 

Janji dengan atasan, atau orang yang berpengaruh, tak akan  sedetik pun terlambat, apalagi dibatalkan. Ada rasa hormat di sana. 

Terhadap orang yang tidak berpengaruh, janji mudah ditekuk, dan disimpan di kantong celana. Ia mudah luntur, gampang dikubur, sepele digusur.

Toh risiko dan konsekuensinya nyaris tidak ada. Di situlah sikap menggampangkan terbaca dengan gamblang. Penghargaan terhadap seseorang bisa dilihat dari bagaimana dia memenuhi janji. Kalau ingkar, itu tanda meremehkan.

Celakanya, dunia semakin materialistis.  Penghargaan terhadap sesama lebih didasarkan pada hal-hal yang kasat mata.

“Banyak uang adinda sayang, tak ada uang adinda melayang”.

Saat seseorang bukan siapa-siapa, jamak bila yang semula menghormatinya, kemudian mencibirnya. Rasa hormat hilang entah ke mana. Pemenuhan janji pun menjadi urusan nomer ke sekian. 

Bob Tutupoly kecewa melalui lagunya. Kusmin bermuram durja di lobi belakang mal Bintaro Plaza. Gara-gara relasinya mangkir, rencananya porak-poranda. 

Karena punya janji, dia harus mengelola banyak konsekuensi. Tak sedikit, melainkan berlapis sampai ke mana-mana. Acara lain diatur ulang. Bisnis lain harus disesuaikan. Tak sangka kalau usaha dan jerih payah itu sia-sia.     

Bob Tutupoly mengkritisi agar meski tak bertulang, jangan mudah menekuk lidah.

Tak hanya Bob yang mengingatkan. Sebelumnya, teks lain juga jauh-jauh hari juga sudah mengajarkan bahwa menyangkal kesepakatan dan ingkar janji adalah tanda-tanda orang munafik. Mari kita berusaha mengikutinya, agar hidup mulia di hadapan Tuhan.

Menepati janji membutuhkan perjuangan. Perlu komitmen yang kuat, bahkan juga pengurbanan.  Hindari egois, dengan menyepelekan lawan janji, siapa pun dia. Tuhan tidak suka.

Tapi di atas semua itu, ada satu kata yang pantas disematkan bila kita menepati janji, yaitu “kehormatan”.

“Promise require commitments which often demand sacrifices. But on top of it all is honor”. (AM)

@pmsusbandono

25 Juli 2022

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here