Minggu. Hari Minggu Biasa XXV (H)
- Am. 8:4-7.
- Mzm. 113:1-2.4-6.7-8.
- 1Tim. 2:1-8.
- Luk. 16:1-13.
Lectio (Luk. 16:1-13)
Meditatio-Exegese
Aku tidak akan melupakan untuk seterusnya segala perbuatan mereka
Kemakmuran yang diukur dari angka penghasilan, laba perdagangan, kenaikan pajak dan petunjuk ekonomi lain, ternyata menyembunyikan praktik kejahatan dan ketidakadilan. Di balik kemakmuran Kerajaan Utara, persekutuan 10 suku Israel, Nabi Amos melihat pemberontakan melawan keadilan yang menjadi inti perjanjian antara Allah dengan umat.
Sang peternak domba dan pemungut buah ara hutan (Am 1:1; 7:14) dipanggil dan berkarya untuk mengingatkan dan mengajak bangsa itu kembali pada Perjanjian Sinai pada zaman Raja Yerobeam II, 783-743, dan Amazia menjadi imam di Betel.
Nabi Amos menyuruh orang Israel untuk memberikan perhatian akan kehendak Allah. Mereka harus bertindak sesuai dengan perjanjian dengan Allah. Seruan-seruannya diikuti dengan pesan yang diungkapan dalam gaya bahasa sarkastik dengan makna yang jelas dan tak perlu penafsiran. Maka, ia berseru, “Dengarlah ini.”, Audite hoc.
Nabi terang-terangan mengecam kebobrokan yang melanda Kerajaan Utara. Hampir seluruh tulisan nabi berisi kecaman dan penghukuman atas perilaku tidak adil (Am. 3:1-9:10). Kebobrokan yang dilakukan bangsa itu pasti diikuti penghukuman yang akan diterima.
Dalam nubuat tentang penghukuman terhadap Israel, nabi menyingkapkan alasan penghukuman. Para petinggi kerajaan dan pemimpin umat membungkam suara kebenaran dan merampas keadilan yang menjadi hak kaum miskin, “mereka menjual orang benar karena uang dan orang miskin karena sepasang kasut (Am. 2:6), pro eo quod vendiderit argento iustum et pauperem pro calciamentis.
Mereka abai pada kebutuhan mereka yang kelaparan (Am. 2:6-7). Mereka melanggar kekudusan perkawinan dengan melakukan perkawinan sedarah dan pelacuran (Am. 2:7). Tanpa malu mereka melakukan kejahatan di hadapan Allah dan melupakan kebaikan Allah yang telah mereka terima.
Mereka melupakan Allah yang membebaskan dari perbudakan Mesir, memberikan tanah terjanji (Am. 2:10) dan mengutus para nabi dan kaum nazir – orang yang membaktikan hidup bagi Allah – untuk menuntun bangsa Israel setia pada perjanjian dengan-Nya (bdk. Kel. 34:10-35).
Ibadat mereka meriah dengan lagu merdu dan persembahan yang harum, tetapi Allah tidak berkenan pada peribadatan yang munafik itu (Am. 4:4-5). Namun, bangsa itu sombong, tak tahu terima kasih, dan hukuman akan dijatuhkan.
Saat penghukuman dijatuhkan, seluruh bangsa terkena tanpa kecuali dan tak seorang pun mampu melarikan diri atau menahannya (Am. 2:14-16).
Bulan baru menandai hari pertama dalam bulan pada penanggalan Yahudi. Pada hari itu umat harus mempersembahkan persembahan khusus seperti diatur dalam Im. 28:11-15. Nampaknya umat di Kerajaan Utara tidak bekerja atau berdagang pada hari ini, walau hukum Musa memperbolehkan.
Pada hari Sabat dan hari pertama dalam bulan, seluruh bentuk pekerjaan dan dagang dilarang, kecuali untuk kebutuhan yang sangat mendesak atau darurat. Hukum yang ditetapkan Tuhan seharusnya dilaksanakan, tetapi yang ditemukan dan dikecam nabi adalah keengganan untuk melaksanakan.
Mereka selalu menggerutu dan tak sabar menanti Sabat berlalu, agar dapat melanjutkan transaksi yang penuh dengan tipu daya terhadap kaum miskin. Mereka sudah mengabaikan tujuan untuk menguduskan hari Sabat dan menyembah Allah.
Saat berdagang, efa, takaran untuk hasil panen kering – terutama gandum, dikecilkan, saat mereka menjual gandum atau jelai pada kaum miskin. Sebaliknya, ukuran itu akan diperbesar bila para tengkulak membeli hasil panen.
