Home BERITA Program Sabbatical di Rumah Retret St. Angela Bandung: Kaum Religius Jadi Tanda...

Program Sabbatical di Rumah Retret St. Angela Bandung: Kaum Religius Jadi Tanda Kehadiran Tuhan (2)

0
586 views
Ekspresi seni akan iman religius dalam bentuk coretan lukisan di kaca-kaca jendela di Pondok Damai Sanggau, Kalbar. (Mathias Hariyadi)

DI pekan kedua program sabbatical di Rumah Retret St. Angela Biara Ursulin di Jl. Supratman No. 1, Bandung, peserta masih diajak untuk lebih mendalami siapa dirinya.

Sosok seperti apa yang diharapkan oleh masyarakat dari seorang religius: romo, frater, suster atau bruder?

Secara garis besar, kaum berjubah diharapkan dapat menjadi suri tauladan dalam  hidup. Apakah itu cara berpikir, bicara dan di dalam cara bertindak.

Kalau kemudian ada anggota masyarakat kecewa atau kesal menyaksikan perilaku satu atau dua orang biarawan atau biarawati, mungkin saja disebabkan oleh absennya kaum berjubah memahami siapa jatidirinya.

Dapat juga karena pengolahan hidupnya belum tuntas. 

Pengalaman hidup dan peristiwa-peristiwa yang pernah dialami dapat pula berpengaruh dalam hidup panggilannya. Pengaruh baik atau sebaliknya dalam menjalani hidupnya, dalam tindakan dan perilakunya.

Para peserta program sabbhatical di Rumah Retret Ursulin “Santa Angela” Bandung bersama Uskup Keuskupan Bandung Mgr. Antonius Subianto Bunjamin OSC. (Ist)

Kaum religius juga manusia biasa.

Mengutip tulisan Pastor Spadaro SJ entang pesan Paus kepada 120 pemimpin umum Kongregasi Religius, 29 November 2013, Gereja tumbuh lewat kesaksian (Penakatolik.com: 2014). Disebutnya sebagai “Kesaksian kemartiran hidup kaum religius”.

Paus mengatakan bahwa hidup bakti harus mengembangkan Gereja dengan daya tarik. “Gereja harus menarik,” kata Paus.

“Sadarkan dunia. Jadilah saksi yang berbeda dalam melakukan sesuatu, bertindak, dan hidup,” demikian harapan Paus.

PIlustrasi: Perayaan Natal Bersama para religius dan umat Katolik di Gereja Katedral Sanggau. (Sr.M. Ludovika OSA)

Religius dengan segala kelebihan dan kekurangannya  diharapkan dapat menjadi  tanda kehadiran Tuhan dalam hidup menggereja. Untuk itu perlu refleksi diri.

Menyadari diri sebagai manusia biasa yang sekaligus memilih –dengan bebas dan dengan kesadaran penuh- hidup sebagai imam, suster, frater atau bruder. Proses menyadari diri ini berlangsung selama hayat masih dikandung badan.

Bagaimana proses pengolahan hidup dilihat, digeluti dan diolah  kembali, oleh para suster, frater, bruder dan imam yang sedang mengikuti  program sabbatical di Bandung, secara garis besar, dapat disimak sebagai berikut.

Melakuan senam olah tubuh sederhana sebelum memulai sesi lagi. (Br. Dinus Kasta MTB)

1. Romo Susanto SCY

Ia membawakan pokok bahasan “Memotret Perkembangan Psiko Seksual dengan pendekatan BioPsikoSosioSpiritual.”

Hal-hal yang dibahas adalah; perkembangan seksualitas yang meliputi empat aspek kepribadian, tahap-tahap perkembangan dan merefleksikan proses meraih kematangan diri dan seksualitas secara integral.

Rohaniwan-rohaniwati adalah manusia biasa. Sebagaimana manusia normal mereka mengalami masa-masa perkembangan dan perubahan aspek kejiwaan dari lahir sampai akhir hidupnya.

Ilustrasi: Manusia sebagai mahkluk psiko-seksual. (Kaskus)

Sebagai religius -Romo Santo SCJ, demikian peserta memanggilnya- mengingatkan, para peserta untuk yakin akan identitas dirinya, lebih mau dan mampu menghidupi nilai-nilai moral dan religius. Atau dengan kata lain, para religius harus memiliki sistem nilai yang jelas dan diinternalisasikan dalam dirinya.

Bahwa kegairahan hidup religius  bukan hanya didasarkan pada potensi fisik biologis, tetapi lebih pada nilai-nilai yang diyakini akan membuat dirinya semakin bermakna, dan memahami serta menghidupi hidup selibat secara positif dan total dalam mengikuti Kristus.

2. Romo  Hilarius Kemit OFMCap

Romo Hilarius Kemit, anggota tim Protokol KWI dan konsultan beberapa keuskupan dan tarekat- ini menjelaskan, hukum adalah peraturan berupa norma dan sanksi. Dibuat dengan tujuan mengatur tingkah laku manusia, menjaga ketertiban dan keadilan; demi terciptanya bonum commune.

Ilustrasi – Hukum membatasi kebebasan individu (Indian Express)

Kalau bicara hukum, maka kita berbicara cara mengasihi secara kongkrit. Untuk itu, kata dia, kaum religius pun perlu melek hukum; baik perdata maupun pidana. Sebab setiap orang atau lembaga tanpa kecuali  dapat  berurusan dengan hukum.

Ditunjukkan pula kasus-kasus dalam lembaga gerejani pun terjadi sengketa kebijakan atau  sengketa harta benda. Baik antar pimpinan gereja, antara umat dengan Gereja atau dengan tarekat.

Para peserta program sabbhatical bernyanyi bersama untuk rileksasi. (Br. Dinus Kasta MTB)

3. Romo Postinus Gulo OSC

Ia mengajak para peserta sabbatical memperhatikan topik “Panggilan Kaum Religius dalam Terang Hukum Gereja”.

Para imam, suster, frater dan bruder yang sedang menjalani masa sabbatical diajak kembali melihat  diri masing-masing dengan mempertanyakan apakah identitasnya sebagai kaum religius sungguh tampak dalam hidup dan aktivitasnya.

The Smiling Nuntio Mgr. Piero Pioppo bersama para suster biarawati lintas tarekat religius yang berkarya di Keuskupan Agung Pontianak. (Sr. Maria Seba SFIC)

Di dalam benak masyarakat, kaum religius masing sering dianggap sebagai orang yang unggul dalam bidang rohani, pendoa, dekat dengan Tuhan yang menghidupi perkara-perkara suci.

Romo Postinus juga menunjuk pada pasal-pasal Kitab Hukum Kanonik dan perikop Kitab Suci yang menjadi pedoman dan petunjuk hidup kaum religius.

Yang dibutuhkan dalam perjalanan panggilan adalah komitmen, konsistensi, konsekuen, kesetiaan dan perjuangan penyangkalan diri.

Bandung, 18 November 2022

Br. B. Sukasta MTB. (Berlanjut)

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here