Pengamat pendidikan dari Universitas Nusa Cendana (Undana) Prof. Dr. Felisianus Sanga berpendapat, lahirnya undang-undang tentang sekolah ramah anak dan ramah pendidikan telah menjadi hambatan serius bagi pembentukan karakter anak didik, khususnya di wilayah bagian Timur Indonesia.
Undang-undang ramah anak dan ramah pendidikan ini, sesungguhnya hanya boleh diterapkan di Pulau Bali dan Jawa karena suasana alam mendukung. Berbeda dengan wilayah Timur Indonesia seperti Nusa Tenggara Timur, Maluku dan Papua dengan alam yang keras, kata Felisianus Sanga, di Kupang, Senin terkait kurikulum pendidikan berbasis karakter.
“Kalau kita bicara tentang pendidikan karakter anak seperti di NTT, kita tidak bisa menerapkan pola pendidikan lemah lembut seperti yang diatur dalam UU ramah anak dan ramah pendidikan karena karakter orang NTT, Maluku dan juga Papua berbeda,” katanya.
Karakter masyarakat di Timur Indonesia seperti Nusa Tenggara Timur, Maluku dan Papua harus didik dengan pola pendidikan yang lebih keras, sesuai dengan karakteristik wilayah.
Anak-anak harus dihukum, kalau terlambat masuk sekolah, tidak mengerjakan pekerjaan rumah atau tidak memberi salam kepada orang yang lebih tua dan juga guru, serta pelanggaran lainnya dan itu merupakan bagian dari pendidikan karakter anak.
“Kami dulu kalau mengeluarkan kata makian di rumah saja, mendapat hukuman yang sangat berat di sekolah. Ini membuat kami begitu hormat pada orang yang lebih tua. Sekarang murid maki guru, maki orang tua dianggap biasa,” katanya.
Artinya, jika anak tidak diberi hukuman maka, seorang anak tetap menunjukkan sikap tidak sopan pada orang yang lebih dewasa, para guru dan bahkan pada orang tua kandungnya sendiri dan itulah yang sedang terjadi dewasa ini, kata Felisianus Sanga.
Dalam situasi seperti ini, para guru pun tidak berani mengambil tindakan apapun karena merasa takut terjerat undang-undang pendidikan ramah anak dan ramah pendidikan, katanya.
“Sekarang guru hanya cubit anak saja jadi masalah. Saya sudah berbicara diberbagai forum tetapi namanya sebuah UU, tidak mudah diubah begitu saja,” katanya.
Hanya saja, pemerintah perlu memikirkan agar penerapan sistem pendidikan ramah anak dan ramah pendidikan tidak berlaku merata di seluruh Indonesia.
Artinya, penerapan UU ini harus ditinjau kembali dan disesuaikan dengan karakter wilayah. Tidak berlaku merata di seluruh Indonesia.
Jika pemerintah tetap bertahan, maka cepat atau lambat, anak-anak bangsa ini tidak lagi saling menghargai satu sama lainnnya dan itu akan membahayakan nilai persatuan dan kesatuan yang diwariskan para pendiri bangsa ini, katanya.