Sarana Bukan Tujuan

0
459 views
Ilustrasi

Sabtu, 5 November 2022

  • Flp. 4:10-19.
  • Mzm. 112:1-2,5-6,8a,9.
  • Luk. 16:9-15.

KESETIAAN dan ketekunan kita pada hal-hal kecil dan sederhana itu meneguhkan sekaligus menyiapkan kita untuk setia dalam hal-hal besar.

Kehidupan kita ini merupakan jalinan kisah yang terangkai sedikit demi sedikit seperti seorang anak yang sedang menyusun parsel.

Pola kehidupan kita pun akan terbentuk sedikit demi sedikit sementara kita berjalan dalam tahap demi tahap melewati waktu dan kesempatan, sambil menjawab panggilan Allah hari demi hari.

Meskipun demikian, kita sering lupa akan makna ini. Kita cenderung ingin segala sesuatu berlangsung dengan cepat dan dilakukan dengan sesegera mungkin.

Bahkan, saat kita ingin mencari kehendak Allah, kita sering tidak sabar untuk segera melakukannya.

“Ada suatu keterkaitan erat antara hidup rohani kita dengan bagaimana cara kita memandang dan mengelola uang dan harta kita,” kata seorang ayah.

“Urusan iman seringkali sulit dipisahkan dengan urusan uang,” lanjutnya.

“Bagaimana kita melihat dan mengunakan uang dan harta kita, itulah yang akan mencerminkan isi kerohanian kita,” paparnya.

“Saya pernah terjebak dalam keterlibatan pada uang, hingga uang menggeser Tuhan dari hidupku,” katanya.

“Tanpa saya sadari uang bukan sekedar benda tapi sebuah simbol kekuasaan, sebuah simbol yang memberikan rasa aman, memberikan rasa bersalah, memberi saya kebebasan, memberi saya kuasa dan tampaknya maha hadir,” ujarnya.

“Saya dibuat menurut dan selalu dibayangi rasa takut kehilangan uang dan itu membuat saya tanpa sadar menjadikan uang sebagai allah saya yang memelihara dan memberi rasa aman kepada saya,” sambungnya.

“Namun keyakinan saya ini berubah total, ketika anak saya, tidak menolak semua pemberian saya, bahkan ketika pesta pernikahan, dia biaya sendiri, dan kemudian beli rumah sendiri tanpa mau menerima pemberian dari saya,” paparnya.

“Tuhan meminta kita memilih – mau menyembah Tuhan atau menyembah mammon. Ketika uang menjadi tuan, maka kita akan memiliki dorongan untuk memburu uang, mengumpulkan harta, menimbunnya dan memperkaya diri terus menerus, tidak pernah puas,” jawab anakku ketika saya tanya tentang hidupnya.

“Saya dan suami sejak awal menikah memutuskan untuk mengelola uang; bukan dikelola oleh uang. Kami ingin menjadi tuan atas uang bukan hamba uang,” tegasnya.

“Dari situlah saya mau belajar untuk memilih Tuhan dan menjadi tuan atas uang bukan memiliki mamon dan menjadi budak uang,” katanya.

Dalam bacaan Inji hari ini kita dengar demikian,

“Barangsiapa setia dalam perkara-perkara kecil, ia setia juga dalam perkara-perkara besar. Dan barangsiapa tidak benar dalam perkara-perkara kecil, ia tidak benar juga dalam perkara-perkara besar.

Jadi, jikalau kamu tidak setia dalam hal Mamon yang tidak jujur, siapakah yang akan mempercayakan kepadamu harta yang sesungguhnya?”

Apa atau siapa yang kita sembah akan membentuk habitus dalam diri kita.

Tidak ada penyembahan pada apa pun, asli atau palsu, yang tidak menuntut komitmen dan dedikasi.

Ketika kita menyembah uang maka hati kita terarah pada komitmen dan dedikasi untuk uang.

Ada orang-orang yang harus bangun dari pukul 5 pagi, nanti pukul 10 malam baru tidur. Kerja keras tidak henti-henti karena mau dapat uang. Saya tidak bilang ini salah, tapi kalau uang menjadi berhala kita akan paksa diri karena kita menyembah berhala ini.

Sebaliknya kalau kita menyembah Tuhan, ada paksaan yang sama ketatnya untuk kita mendedikasikan diri kepada Tuhan.

Dedikasi, paksa diri ada di dalam penyembahan siapa pun yang kita sembah.

Siapa yang kita sembah akan memberikan pengharapan dan sukacita kenikmatan di dalam dia. Saya menyembah Tuhan, pengharapan saya di dalam Tuhan, kenikmatan saya di dalam Tuhan.

Bagaimana dengan diriku? Apakah aku setia akan hal-hal kecil dan mencari Tuhan sebagai sembahan satu-satunya dalam hidup ini?

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here