Ir. Anton Sudjarwo, Gara-gara Teguran Keras Romo Casutt SJ di Asrama Realino Tahun 1970-an Berdirilah Yayasan Dian Desa (1)

0
534 views
Anton Sudjarwo - Pendiri Yayasan Dian Desa dan penerima hadiah Ramon Magsasay Award ke-2 dari Indonesia. (Mathias Hariyadi)

MERASA sangat beruntung. Demikian kesan Ir. Anton Sudjarwo asal Pekalongan, Jawa Tengah, ketika orangtuanya mampu mengirimnya ke Yogyakarta.

Untuk belajar di UGM Jurusan Teknik dan kemudian boleh tinggal ngekos di Asrama Mahasiswa Realino di bilangan Gejayan, Mrican, Yogyakarta.

Ditegur induk semang Bapak Asrama: Romo Casutt SJ

Sekali waktu, bersama sejumlah mahasiswa lintas agama penghuni Asrama Realino asuhan para Jesuit itu, Anton ditegur keras oleh induk semang Bapak Asrama: almarhum Romo Cohann Balthasar Casutt SJ asal Swiss yang dikenal galak, tapi sangat inovatif dan kreatif.

“Kalian ini ngapain saja, hanya duduk leha-leha di asrama? Sana pergi keluar melihat situasi masyarakat dan kalian bisa buat apa?” begitu kurang lebih “teguran” telak itu mampir ke daun telinga Anton Soedjarwo dan kolega mahasiswa UGM jurusan teknik – semua penghuni Asrama Mahasiswa Realino.

Jawaban tengah libur panjang usai ujian tak juga menjadikan Romo Casutt beringsut dari teguran kerasnya.

“Sana kalian pergi ke lereng Merapi. Lihat apa di sana dan bisa apa kamu kerjakan di sana?” kisan Anton Sudjarwo dalam Program Bincang-bincang Panjang dengan Titch TV.

Exposure to the poor

Anton Soedjarwo sedang bicara tentang kisah awal sejarah berdirinya Yayasan Dian Desa yang berbasis di Jl. Kaliurang, Sleman, DIY.

Dan kisah kecil di Asrama Realino itu terjadi tahun 1970-an, ketika ia sebagai mahasiswa masih inyis-inyis ditantang untuk melakukan exposure to the poor di wilayah permukiman penduduk di Lereng Merapi.

Barulah ketika ekpose itu terjadi, maka terbukalah “matahati” kesadaran moral para mahasiswa Teknik UGM penghuni Asrama Mahasiswa Realino itu untuk berbuat sesuatu yang baik dan bermanfaat bagi masyarakat lereng Merapi.

Mencari dan menemukan solusi agar mereka bisa terbebaskan dari “penderitaan harian” mencari air bersih setiap hari.

“Bayangkan. Setiap hari, warga penduduk lokal di wilayah permukiman lereng Gunung Merapi itu harus menghabiskan waktu 3-4 jam sehari hanya untuk mencari sebakul air bersih. Apa hati nurani ini tidak tersentuh melihat ‘tragedi’ pemandangan harian seperti itu?” ungkap Ir. Anton Sudjarwo kepada Titch TV.

Filosofi hidup dan teologi moral berbasis refleksi di lapangan

Maka barulah kemudian, Anton bicara soal “filosofi hidup” dan “teologi moral” Yayasan Dian Desa yang di tahun 1970-an itu mulai dia rintis bersama teman-teman mahasiswa penghuni Asrama Realino.

“Hati saya kecut sekaligus tersentuh dan termotivasi,” ungkap Anton Sudjarwo.

“Terjadi, ketika sekali waktu di lereng Gunung Merapi itu, saya menyaksikan suatu drama kehidupan. Seorang ibu muda tengah mbobot (hamil) sekitaran enam bulan, harus turun-naik lereng gunung hanya untuk mencari sumber air dan kemudian harus mampu membawanya kembali ke atas.

Dengan masih harus menggandeng anak, sembari tetap harus kuat mampu menggendong segendong air bersih,” kenangnya menerawang masa silam.

Itu “derita harian” kaum perempuan.

Dan masih banyak lagi kaum perempuan lainnya di seluruh Indonesia yang setiap hari dibebani oleh “pekerjaan” sehari-hari harus mencari air bersih itu.

Baca juga: Yayasan Dian Desa, Filosofi Kerja Diambil dari Lapangan dan Keterlibatan dalam Masyarakat (2)

Komentar ini diucapkan Anton Sudjarwo, karena sering kali dipersepsikan bahwa kaum perempuan itu tidak banyak “kerja”. Padahal beban kerja kaum perempuan di Indonesia itu macam-macam dan banyak.

“Mulai dari cari air bersih, mempersiapkan makan-minum sehari-hari, mencuci dan menjemur pakaian, menyiapkan makan-minum untuk keluarga, dan seterusnya. Coba kalau jumlah jam kerja harian rumahtangga ini dihitung dengan benar, maka beban kerja kaum perempuan itu banyak sekali,” ujarnya.

Panggilan hati nurani untuk berbuat baik kepada sesama

Di lereng Gunung Merapi itulah, bersama kolega temannya Anton Sudjarwo menemukan “jawaban” panggilan hati. Berdasarkan moralitas nurani untuk bisa berbuat sesuatu yang baik dan bermanfaat bagi sesama. Yakni, bagaimana mereka ini calon-calon insinyur sipil alumni UGM bisa mencari dan menemukan solusi agar persediaan air bersih bisa terjadi.

Atas dorongan hati inilah, kemudian bersama teman-teman mahasiswa ia merintis gagasan membuat gerakan sosial.

Barulah kemudian atas donasi hasil honorarium Romo Casutt SJ saat memberi ceramah di Swiss, gerakan sosial itu lalu mampu menemukan format kelembagaan yang lebih baku: Yayasan Dian Desa. (Berlanjut)

Baca juga:

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here