Pengantar redaksi
Tulisan ini dipersembahkan untuk Temu Pastoral Keuskupan Agung Semarang, tanggal 1 November 2022, sebagai refleksi menyambut “Tahun Politik” bangsa Indonesia tahun 2023-2024.
Sudah barang tentu, umat Katolik seluruhnya sebagai bagian dari bangsa Indonesia turut berpartisipasi mempersiapkan diri dengan kesadaran-kesadaran baik yang bertumpu pada Pancasila.
Pada tahap selanjutnya, betapa mendesak pula umat Katolik memiliki gambaran-gambaran nyata tentang pelayanan pastoral terkait dengan tata hidup damai masyarakat.
——————
Dua bagian
Tulisan ini terdiri dari dua bagian.
- Pertama, refleksi Pancasila dalam pengalaman sehari-hari yang banyak merujuk pada sejarah dan hermeneutika;
- Kedua, implikasi pastoral hidup damai yang difondasikan pada konsep kesadaran societas dialogal.
I. Pancasila sehari-hari
Konon, tanggal 6 Juni 1901, saat Bung Karno lahir, Indonesia mendapat “pulung” (kilatan cahaya dari langit).
Tradisi nenek moyang mengatakan bahwa jatuhnya “pulung” menandakan sebuah pesan datangnya peristiwa dahsyat di hari depan. Salah satu peristiwa dahsyat itu terwujud ketika Bung Karno mencetuskan kristalisasi nilai-nilai luhur yang diderivasi dari tradisi tata hidup bersama bangsa sendiri.
Kristalisasi itu disebutnya Pancasila.
Sejak di bangku SD, setiap orang Indonesia diajar menghapal kelima sila. Orang memang hapal Pancasila, tetapi kerap tidak mengerti nilai dan maknanya. Yang terlupakan: manusia Indonesia tidak pernah melakukan diskursus rasional kebalikannya, yang saya sebut “de-Pancasila-isasi”.
“De-Pancasila-isasi” merupakan fenomena-fenomena peristiwa dan kemunculan paham ideologis-agamis maupun non agamis yang berusaha merelativir dan menggeser Pancasila.
Argumen “fallacy” dalam mengerti Pancasila
Argumentasi “fallacy” merupakan argumentasi retorika (gaya bahasa), namun dipercaya sebagai benar atas dasar pemikiran tentang Pancasila yang dimengerti secara keliru.
Jadi, argumentasi “fallacy” merupakan argumentasi yang tidak didasarkan pada cara mengerti yang keseluruhan mengenai suatu pernyataan tentang Pancasila.
Karena cara mengerti “pernyataan”-nya (yang dipakai sebagai dasar argumentasi) tidak menyeluruh, tidak absah, tidak absah pula argumentasinya.
Contoh mengenai argumentasi “fallacy” tentang Pancasila adalah apa yang dikemukakan oleh seorang intelektual di suatu acara diskusi di salah satu stasiun televisi beberapa tahun silam (yang tayangan YouTube-nya sudah dihapus).
Dalam diskusi tersebut, ia mengutip kata-kata Sukarno dalam Pidato 1 Juni 1945 tentang prinsip “Demokrasi” yang –dalam interpretasi itu– Sukarno pun mengamini bahwa dalam Pancasila dasar negara pun bisa dari hukum-hukum Islam; asalkan dikerjakan secara demokratis.
Hal yang sama juga, dikatakan Sukarno, yaitu jika orang-orang Kristen ingin agar hukum-hukum berdasarkan Injil diterapkan di Indonesia, mereka harus berjuang secara demokratis lewat perwakilan-perwakilan mereka.
Pada poin ini dan menurut saya, pengamat yang saya hormati itu misleading memahami pernyataan Sukarno dalam Pidato 1 Juni 1945.
Di sinilah yang saya sebut sebagai “argumentasi fallacy” mengenai Pancasila.
Tampaknya argumentasi didasarkan pada kata-kata dari pencetus Pancasila, tetapi –karena cara mengerti yang keliru atau cara hermeneutika yang tidak valid– maka kata-kata Sukarno lantas memiliki makna yang berbeda dan terasa dicabut dari konteksnya.
Sukarno lantas –dalam cara berpikir yang keliru ini– seolah-olah meneguhkan perjuangan- perjuangan yang akhir-akhir ini santer dilakukan secara intoleran dan dalam maksud untuk menggusur dasar Pancasila itu sendiri dengan dasar agama.
Menurut saya, seandainya Sukarno dipercaya setuju akan perjuangan untuk mengganti hukum-hukum negara dengan hukum-hukum lain (seperti yang difondasikan agama Islam atau bahkan Kristen, misalnya) -asalkan dijalankan lewat cara-cara demokratis- maka dia jelas melakukan diskursus sepanjang hidupnya; berupa contradictio in terminis ipsis (kontradiksi dalam pandangan-pandangannya sendiri).
