TAHUN 1954 di Semarang, Jateng, Uskup Vikariat Apostolik Semarang Mgr. Albertus Soegijapranata SJ dengan lantang dan tegas mengemukakan wawasan kebangsaannya kepada para penggiat “ormas” Katolik Indonesia. Utamanya menyapa mereka yang saat itu telah aktif terlibat di dalam berbagai gerakan sosial-ekonomi kemasyarakatan.
KUKSI 1954 di Semarang
Romo Kandjeng Mgr. Soegijapranata SJ saat itu lagi bicara pada kesempatan forum pertemuan nasional tokoh figur Katolik Indonesia yang waktu itu disebut KUKSI (Kongres Umat Katolik Seluruh Indonesia) tahun 1954 yang berlangsung di Semarang.
Kurang lebih lima tahun sebelumnya, berdirilah organisasi politik bernama Partai Katolik Indonesia. Terjadi dalam event KUKSI I di Yogyakarta.
100% Katolik Pancasila, tegas Mgr. Albertus Soegijapranata SJ
“100% Katolik, 100% Indonesia itu oke. Kalau kita bicara tentang apa itu ‘100% Indonesia’, maka konsekuensinya ya kita harus 100% Pancasila.”
Demikian penegasan Mgr. Soegijapranata SJ, ketika merestui berdirinya berbagai organisasi-organisasi kemasyarakatan untuk gerakan sosial ekonomi kemasyarakatan.
Namun, ketika sudah bicara tentang konsep “100 Katolik, maka 100% pula Pancasila.”
Bambang Ismawan (85), saksi peristiwa “sejarah politik” Gereja Katolik Indonesia
Demikian intisari perbincangan menarik tentang “sejarah politik” Gereja Katolik Indonesia dengan Bambang Ismawan -kini berusia 85 tahun- dari Yayasan Bina Swadaya.
Berlangsung dalam Program Bincang-bincang Panjang bersama Titch TV di Wisma Hijau Cimanggis, Depok, Jabar, Senin siang 23 April 2023.
Berbagai ormas Katolik tapi berciri inklusif dengan label Pancasila
Maka sejak tahun 1954 di Semarang mulai lahirlah berbagai “ormas” di kalangan buruh, nelayan, petani dan kelompok “kategorial” lainnya yang semuanya mengadopsi nama “Pancasila”.
Taruhlah seperti Ikatan Petani Pancasila, Ikatan Buruh Pancasila, Ikatan Nelayan Pancasila, dan sebagainya.
Pandangan visioner ke depan Mgr. Albertus Soegijapranata SJ
Mengapa gerakan-gerakan sosial-ekonomi kemasyarakatan dengan label “Pancasila” ini bermunculan di Semarang?
Karena hal itu merupakan pandangan visioner ke depan dari seorang pemimpin Gereja Katolik yang saat itu sangat “moncer” di Republik Indonesia yang umurnya sebagai state dan nation itu masih muda itu.
Dan itu tiada lain adalah Uskup Vikariat Apostolik Semarang: Mgr. Albertus Soegijapranata SJ.
Gagasan itu semakin “membumi” lagi dengan duduknya Pater Dijkstra SJ yang saat itu menjadi semacam Sekretaris Uskup Mgr. Soegijapranata.
Romo Dijkstra SJ, motivator ulung pelecut semangat “gerakan sosial” yang membumi
Di mata Bambang Ismawan (85) dari Yayasan Bina Swadaya, tampilnya sosok Romo Dijkstra SJ itu sangat mempengaruhi kiprah para pemuda Katolik bersemangatkan Pancasila.
Mereka yang di tahun-tahun pasca 1954 dan seterusnya itu mulai aktif menginisiasi gerakan-gerakan sosial-ekonomi kemasyarakatan yang antara lain diikuti Bambang Ismawan dalam Ikatan Petani Pancasila.
Pertanyaan pentingnya, mengapa Mgr. Soegijapranata SJ dan “asistennya” Romo Dijkstra SJ sampai punya pemikiran visioner ke depan seperti itu? Tentang urgensi menginisasi gerakan-gerakan sosia-ekonomi kemasyarakatan?
Negara sudah overburnt banyak urusan, sehingga abai dengan hidup Wong Cilik
Menurut Bambang Ismawan kepada Titch TV di Wisma Hijau Mekarsari Depok, Senin 23 April 2023, karena “Negara c.q. pemerintahan RI di bawah pimpinan Presiden Ir. Soekarno waktu itu boleh dikatakan mulai abai terhadap urusan hidup sehari-hari kaum Wong Cilik.
Atau yang menurut istilah Bung Karno disebutnya Kaum Marhein. Atau yang oleh Bung Hatta disebut sebagai Sektor Perekoniman Rakyat.
Itu lantaran negara dan pemerintah RI saat itu sudah ‘kecapean’ dan juga sudah kedodoran saking saking sibuknya ngurusi hal-hal macam-macam yang memang menjadi tanggungjawab negara dan pemerintah.
Untuk siapa genta Proklamasi 1945 itu didengungkan?
Lalu pertanyaan pentingnya bagi Mgr. Soegijapranata SJ waktu di tahun 1954 itu adalah “Untuk siapa genta Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 itu mesti kita maknai apa dan bagaimana artinya, terutama bagi kaum Wong Cilik itu?”
Atas pertanyaan itulah, Uskup Mgr. Albertus Soegijapranata SJ dan Romo Dijkstra SJ lalu merumuskannya dengan prakarsa menginisasi memotivasi munculnya gerakan-gerakan sosial-ekonomi kemasyarakatan di Semarang mulai tahun 1954.
Saat itu, Mgr. Soegijapranata sudah menjadi Ketua PWI (Panitia Wali Gereja). “PWI ini dibentuk setelah munculnya Gerakan Sosial Ekonomi Pancasila atau dulu disebut GSEP,” jelas Bambang Ismawan.
“PWI dibentuk dengan salah satu tugasnya adalah mendampingi GSEP,” jelas pendiri Yayasan Bina Swadaya dan Yayasan Bina Desa (1975) yang kini berkantor pusat di Wisma Hijau, Cimanggis, Depok, Jabar.
Ikatan Tani Pancasila
Barulah beberapa tahun sesudahnya, Bambang Ismawan mulai ikut terjun masuk dan bergabung dalam gerakan-gerakan sosial-ekonomi kemasyarakatan melalui Ikatan Petani Pancasila.
Beberapa puluh tahun kemudian dan atas “paksaan” undang-undang keormasan zaman pemerintahan Orde Baru, Ikatan Petani Pancasila itu lalu “melebur” berubah menjadi HKTI (Himpunan Kelompok Tani Indonesia).
Sesudah berjalan sekian lama, spirit awal yang dulu sudah berhasil tumbuh subur di dalam jiwa setiap anggota gerakan Ikatan Petani Pancasila itu lalu mewujud mengkristalkan diri menjadi lembaga organisasi yang sekarang bernama Yayasan Bina Swadaya. Dengan rekor catatan sejarah kiprahnya selama 60 tahun. (Berlanjut)
Baca juga: Bambang Iswaman (85), Menuju Kemandirian Petani Melalui Gerakan Swadaya Masyarakat (2)
Foto Mgr A Sugiopranoto SJ, bersama Presiden Sukarno dan BP IJ Kasimo beserta Mgr Prof Dr Nicolaus Geise ofm ,uskup Bogor yg pertama ,
terima kasih informasinya.