Barang berkualitas buruk dijual setara harga barang denan kualitas baik. Tetapi saat membeli, diberlakukan sebaliknya. Ukuran baku 1 efa setara dengan 22 liter. Hal yang sama dilakukan pada syikal, tolok ukur untuk perak dan emas. Uang perak yang harusnya standar, diperbesar permukaannya, tetapi berat dikurangi. Maka, kaum miskin tetap tidak akan mendapatkan keuntungan.
Timbangan palsu dan penipuan dalam perdagangan dikutuk keras dalam tradisi Kitab Suci. Kitab Ulangan menulis bahwa praktik dagang dengan dua macam timbangan merupakan “kekejian bagi TUHAN, Allahmu.” (Ul. 25:13-16). Para imam dan raja bertanggungjawab untuk memastikan praktik ini tidak terjadi melalui penegakan hukum.
Santo Gregorius dari Nazianze, Bapa Gereja, menulis, “Kita harus tidak membaktikan seluruh hidup untuk pengumpulan uang dan harta benda saat terdapat begitu banyak orang lain berjuang untuk bertahan hidup di tengah kemiskinan yang mengiris jiwa.
Maka kita harus menggemakan peringatann yang diwartakan nabi Amos: Dengarlah ini, kamu yang menginjak-injak orang miskin, dan yang membinasakan orang sengsara di negeri ini dan berpikir: “Bilakah bulan baru berlalu, supaya kita boleh menjual gandum dan bilakah hari Sabat berlalu, supaya kita boleh menawarkan terigu dengan mengecilkan efa.” (De pauperum amore [Oratio, 14], 24).
Memang, Allah berjanji bahwa Ia akan mengingat orang yang melakukan keadilan, mengasihi, dan kemurahan-hati menghapus dosa. “Api yang bernyala-nyala dipadamkan air, dan dosa dipulihkan kedermawanan. Barangsiapa membalas dengan cinta ingat akan hari depan, dan ia mendapat sandaran pada waktu terjatuh.” (Sir. 3:30-31).
Tetapi, ketika manusia meninggalkan-Nya, menginjak-injak orang miskin, membinasakan orang sengsara, dan melakukan kecurangan, ia harus mengingat sabda-Nya (Am. 8:7), “Aku tidak akan melupakan untuk seterusnya segala perbuatan mereka!”, Non obliviscar in perpetuum omnia opera eorum.
Disampaikan tuduhan: bendahara itu menghamburkan miliknya
Tokoh utama perumpamaan ini adalah si bendahara, οικονομον, oikonomos. Padanya dituduhkan telah menghamburkan harta. Si bendahara bertindak sama dengan cara si bungsu menggunakan harta warisan ayahnya, “ia memboroskan harta miliknya dengan hidup berfoya-foya.” (Luk 15:13).
Santo Lukas menggunakan kata διασκορπιζων, diakorpizon, dari kata dasar: diaskorpizo, memboroskan, menghambur-hamburkan. Maka si bendahara, yang seharusnya mengelola harta sang tuan, ternyata mencederai kepercayaan itu.
Ia dipercaya Ia seharusnya bekerja demi meraih keuntungan yang sebesar-besarnya bagi tuannya, sama seperti yang dilakukan Yusuf di rumah Potifar (Kej. 39:1-6). Sang tuan tidak langsung menuduh bahwa ia menyalah gunakan uangnya. Tetapi tindakan selanjutnya menunjukkan terjadinya penipuan itu.
Ada orang yang akan menampung aku di rumah mereka
Sang bendahara harus mempertanggung jawabkan perhitungan, λογον, logon, dari logos, atas harta atau pembukuan tuannya. Sang majikan masih memberi kelonggaran untuk mempertanggung jawabkan harta yang diboroskan.
Maka, karena masih memegang pembukuan, ia masih bisa melakukan tindakan legal atas nama tuannya. Pada momen inilah, sang bendahara berpikir, menimbang apa yang akan terjadi padanya, “Apakah yang harus aku perbuat? Tuanku memecat aku dari jabatanku sebagai bendahara. Mencangkul aku tidak dapat, mengemis aku malu.” (Luk. 16:3).
