Mendaki Gunung

0
310 views
Ilustrasi.

Puncta 18.02.23
Sabtu Biasa VI
Markus 9: 2-13

WAKTU masih menjadi frater di Seminari Tinggi, beberapa kali kami berombongan mendaki gunung di sekitar Yogya-Magelang untuk mengisi waktu liburan. Ada Gunung Merbabu, Merapi, Lawu, Sindoro, dan Sumbing.

Banyak pengalaman menarik yang bisa diambil hikmahnya dari perjalanan mendaki gunung.

Pertama adalah mempererat persaudaraan. Dengan berjalan bersama, kita memupuk tali persahabatan antar teman. Kita bisa memahami sifat-sifat teman selama perjalanan.

Mana teman yang sabar, suka membantu, solider dan peduli saat kita sedang mengalami kesulitan.

Ada juga teman yang rewel, suka mengeluh, merajuk, dan sering marah-marah.

Kedua, semangat berbagi pada teman senasib seperjalanan. Pendakian yang jauh dan lama membuat fisik lelah dan mental bisa “down”.

Dalam situasi seperti itu dibutuhkan semangat berbagi, peduli dan senasib sepenanggungan.

Ketiga, adalah bersyukur. Ketika kita sudah sampai di atas gunung, tidak ada kata yang bisa diungkapkan kecuali bersyukur.

Segala jerih payah, kelelahan, kelaparan, penat dan rasa sakit langsung hilang lenyap. Yang ada hanyalah rasa syukur.

Betapa Tuhan mahaagung dan mahakuasa. Keagungan Tuhan tak bisa dilukiskan dengan kata-kata.

Tiga orang murid istimewa Yesus; Petrus, Yakobus dan Yohanes diajak naik ke sebuah gunung yang tinggi. Mereka mengalami sukacita yang sangat luar biasa.

Bukan soal keindahan alam yang mentakjubkan, tetapi pengalaman bersama Yesus yang sangat berbeda. Yesus berubah rupa di depan mata mereka.

Yesus menunjukkan kemuliaan-Nya kepada mereka. Keilahian Yesus mempesonakan mereka. Bukan Yesus yang sehari-hari mereka jumpai, tetapi Yesus yang mulia.

Yesus sebagai Putera Allah yang mulia. Ada suara dari surga yang berkata, “Inilah Anak-Ku terkasih, dengarkanlah Dia.”

Dalam peristiwa ilahi ini dimaklumkan siapa Yesus sesungguhnya. Dia dihadirkan bersama Elia dan Musa. Mereka adalah nabi-nabi besar bagi Israel.

Di sini mau dinyatakan bahwa Yesus adalah Anak Allah yang akan menggenapi nubuat-nubuat para nabi dahulu kala.

Ketiga murid ini, terutama Petrus, mengungkapkan kegembiraannya dengan berkata, “Rabi, betapa bahagianya kami berada disini. Baiklah kamidirikan tiga kemah. Satu untuk Engkau, satu untuk Musa dan satu untuk Elia.”

Kebahagiaan rohani yang meluap itu melampaui dirinya sendiri. Petrus tidak berpikir untuk membuat kemah bagi mereka sendiri, tetapi dia memikirkan orang lain.

Tidak ada gunanya kita bahagia kalau hanya dinikmati sendiri.

Pengalaman indah di atas gunung itu bisa menjadi penghiburan dan daya kekuatan untuk menghadapi perjuangan berat sehari-hari.

Begitu pun Petrus dan teman-temannya. Mereka selalu diingatkan seberat apa pun salib yang dipikul, Yesus telah menunjukkan kemuliaan yang akan diterima.

Pesan yang penting yang harus selalu diingat adalah, “Inilah Anak-Ku terkasih, dengarkanlah Dia!”

Selama kita menjalani kehidupan ini, jika kita berani berjuang mendaki bersama-Nya, mau mendengarkan dan mengikuti Yesus dengan setia, pasti akan sampai pada kebahagiaan surga.

Tidak ada perjuangan yang sia-sia,
Di gunung ada pemandangan luar biasa.
Yesus Kristus Putra Allah yang mulia,
Dia mengganjar bagi mereka yang setia.

Cawas, menanti indahnya senja….

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here