Selasa, 8 November 2022
- Tit. 2:1-8,11-14.
- Mzm. 37:3-4,18,23,27,29.
- Luk. 17:7-10.
ZAMAN ini, semua kegiatan manusia bisa dimonitor dan dilihat serta diikuti oleh orang lain.
Memposting kegiatan apa saja yang dilakukan dan kadang disertai status-status galau.
Dari postigan itu, orang lain dipaksa untuk masuk dalam kegembiraan, kegalauan, dan hiruk-pikuk hidup kita.
Ada orang yang jika tidak memosting apa yang mereka rasakan bagaikan mereka jatuh dari jurang yang dalam, seakan-akan mereka yang paling menderita di dunia ini.
Dengan postingan tersebut, seseorang menjadi tuan atas dirinya, bisa bebas mengeksplorasi rasa dan emosi sesama.
Mereka menjadi pribadi yang sejajar dengan orang lain, bahkan kadang merasa di atas orang lain.
“Banyak orang yang hanya melayani keinginan dirinya dengan mempertotonkan sisi kehidupannya tanpa perduli dengan nasib dan kondisi sesama,” kata seorang bapak yang merasa tidak nyaman atas postingan salah satu temannya.
“Sikap tanpa rasa itu bisa saya tangkap dari apa yang dia posting,” lanjutnya.
“Bagaimana kondisi duka karena kehilangan orang yang kami cintai, dipertontonkan kepada banyak orang,” paparnya.
“Saya merasa keberatan suasana duka keluarga kami jadi kontennya,” ujarnya.
“Memang dia hadir ke rumah untuk ikut pelayanan namun dia terlibat dalam pelayanan tanpa bela rasa,”jelasnya.
“Sikap pelayanan seperti itu menunjukkan bahwa dia memposisikan dirinya sebagai ‘tuan’ daripada hamba,” sambungnya
“Orang-orang seperti itu cenderung minta dilayani daripada melayani,”tegasnya
“Mereka memamerkan pelayanannya,” lanjutnya.
“Mereka maunya langsung terlibat dalam pelayanan besar yang bisa dilihat oleh banyak orang. Dan mendapatkan puji-pujian,” tegasnya.
Dalam bacaan Inji hari ini kita dengar demikian,
“Demikian jugalah kamu. Apabila kamu telah melakukan segala sesuatu yang ditugaskan kepadamu, hendaklah kamu berkata: Kami adalah hamba-hamba yang tidak berguna; kami hanya melakukan apa yang kami harus lakukan.”
Seorang hamba itu melayani tuannya. Seorang hamba bergembira dan bersukacita karena boleh melayani tuannya.
Demikian juga kita, kehormatan dan kebahagiaan kita terjadi manakala kita boleh melayani Tuhan.
Menjadi hamba Tuhan adalah panggilan untuk melayani, bukan sebagai profesi.
Seorang hamba harus memiliki kerendahan hati.
Kesadaran bahwa dirinya tidak berguna tanpa tuannya merupakan manifestasi kerendahan hati.
Oleh karena itu sebagai hamba Tuhan, sudah sepantasnya kita sadar akan status kita dan melayani dengan kerendahan hati.
Bukan mencari pujian atau pun popularitas.
Bagaimana dengan diriku?
Apakah aku melayani Tuhan dengan sepenuh hati, dan menemukan sukacita pelayanan itu tanpa mencari pujian dari sesama?