Akhirnya, dengan cerdik ia mempersiapkan masa depannya. Ia ingin hidupnya tertap terjamin karena dipekerjakan, walau dengan upah yang lebih rendah. Penuh keyakinan bendahara itu berkata pada diri sendiri, “Aku tahu apa yang akan aku perbuat, supaya apabila aku dipecat dari jabatanku sebagai bendahara, ada orang yang akan menampung aku di rumah mereka.” (Luk. 16:4).
Lalu, ia membuat pembukuan baru. Ia membuat surat hutang baru yang mengurangi pinjaman. Yang berhutang 100 tempayan minyak menjadi 50 tempayan. Yang berutang 100 pikul gandum menjadi 80 pikul (Luk. 16: 5-7). Dengan cara ini, atas nama majikannya, ia bertindak murah hati, penuh pengampunan.
Tidak hanya sang majikan dan bendaharanya dipuja-puji para penghutang. Si bendahara dapat berharap salah satu menampungnya di rumah. Akhirnya, si bendahara dipuji atas cara menyelamatkan diri dan menjamin hidupnya di masa depan.
Yesus melukiskan tindakan bendahara itu (Luk. 16:8), “Lalu tuan itu memuji bendahara yang tidak jujur itu, karena ia telah bertindak dengan cerdik. Sebab anak-anak dunia ini lebih cerdik terhadap sesamanya dari pada anak-anak terang.”, Et laudavit dominus vilicum iniquitatis, quia prudenter fecisset, quia filii huius saeculi prudentiores filiis lucis in generatione sua sunt.
Yesus tidak memuji bendahara itu atas perbuatannya yang tidak jujur. Ia memuji karena kemampuannya mempersiapkan masa depannya sendiri dengan cara membebaskan sesama dari hutang.
Ia percaya pada mereka yang berutang, pada gilirannya, akan memperlakukannya sebagai sahabat dan membalas dengan belas kasih, kebaikan dan kemurahan hati di saat ia mengalami kesulitan.
Setelah menyampaikan perumpamaan ini, segera Yesus menyerukan para muridnya untuk menggunakan harta benda duniawi untuk melepaskan diri dari kesulitan dan di masa sulit, termasuk ‘uang yang dianggap kotor’. Dalam tradisi Yahudi uang itu disebut ‘mamon’ yang tidak jujur.
Dalam Kitab Suci kemurahan hati selalu dikaitkan dengan amal kasih – membagikan segala sumber daya keuangan dan benda pada mereka yang miskin (Luk. 12:33). Kaum miskin menjadi sahabat, karena para murid murah hati pada mereka pada saat tersulit.
Dan Allah, yang melihat segalanya, menerima mereka yang murah hati dengan membantu sesama, seperti sabda-Nya (Luk, 16:9), “Kamu diterima di dalam kemah abadi.”, recipiant vos in aeterna tabernacula.
Kemurahan hati pasti diganjar setimpal. Santo Augustinus dari Hippo, 354-430, mengingatkan, “Walaupun kamu memiliki harta melimpah ruah, kamu tetap miskin. Kamu terlekat pada harta milik sementara; tetapi kamu membutuhkan harta yang abadi.
Kamu mendengarkan kebutuhan seorang pengemis, dan kamu sendiri adalah pengemis pada Allah. Apa yang kamu lakukan pada mereka yang meminta padamu adalah apa yang akan dilakukan Allah pada mereka yang mengemis pada-Nya.
Kamu kenyang dan kamu lapar. Kenyangkanlah sesamu dari apa yang kamu miliki, agar kehampamaanmu dapat dipenuhi oleh Allah dari kelimpahan-Nya.” (Sermon 56, 9).
Santo Paulus mengingatkan, “Sebab kita tidak membawa sesuatu apa ke dalam dunia dan kitapun tidak dapat membawa apa-apa ke luar.” (1 Tim 6:7). Yesus meminta kita menggunakan seluruh sumber daya yang Ia anugerahkan.
Karena hidup itu pendek, tiap murid Tuhan diingatkan untuk terus menaburkan kebaikan. Supaya ketika Ia membangkitkan tubuh yang fana, Ia menerima tiap laki-laki dan perempuan dalam kemah-Nya.
Santo Ambrosius, uskup Milan abad ke 4, berkata, “Hati kaum miskin, rumah para janda, mulut anak-anak adalah tempat penyimpanan harta yang bertahan sampai kekal.” Harta yang sejati bukan apa yang disimpan, tetapi apa yang diberikan. Benar, harta milik patut dipelihara dengan penuh tanggung jawab.