Kebijaksaan filosofis khas Indonesia
Sukarno mengasalkan Pancasila pada khasanah kebijaksanaan filosofis yang dimiliki bangsa Indonesia selama berabad-abad.
“Roh” Pancasila -bahkan menurut dia sendiri- tidak berasal dari siapa pun atau apa pun atau kekuatan mana pun- melainkan dari bangsa Indonesia sendiri.
Bagaimana mungkin dia setuju akan perjuangan mengganti dasar negara ini dengan dasar lain di samping Pancasila?
Seandainya Sukarno mempromosikan perjuangan politik agamis sedemikian rupa sehingga berwacana sampai pada penggusuran dasar hukum yang berlaku bagi seluruh bangsa ini -sekali lagi asalkan dijalankan lewat cara-cara demokratis- maka dia jelas tampak sebagai seorang Pendiri Negara yang “naif” dalam meletakkan Philosopische Grondslag bagi Indonesia merdeka.
Sukarno naif, karena dia tidak mengatakan apa-apa, kecuali meneguhkan roh semangat untuk mencari menangnya sendiri dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Mufakat
Bagaimana memahami kalimat-kalimat Sukarno tentang Prinsip dasar ke-3 dari Pancasila: mufakat, dasar perwakilan, dasar permusyawaratan? (lih. M. Yamin, 1959, Vol. 1 tentang “Pidato 1 Juni 1945”).
Dalam publikasi pidato tentang dasar “mufakat” ini, dikatakan Sukarno dan ditulis dalam empat paragraf.
Alinea pertama adalah tentang kalimat-kalimat mengenalkan dasar Permusyawaratan. Sukarno antara lain berkata:
“Negara Indonesia bukan satu negara untuk satu orang, bukan satu negara untuk satu golongan walaupun golongan kaya. Tetapi kita mendirikan negara ‘semua buat semua’, ‘satu buat semua, semua buat satu’. Saya yakin, bahwa syarat yang mutlak untuk kuatnya Negara Indonesia ialah permusyawaratan, perwakilan.”
Selanjutnya dalam alinea kedua, Sukarno berkata:
“Untuk pihak Islam, inilah tempat yang terbaik untuk memelihara agama …” dan seterusnya yang akan disambung dengan alinea ketiga dan keempat mengenai golongan Kristen.
Sukarno berkata, “Kalau misalnya orang Kristen ingin bahwa tiap-tiap letter di dalam peraturan-peraturan Negara Indonesia harus menurut Injil… bekerjalah mati matian…” dan seterusnya.
Bagaimana memahami alinea kedua, ketiga, dan keempat dari kata-kata Sukarno?
Interpretasi tentang kata-kata Sukarno tidak boleh sepenggal-sepenggal. Interpretasi yang mencabut kalimat dari konteks –dalam hermeneutika– merupakan suatu bentuk manipulasi.
- Sukarno tidak sedang mempromosikan “perang tanding” ideologi antara Islam dan Kristen atau yang lain. Siapa yang banyak wakilnya, dia yang menang.
- Sukarno juga tidak sedang mengatakan perihal pertaruhan dasar hukum atau fondasi Indonesia merdeka.
- Sukarno sedang mengenalkan fondasi yang menyusul dari prinsip Kebangsaan dan Kemanusiaan.
Tambahan lagi, bila Sukarno diyakini mempromosikan “perang tanding” persaingan ideologi-ideologi agama, maka bukan hanya kalimat fundamental dari alinea pertama bahwa “Indonesia untuk semua, bukan untuk satu golongan” menjadi tidak berguna; melainkan juga Pidato tentang Pancasila itu sendiri secara keseluruhan menjadi tidak bermakna.
Jelas, argumentasi “fallacy” tentang Pidato Sukarno tidak plausibel.
Sukarno tidak membenarkan suatu persaingan yang mendulang ketegangan terus-menerus dalam hidup beragama dan bernegara.
Saya yakin, kita tidak memiliki Sukarno sebagai Pendiri Negara yang semacam ini.
Sukarno jelas memaksudkan bahwa Pancasila-lah yang akan menyelamatkan dan melestarikan Indonesia. (Berlanjut)
UU 10-2008 ttg khususnya no 202 Parliamentary threshold, apakah sesuai dgn sila IV “Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan”
– Kearifan lokal yg dipraktekkan oleh suku2 di seluruh Nusantara perlu disampaikan kpd generasi milenial, utk menjelaskan arti sila IV-Pancasila.