Berikan pada Kaisar yang Menjadi Haknya!

0
3,685 views

PESAN Yesus bagi bangsa dan negara kita, sudah jelas dan tiap tahun kita dengar kembali: berikan kepada kaisar apa yang menjadi hak kaisar dan kepada Allah apa yang menjadi hak Allah. Jawaban Yesus: “Berikan kepada Kaisar apa yang menjadi hak kaisar…” sebenarnya sudah cukup sebagai jawaban yang cerdas atas pertanyaan jebakan orang-orang Parisi dan Herodian.

Tetapi tambahan “dan kepada Allah yang menjadi hak Allah,” merupakan penjelasan yang mendasar tentang sikap kita sebagai manusia yang hidup sebagai warga negara dan sekaligus sebagai umat Allah. Soal membayar pajak adalah soal pilihan mempertahankan hak atau melakukan kewajiban sebagai warga negara.

Tetapi dasar dari semuanya ialah memperhatikan hak dan kewajiban terhadap Allah. Pegawai Herodes dan orang Farisi, kalau kepentingannya dirugikan, merasa tidak enak, sakit atau repot, mereka sibuk mencari pembenaran atas hak mereka. Allah harus menjadi pembela dan pembenar tindakan mereka.

Kita cenderung mencari yang enak untuk diri kita, bukan kepentingan umum dan hak-hak Allah. Kita sering mencari Allah untuk menjawab kebutuhan kita. Allah kita dekati secara fungsional. Saya butuh, maka saya datang. Dan karena Allah mahakuasa, maka Allah dapat melakukan apa saja dan memberi apa saja yang saya butuhkan.

Bukankah dengan demikian kita juga perlu bertanya tentang hak-hak Allah yang harus kita penuhi? Seringkali kita merasa sudah memenuhinya dengan menunaikan kewajiban ibadat. Tapi lihat X Perintah Allah: hanya satu perintah tentang ibadat: Kuduskanlah hari Tuhan. Dua perintah tentang berhala dan nama Tuhan, 7 perintah lain tentang hubungan kita dengan sesama. Dan apakah kita sudah memenuhi hak-hak Allah yang tercantum dalam X Perintah itu? Dan itu belum semua. Judi dan mabuk, meski tidak tercantum dalam X Perintah, pasti juga termasuk yang dilarang oleh Allah.

Cerita ini terjadi di kota New York pada pertengahan 1930an ketika Amerika Serikat mengalami depresi ekonomi. Saat itu hari amat dingin. Di seluruh penjuru kota, orang-orang miskin nyaris kelaparan. Di suatu ruang sidang pengadilan, seorang hakim duduk menyimak tuntutan terhadap seorang ibu yang dituduh mencuri sepotong roti.

Ibu itu berdalih bahwa anak perempuannya sakit, cucunya kelaparan, dan karena suaminya telah meninggalkan dirinya. Tetap saja penjaga toko yang rotinya dicuri menolak untuk membatalkan tuntutan. Ia memaksa bahwa ibu itu harus dihukum untuk menjadi contoh bagi yang lainnya. Hakim itu menghela nafasnya. Sebenarnya ia enggan menghakimi ibu ini.

Tetapi ia tidak punya pilihan lain. “Maafkan saya,” katanya sambil memandang ibu itu. “Saya tidak bisa membuat pengecualian. Hukum adalah hukum, jadi Anda harus dihukum. Saya mendenda kamu sepuluh dolar, dan jika kamu tidak mampu membayarnya maka kamu harus masuk penjara sepuluh hari.” Ibu itu tertunduk, hatinya remuk.

Tanpa disadarinya, sang hakim mencopot topinya, mengambil uang sepuluh dolar dari dompetnya, dan meletakkan uang itu dalam topinya. Ia berkata kepada hadirin: “Saya juga mendenda masing-masing orang yang hadir di ruang sidang ini sebesar lima puluh sen karena tinggal dan hidup di kota ini dan membiarkan seseorang kelaparan sampai harus mencuri untuk menyelamatkan cucunya dari kelaparan. Bapak panitera, tolong kumpulkan dendanya dalam topi ini lalu berikan kepada terdakwa.”

Akhir cerita, ibu itu meninggalkan ruang sidang sambil mengantongi empat puluh tujuh dolar dan lima puluh sen, termasuk di dalamnya lima puluh sen yang dibayarkan oleh penjaga toko yang malu karena telah menuntutnya. Tepuk tangan meriah dari kumpulan penjahat kecil, polisi New York dan staf pengadilan yang berada dalam ruangan sidang mengiringi kepergian ibu itu.

Hakim itu sudah melaksanakan apa yang menjadi hak Allah. Hukum bukan sekedar batasan dan aturan untuk melindungi manusia dari kelemahan dan kesalahan yang dibuat sesama. Tetapi hukum ditegakkan dengan semangat kasih, sehingga setiap orang mendapat bukan hanya haknya, tetapi juga kasih dari sesamanya.

Memberikan kepada Allah apa yang menjadi hak Allah adalah menjalani hidup yang terarah pada Allah dan sesama; tidak hanya berpusat pada kepentingan diri sendiri. Jadi, entah kewajiban atau kemerdekaan, kita lakukan untuk berbuat baik, menyebarkan kasih.

Jika kita melakukannya, maka hidup kita tidak lah menjadi sejumlah beban kewajiban yang harus kita seret, tetapi menjadi unngkapan kasih yang terwujud dalam tiap kesempatan hidup. Dan hal ini akan membuat kita menjadi lebih dekat dengan Allah dan menampakkan wajah Allah yang penuh kasih kepada sesama. Iitu lah cara kita ikut membangun bangsa dan Negara kita. Merdeka!

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here