Ikatlah persahabatan dengan mempergunakan Mamon yang tidak jujur
Kata Yunani μαμωνα, atau Latin mamona dalam Luk. 16:9 dan Luk. 16:13 bermakna kekayaan atau uang. Kata Yunani-Latin itu berasal dari kata Aram mammon, yang berarti kekayaan duniawi atau uang. Kata ini digunakan Yesus dalam pengajaran tentang harta duniawi dan penyalahgunaan harta, seperti disingkapkan dalam Mat. 6:19-21. 24; Luk. 16:6. 11.13.
Uang atau mamon sering disebut ‘tidak jujur’ karena diperoleh dengan cara tidak halal, bahkan ketika sampai di tangan orang yang jujur. Maka, uang seharusnya digunakan untuk meraih harta yang tidak bisa dirusak ngengat atau karat atau dicuri.
Tujuan akhir hidup pengikut Yesus adalah Allah, “kamu diterima dalam kemah abadi.” (Luk. 16: 9). Salah satu cara yang dapat digunakan adalah bersahabat dengan Mamon, jabatan dan uang. Kedua hal itu tidak pernah bisa dilepaskan dari hidup manusia sepanjang sejarah.
Jabatan dan uang selalu bersifat netral. Tetapi di hati manusia, keduanya bisa mengantarnya pada kemah abadi atau pada kegelapan yang tak berkesudahan. Bendahara cerdik yang menggunakan jabatannya untuk berlaku murah hati pada yang berhutang pada tuannya, agar “ada orang yang akan menampung aku di rumah mereka.” (Luk. 16:4).
Orang Kristen ditantang untuk bersikap bijaksana dan cerdik dalam mengendalikan jabatan dan uang. Ia harus mampu mengelola jabatan dan uangnya agar tidak penah menjadi tuhan dan tujuan hidupnya.
Apabila ia tidak tamak, ia pasti mampu menerima dan merangkul semua orang. Maka, uang dan jabatan dapat digunakan secara bijaksana untuk menjadi sarana agar diterima di kemah abadi (Luk. 16: 9).
Seorang hamba tidak dapat mengabdi kepada dua tuan
Yesus menyimpulkan perumpamaan-Nya dengan ajaran tentang apa atau siapa yang mengatur hidup seseorang. Siapa yang menjadi tuan atas hidup seseorang. Siapa tuan atau penguasa atas hidupmu?
Tuan adalah dia yang mengatur atau mengendalikan hidup manusia. Sang tuan adalah siapa atau apa saja yang membentuk cita-cita, mengarahkan apa yang ideal, dan mengendalikan keinginan di hari dan nilai yang dihayati.
Tiap pribadi bisa diatur dan dikendalikan oleh banyak hal berbeda – kerakusan akan uang atau harta milik, kuasa jabatan, harta milik dan prestise, gelegak keinginan tak teratur dan apa yang menyebabkan kecanduan atau ketergantungan. Maka, pilihan harus diambil: Allah atau mamon.
Katekese
Memandang seperti Sang Guru. Paus Fransiskus, Buenos Aires 17 Desember 1936
“Ketika aku mendapati seseorang tidur di muka pintu rumahku pada malam yang dingin, aku dapat saja memandangnya sebagai gangguan, penyerobot, pengganggu jalan masuk, perusak pemandangan, salah satu masalah politik, atau, bahkan, selembar penolakan yang memenuhi ruang publik.
Atau, aku dapat menanggapinya dengan iman dan kasih, dan memandang pribadi ini sebagai manusia yang memiliki martabat sama seperti martabatku sendiri, makhluk yang secara rak terbatas dikasihi oleh Allah, citra Allah, saudara atau saudari yang ditebus oleh Yesus Kirstus.
Inilah jalan menjadi seorang Kristiani! Dapatkah kesucian dipahami di luar pengakuan akan martabat manusia yang kita jumpai dalam hidup sehari-hari?” (Seruan Apostolik, Bergembiralah dan Bersukacitalah, Gaudete Et Exsultate, 98).
Oratio-Missio
Tuhan, segala sesuatu yang aku miliki adalah pemberian dariMu. Semoga aku mengasihiMu dan tumbuh menjadi pribadi yang murah hati. Bantulah aku untuk menjadi pengelola harta benda dan sumber daya yang bijaksana dan setia, termasuk dalam mengelola waktu, uang dan seluruh harta milik. Amin.
- Apa yang perlu diperbuat agar kelak Allah akan menampung aku di rumah-Nya?
Et laudavit dominus vilicum iniquitatis, quia prudenter fecisset – Lucam 16:8